Wajah Baru Timur Tengah

Tahun 1973, Mesir dan Suriah menyerang Israel untuk mengambil kembali wilayah yang direbut Israel, dan Israel berhasil mengalahkan kedua negara itu.

Sabtu, 12 Desember 2020 | 20:36 WIB
0
288
Wajah Baru Timur Tengah
Normalisasi hubungan UEA-Israel (Foto: Taiwan News)

Maroko membuka hubungan diplomatik dengan Israel pada tanggal 10 Desember 2020. Maroko menjadi negara Arab keempat yang membina hubungan diplomatik dengan Israel dalam empat bulan terakhir, menyusul Uni Emirat Arab, Bahrain dan Sudan. Dengan demikian, ada enam negara Arab yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, termasuk Mesir (1979) dan Jordania (1994).

Semakin banyaknya negara Arab yang membina hubungan diplomatik Israel akan mengubah wajah Timur Tengah. Selama ini, hubungan antara negara-negara Arab dan Israel sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi puluhan tahun yang lalu. Mulai dari kemerdekaan Israel pada tahun 1948, perang enam hari di tahun 1967, hingga perang tahun 1973.

Perang enam hari di tahun 1967 itu menjadi penting karena dalam perang singkat itulah, Israel mencaplok Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Tepi Barat (termasuk Yerusalem timur) dari Jordania, serta Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Dan, rangkaian peristiwa itulah membuat negara-negara Arab dan Israel posisinya berhadap-hadapan. Dan, kita juga melihat bahwa upaya mengisolasi dan menekan Israel dari luar, untuk menyelesaikan masalah Palestina, tidak memberikan hasil seperti yang diinginkan. Semuanya hanya bersifat retorika.

Saat ini, di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ada sekitar 135 negara telah mengakui Palestina sebagai negara yang merdeka. Sementara ada 50 negara yang tidak mengakuinya. Namun, pengakuan itu tidak ada artinya karena pada kenyataannya wilayah yang diakui sebagai wilayah Palestina itu dikuasai negara lain. Dalam hal ini, Israel.

Belum lagi, di PBB itu yang menentukan adalah Dewan Keamanan PBB. Dari lima anggota tetap PBB, tiga (Amerika Serikat, Inggris dan Perancis) tidak mengakui Palestina sebagai negara merdeka, sementara dua (Rusia dan China) mengakui.

Kita mengharapkan dengan semakin banyaknya negara Arab yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, maka pendekatan penyelesaian masalah Palestina tidak lagi hanya bersifat retorika sepihak, melainkan juga bersifat dialog, mengajak Israel berbicara. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi minimal ada penambahan pilihan dalam mengupayakan penyelesaian masalah Palestina.

Seperti pernah saya singgung dalam tulisan saya pada tanggal 19 Oktober 2020 (”Hubungan Diplomatik UEA-Israel, Tak Berarti Tinggalkan Palestina”), yakni selalu ada pilihan di dalam memperjuangkan kemerdekaan suatu bangsa, yakni berjuang dari luar atau berjuang dari dalam.

Contohnya adalah pada saat ASEAN, termasuk Indonesia, memperjuangkan agar Vietnam menarik mundur tentaranya dari Kamboja. Awalnya, ASEAN menekan Vietnam dari luar, tapi kemudian atas prakarsa Presiden Soeharto, akhirnya ASEAN memilih berjuang dari dalam. Dalam arti mengajak Vietnam ikut serta dalam perundingan yang membahas tentang penarikan mundur pasukan Vietnam dari Kamboja. Dan, dalam waktu empat tahun masalah Kamboja bisa diselesaikan.

Dalam kaitan itulah, pembukaan hubungan yang telah dilakukan oleh beberapa negara Arab dengan Israel tidak serta merta berarti bahwa negara-negara Arab itu meninggalkan rakyat Palestina.

Namun, penyelesaian masalah Palestina pasti tidak semudah itu diselesaikan. Persoalannya, jauh lebih rumit, karena dilatarbelakangi oleh sejarah yang sangat panjang. Jika yang diperjuangkan Palestina adalah penyelesaian dua negara, dalam arti wilayah Palestina mencakup wilayah yang sekarang dikuasainya, itu mungkin masih bisa dicapai.

Akan tetapi, kalau meminta Israel mengembalikan Yerusalem kepada Palestina itu mungkin sulit untuk dilakukan. Oleh karena keterkaitan Yerusalem dengan bangsa Yahudi sangat Panjang. Dalam Alkitab ditulis, bahwa Raja Daud, ayah Raja Sulaiman, merebut kota itu dari suku Yebus sekitar tahun 1000 sebelum Masehi.

Perdana Israel Menteri Benjamin Nethanyahu dalam suatu kesempatan mengatakan, ”Kami bersedia membicarakan solusi dua negara dengan Palestina. Walaupun diakui itu bukanlah hal yang mudah. Solusi dua negara harus dibicarakan dengan sangat rinci dan menyentuh segala aspek agar segala sesuatunya dapat dilaksanakan dengan baik.”

Hingga saat ini, Hamas, salah satu faksi Palestina  sama sekali tidak mau mengakui eksistensi Israel, itu berarti perundingan antara Palestina sebagai satu-kesatuan dengan Israel tidak mungkin dilakukan. Dan, itu artinya solusi dua negara yang pada saat ini dianggap sebagai solusi yang paling ideal tidak mungkin bisa dicapai.

Indonesia pun menyadari bahwa persatuan Palestina sangat penting dalam mencari solusi bagi rakyat Palestina. Itu sebabnya, Indonesia mendorong agar rakyat Palestina bersatu. Tanpa persatuan, perundingan dengan Israel tidak dapat dilakukan.

Konflik Arab-Israel

Perlu diketahui sebagian besar wilayah itu dari tahun 1517-1917, berada di bawah Kekaisaran Ottoman. Pada saat Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918, wilayah itu diambil alih oleh Inggris. Pada tahun 1948, PBB mengajukan rencana membagi dua wilayah itu untuk bangsa Yahudi dan bangsa Arab, dengan Yerusalem sebagai wilayah internasional. Namun, Palestina menolaknya karena merasa sebagai pemilik sah wilayah itu.

Berbeda dengan sikap bangsa Palestina, bangsa Yahudi langsung memproklamasikan berdirinya negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948. Sementara wilayah yang tadinya ditetapkan bagi bangsa Arab (dalam hal ini, Palestina) jatuh ke tangan Jordania (Tepi Barat dan Yerusalem) dan Mesir (Jalur Gaza).

Satu hari setelah negara Israel berdiri, negara itu kemudian diserbu tentara Lebanon, Suriah, Jordania, Mesir, dan negara Arab lainnya. Namun, perang itu berakhir dengan kemenangan Israel, bahkan Israel mendapatkan wilayah Yerusalem barat.

Sejak Israel berdiri, wilayah itu selalu dilanda konflik antara Arab dan Israel. Pada tanggal 28 Mei 1964, dibentuk Palestine Liberation Organization (PLO) di Ramallah, Tepi Barat (Jordania) untuk mendukung rencana dibangunnya negara Palestina di Israel.

Pada tahun 1956, Israel menginvasi Semenanjung Sinai dengan tujuan membuka kembali Selat Tiran yang sangat penting bagi kapal-kapal barang Israel. Sejak tahun 1950, Mesir menutup Selat Tiran bagi kapal-kapal barang Israel. Israel kemudian menarik mundur pasukannya dengan jaminan Selat Tiran terbuka bagi kapal-kapal barang Israel.

Bulan Mei 1967, Mesir kembali menutup Selat Tiran. Bukan itu saja, Mesir pun mengerahkan pasukannya ke sepanjang perbatasan dengan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel menyerang Mesir dengan tujuan melumpuhkan Angkatan Udara Mesir sehingga tidakj dapat menyerang Israel. Serangan itu kemudian dikenal dengan istilah preemptive strike, atau serangan untuk melumpuhkan lawan.

Dimulailah perang enam hari. Oleh karena dalam pemberitaan dikesankan bahwa Mesir berhasil memporakporandakan Israel, Jordania dan Suriah yang semula enggan kemudian ikut melibatkan diri dalam perang itu. Perang itu berakhir pada tanggal 10 Juni 1967 dengan kemenangan Israel.

Tahun 1973, Mesir dan Suriah menyerang Israel untuk mengambil kembali wilayah yang direbut Israel, dan Israel berhasil mengalahkan kedua negara itu.

***