Donald Trump, Lagi?

Wajah Amerika seperti apa yang akan mereka gambar? Siapakah yang memangkan pertarungan: apakah pikiran waras atau yang tidak.

Selasa, 3 November 2020 | 08:22 WIB
0
398
Donald Trump, Lagi?
Biden dan Trump (Foto:internationalinvestorclub.com)

Empat tahun lalu, setelah Donald J Trump secara mengejutkan memenangi pemilu presiden AS, dengan mengalahkan Hillary Clinton, sekurang-kurangnya empat pakar politik yakni Francis Fukuyama, David Runciman, Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, karena terdorong oleh kekecewaannya sekaligus keterjutannya, menulis buku.

Mereka—juga banyak pakar politik dan rakyat biasa termasuk para pemimpin dunia—terkejut Hillary Clinton dari Partai Demokrat, kalah. Padahal, berbagai jajak pendapat di AS, mengunggulkan Hillary Clinton (sama seperti sekarang ini, Joe Biden, unggul dalam jajak pendapat).

Tahun 2016 silam: 1.  PRRI/Brookings dalam jajak pendapatnya yang dipublikasikan tanggal 19 Oktobe 2016, menempatkan Hillary Clinton unggul 15 poin atas  Donald Trump. 2. NBC/Wall Street Journal (10 Oktober) menempatkan Hillary Clinton unggul 14 poin. 3. Menurut jajak pendapat AP (26 Oktober), Hillary Clinton unggul 14 poin. 4.  Monmouth University (17 Oktober) mengunggulkan Hillary Clinton, 12 poin. 5. Hasil jajak pendapat ABC (23 Oktober) menempatkan Hillary Clinton unggul 12 poin.

Lalu, 6.  Atlantic/PRRI (9 Oktober) dalam jajak pendapatnya juga mengunggulkan Hillary Clinton dengan 11 poin. 7.  Saint Leo University yang mengumumkan jajak pendapatnya (26 Oktober) menyebut Hillary  Clinton unggul 11 poin. 8. Jajak pendapat  USA Today/Suffolk University (27 Oktober) pun menempatkan Hillary Clinton unggul 10 poin. 9. Dalam jajak pendapatnya yang diumumkan 6 Oktober,  Fairleigh Dickinson University menyatakan Hillary Clinton unggul 10 poin. 10. Kemudian, 10. SurveyUSA/Boston Globe  (14 Oktober) mengungkapkan, hasil jajak pendapatnya dimenangi Hillary Clinton dengan keunggulan 10 poin. 11. Jajak pendapat CBS (17 Oktober) juga menempatkan Hillary Clinton unggul yakni sembilan poin. Dan, 12. Bloomberg (19 Oktober) yang juga mengadakan jajak pendapat mengumumkan Hillary Clinton unggul sembilan poin (breitbart.com).

Hasil akhir pemilu: Donald Trump, menang. Trump merebut 306 Electoral College (lembaga perwakilan pemilih), sementara Hillar Clinton 232 Electoral College (tujuh electoral memilih orang lain yang tidak dicalonkan partainya). Meski kalah, Hillary Clinton unggul dalam perolehan suara rakyat (popular vote nasional). Ia merebut 65,853,625 suara atau 48.0 persen) sedangkan Trump, 62,985,106 suara atau 45.9 persen (The New York Times, 9 Agustus 2017).

Baca Juga: Menari di Atas Irama Trump

Kemenangan Trump itu antara lain karena  dukungan kuat dari orang kulit putih yang tidak berpendidikan perguruan tinggi, terutama di daerah pedalaman yang kurang terjangkau tangan pemerintah. Banyak yang berpendapat bahwa  pengalaman mereka telah menyebabkan pemberontakan populis baru melawan imigrasi, globalisasi neoliberal, dan politik kiri-tengah.

Nasionalisme Populis

Menanggapi kemenangan Trump waktu itu, Francis Fukuyama menulis buku yang diberi judul Identity, The Demand for Dignity and The Politic of Resentment (2018). Dalam kata pengantarnya, Fukuyama secara jelas mengatakan, buku itu tidak akan ditulis bila Donald Trump tidak menang.

Menurut Fukuyama, lembaga-lembaga Amerika membusuk karena negara semakin dikuasai oleh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri. Trump sendiri adalah produk dan kontributor kerusakan, kebusukan itu.

Fukuyama berpendapat bawa Trump mewakili tren yang lebih luas dalam politik internasional, menuju apa yang disebut nasionalisme populis. Para pemimpin populis berusaha menggunakan legitimasi yang didapatnya lewat pemilu demokratis untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Dan selama menjabat gambaran sebagai pemimpin populis makin kentara.

Mereka mengklaim adanya hubungan karismatik langsung dengan “rakyat”, yang sering didefinisikan dalam istilah etnis sempit (kulit putih) yang mengecualikan sebagian besar penduduk. Mereka tidak menyukai institusi dan berusaha merongrong checks and balances yang membatasi kekuatan pribadi seorang pemimpin dalam demokrasi liberal modern: pengadilan, badan legislatif, dan media independen, dan birokrasi nonpartisan.

Menurut Fukuyama, pemimpin-pemimpin yang masuk dalam kelompok ini antara lain Vladimir Putin (Rusia), Recep Tayyip Erdogan (Turki), Viktor Orban (Hongaria) dan Jarozlaw Kaczynski (pernah menjadi Presiden Polandia, Perdana Menteri, kini Deputi Perdana Menteri), dan Rodrigo Duterte (Presiden Filipina).

Sama dengan Fukuyama, Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018),  tidak kalah herannya dengan kemenangan Trump. Bagaimana mungkin AS, yang menurut mereka memiliki fondasi demokrasi lebih kuat dibanding, katakanlah, Venezuela, Turki, dan Hongaria, tetapi “meloloskan” seorang  demagog ekstremis.

Menurut Levtisky dan Ziblatt,  ujian penting bagi demokrasi bukanlah apakah seorang demagog muncul, tetapi apakah para pemimpin politik, dan terutama partai politik, bekerja untuk mencegah demagog untuk mendapatkan kekuasaan sejak awal—dengan tidak mancalonkan mereka, menolak untuk mendukung atau bersekutu dengan mereka dan bila perlu, membuat tujuan bersama dengan saingan untuk mendukung kandidat demokratis.

Mengisolasi ekstremis populer membutuhkan keberanian politik. Tetapi ketika ketakutan, oportunisme, atau kesalahan perhitungan membuat partai-partai mapan membawa ekstremis ke arus utama, demokrasi terancam.

Dan, ternyata, AS gagal membendung masuknya seorang demagog ekstremis. Levtisky dan Ziblatt mengakui, Amerikan gagal dalam tes pertama pada November 2016, ketika memilih presiden yang diragukan kesetiannya terhadap norma-norma demokrasi. Kemenangan mengejutkan Donald Trump dimungkinkan tidak hanya oleh ketidakpuasan publik—terhadap kondisi waktu itu, antara lain tingginya angka pengangguran—tetapi juga oleh kegagalan Partai Republik untuk tidak meloloskan demagog ekstremis mencalonkan diri sebagai presiden.

David Runciman pun, seorang ilmuwan politik dari Inggris, dalam How Democracy Ends (2019), terkaget-kaget dengan terpilihnya Trump. Ia tidak bisa memahami bagaimana orang AS bisa memilih tokoh seperti dia. Menurut David Runciman terpilihnya Trump, seperti—meminjam istilah psikologi—reductio ad absurdum, membawa ke sesuatu ekstrem yang absurd, atau argumentum ad absurdum, argumen ke absurditas dari politik demokrasi: setiap proses yang menghasilkan kesimpulan edan atau konyol pasti ada kesalahan dalam perjalanan dari awal sampai akhir.

Selaku Ada Kejutan

Masa kepresidenan Trump, membenarkan pendapat para ahli politik itu, misalnya tentang dirongrongnya institusi-institusi  dan checks and balances yang membatasi kekuasaannya. Trump secara terbuka mencemooh lembaga-lembaga inti pemerintahan demokratis: pers independen, peradilan, birokrasi, validitas pemilu, legitimasi kontestasi demokrasi, dan sentralitas fakta pada wacana politik.

Dia juga mengisyaratkan kebijakan rasial dengan memobilisasi nasionalis kulit putih yang melonjak sejak pelantikannya. Kepresidenan Trump memang menggoyahkan integritas dan ketahanan rezim politik Amerika dan masa depan demokrasi liberal di Amerika Serikat. Suara keprihatinan menjangkau spektrum politik, dan dapat ditemukan di antara pemilih, aktivis, dan elite.

Baca Juga: Trump Rasis di sana, Diikuti "Mualaf" Demokrasi di Sini

Trump telah membuktikan dirinya sebagai apa yang telah lama dituduhkan oleh banyak kritikus: suka berperang, menggertak, tidak sabar, tidak bertanggung jawab, malas secara intelektual, pemarah, dan terobsesi pada diri sendiri (Foreign Affairs, Januari/Februari 2019).

Dalam urusan internasional, Trump berseberangan dengan sekutu demokrasi terkuat Amerika—negara-negara Eropa Barat yang sekarang khawatir kalau Trump menang lagi, akan meninggalkan NATO seperti diberitakan The New York Times, hubungan dengan Iran dan Korut makin buruk—dan  jelas mengagumi penguasa otokratis.

Satu hal yang kiranya perlu dicatat adalah jika Trump berhasil memenangi pemilu lagi, banyak hal tidak akan berubah. Pandangan dunianya yang sempit akan terus membentuk kebijakan luar negeri AS. Pendekatannya yang tidak menentu terhadap kepemimpinan, penghinaannya terhadap sekutu, kesukaannya pada para diktator — semuanya akan tetap ada selama masa jabatan Trump kedua.

Tetapi, kemenangan Trump akan menandai perubahan besar bagi hubungan AS dengan seluruh dunia. Ini akan memberi sinyal kepada orang lain bahwa Washington telah melepaskan aspirasinya untuk kepemimpinan global dan meninggalkan gagasan tentang tujuan moral di panggung internasional. Hal itu berarti, berakhirnya kekuasaan global, dominasi AS.

Bukan tidak mungkin, hal itu akan mengantarkan pada periode kekacauan dan konflik yang sengit secara global. Sebab sangat boleh jadi, banyak negara akan lebih memilih untuk mempertahankan diri sendiri dan memilih caranya sendiri-sendiri. Dan, semakin menguatnya peran Rusia dan China di panggung dunia.

Akan tetapi, apapun penilaian terhadap Trump, pada akhirnya yang akan menentukan adalah rakyat Amerika sendiri. Jalan apa yang akan mereka pilih. Wajah Amerika seperti apa yang akan mereka gambar? Siapakah yang memangkan pertarungan: apakah pikiran waras atau yang tidak.

Kejutan akan selalu terjadi.

***