Ini makan malam pertama saya di Korea Utara: bayar pakai Renminbi. Kembaliannya Dollar Amerika.
Memang bisa. Membayar dengan Renminbi dan Dollar. Tapi mata uang resmi untuk orang asing sebenarnya bukan itu. Euro.
Tidak ada tempat penukaran uang. Di bandara.
Semua serba cash. Tidak ada kartu kredit. Tidak ada pembayaran elektronik. Harus bawa uang banyak.
Malam itu saya pilih makan malam di luar hotel. Ingin tahu suasana kulinernya. Pilihannya sebuah restoran kelas menengah. Masakan Korea.
Saya pilih mi hitam panas. Yang diberi tiga lembar irisan daging tipis. Dan telur rebus separo. Dua teman Korea saya pilih nasi. Terbalik.
Restoran ini bersih sekali. Penataan meja kursinya juga rapi dan serasi. Di salah satu ruangannya seperti lagi ada pesta. Seperti reuni. Atau arisan. Nyanyi-nyanyi bersama. Tidak henti-hentinya.
Pakaian pelayannya juga sangat rapi. Serasi. Tidak norak. Juga tidak lusuh. Cuttingnya bagus. Bahannya juga baik. Bukan kain murahan.
Tidak mengesankan ini restoran di sebuah negara miskin. Jauh dari kesan ndeso. Bisa dibilang masuk kategori keren. Rasanya penampilan pelayan restoran kita pun kalah. Untuk sekelas itu.
Tidak pula terkesan ini sebuah restoran di negara komunis.
Dan harga makanan ini murah. Makan berempat hanya sekitar Rp 200 ribu. Saya bayar dengan Renminbi. Satu lembar. Seratusan. Saya diminta menunggu uang kembalian.
Dia buka laci. Menyerahkan satu lembar kembalian. Ternyata lembaran Dollar Amerika. Satu Dollar. Bayar 100 Renminbi. Dapat kembalian 1 Dollar.
Naik taksi juga pakai Renminbi. Bayar telepon pakai Renminbi. Yang naik taksi hampir pasti orang asing. Terlihat cukup banyak turis.
Saya ketemu yang dari Rusia, Jerman, Taiwan, Hongkong, Singapura dan terutama Tiongkok.
Rakyat setempat naik kendaraan umum: tram listrik. Bayarnya pakai Won. Satu kali jalan hanya 5 Won. Itu tidak ada artinya sama sekali. Hanya sekitar Rp75. Ulangi: tujuh puluh lima rupiah. Sekedar untuk terlihat rakyat juga bayar.
Di Pyongyang sudah ada kereta bawah tanah. Dua line. Karcisnya juga hanya 5 Won. Saya ikut merasakan kereta bawah tanah itu. Tanpa tujuan. Ke lima stasiun. Lalu balik lagi.
Stasiunnya nyeni. Banyak ornamen. Juga lukisan perjuangan. Tidak ada iklan sama sekali. Kelihatan komunisnya.
Kereta yang pertama lewat. Terlihat kuno. Berisik. Bentuk gerbongnya sederhana. Kelihatan komunisnya.
Saya tidak boleh naik yang itu. Mereka ingin memamerkan gerbong yang baru. Satu menit kemudian kereta dimaksud datang. Gerbongnya baru. Terlihat beda. Desainnya lebih modern. Sedikit. Tidak semodern yang di Tiongkok. Atau Jepang.
Baliknya kami pakai kereta yang lama. Kecepatannya sama saja. Tempat duduknya juga sama-sama empuk. Bukan keras seperti umumnya MRT di negara lain.
Memang terasa sekali. Kim Jong-Un mau mengubah Korea Utara. Hanya saja ia harus agak sabar. Menghadapi blokade ekonomi dunia. Yang dimotori Amerika.
Juga harus sabar. Menghadapi aliran keras di senior militernya. Yang ini Kim Jong-un sudah bisa mengatasinya. Toh sudah banyak yang pensiun juga. Tiga tahun terakhir.
Masyarakatnya juga kelihatan sudah siap berubah. Berbeda sekali kesan saya. Dibanding saat saya ke Uni Soviet. Di awal keterbukaannya. Juga berbeda dengan saat saya ke Tiongkok. Di awal keterbukaannya. Atau ke Jerman Timur menjelang penggabungannya.
Di Soviet dulu toko-toko komunisnya kosong. Tidak ada barang. Di Tashkent malam-malam saya didatangi penjual uang gelap. Yang mengetok pintu kamar hotel. Lirih.
Di Tiongkok, saat itu, rakyatnya serba ketakutan. Saya beli sepeda kala itu. Saat mau pulang, sepeda itu saya berikan ke pelayan hotel. Ia menolak. Sangat ketakutan.
Demikian juga saat saya ke pasar. Beli buah. Pedagangnya ketakutan. Saat saya menyodorkan uang Yuan. Ternyata mereka dilarang menerima yuan. Yuan untuk orang asing. Untuk rakyat biasa pakai uang Renminbi.
Di Pyongyang saya tidak merasakan rakyatnya dalam ketakutan. Wajah orang-orangnya bukan wajah ketakutan. Bukan wajah yang tegang.
Rasanya tidak akan lama lagi. Korut berubah total.
***
Dahlan Iskan
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews