Di Gaza City, Kudengar Lagu Itu

Anak-anak yang pikiran dan hatinya masih bersih tidak ada noda senoktahpun, tidak pernah mempersoalkan mengapa balon hijau yang meletus duluan.

Minggu, 5 Juli 2020 | 10:46 WIB
0
220
Di Gaza City, Kudengar Lagu Itu
Gaza City (Foto: UN.org.)

Li ajleki ya madinat al salat ousalli// li ajleki ya bahiyyat al masaken ya Zahrat al mada’en// Ya Qudsu ya Qudsu ya Qudsu ya madinat al salat oussalli// 3ouyounouna ilayki tar7alu kolla yaom// Tadouru fi arwaqati l ma3abed// Tou3anequ al kana’es al qadima// Wa tamsa7u al 7ozna 3an al masajed// Ya laylat al asra’ ya darba men marw ila al sama// 3ouyounouna ilayki tar7alu kolla yaom wa innani oussalli// Al teflu fel maghara wa ommouhou Mariam wajhan yabkiyan

(Demi dirimu duhai kota doa aku berdoa// Demi dirimu duhai kota yang indah, kota yang bersolek bunga// Oh Al-Quds..Al-Quds…Al-Quds, duhai kota doa, aku berdoa untukmu// Mati kami seakan terbang padamu setiap hari// Mereka berjalan di serambi  kuil-kuil//Merengkuh gereja-gereja tua// Lalu membasuh kesedihan masjid-masjid di sana// Duhai malam-malam Isra’,dan seorang yang melesat ke langit// Mata kami seakan terbang padamu setiap hari, dan sungguh aku berdoa untukmu// Bersama ibunya Maryam di dalam gua, dan keduanya menangis)

Di Gaza City, Gaza, beberapa tahun silam, lagu itu menyusup di telinga, di tengah keramaian sebuah warung kopi. Mendadak sontak, semua orang yang ada di dalam warung, mengikuti irama lagu Zahrat al Mada’en (Bunga Kota) yang dilantunkan oleh Fairuz sambil menggeleng-nggelengkan kepala dan bertepuk tangan. Bahkan, banyak yang ikut bernyanyi. Ada kegembiaraan di sana; kegembiraan dari dasar hati, bukan pura-pura. Ada kebersatuan di sana; kebersatuan satu nasib. Kami pun mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama musik.

Semua orang tahu, siapa yang menyanyikan lagu itu. Ia penyanyi dari Lebanon. Nama penyanyi itu telah menyesaki langit, bukan hanya langit Lebanon, melainkan bahkan langit Timur Tengah. Tetapi, tak seorang pun di dalam warung kopi itu, mempersoalkan “kelebanonan” Fairuz, nama penyanyi perempuan yang lahir pada 20 November 1935 di Desa Dbayeh, wilayah Chouf, Lebanon.

Mereka juga tak peduli bahwa Fairuz yang nama aslinya Nuhād al-Ḥaddād, berasal dari keluarga Kristen: ayahnya Wadie’ Haddad seorang Kristen Ortodoks Suriah dan ibunya Liza Bustani, seorang penganut Kristen Maronit.

Perbedaan agama dilebur oleh sebuah lagu; lagu yang memberikan semangat hidup, lagu yang memberikan roh akan harapan masa depan. Di banyak sudut dunia ini, tidak jarang perbedaan, apalagi agama, menjadi pintu masuk untuk saling membenci.

Kejahatan karena agama dalam sejarah manusia banyak sekali terjadi di mana-mana. Fanatisme agama yang berlebihan, yang kelewat batas, telah meruntuhkan toleransi antarmanusia. Tetapi, lagu yang dinyanyikan Fairuz telah meruntuhkan kesombongan manusia itu.

Bagi mereka, Fairuz meneriakkan isi hati mereka; rindu mereka akan kota Al-Quds, Jerusalem yang diduduki Israel. Di kota-kota besar di Timur Tengah, bahkan juga di kota-kota kecil, Fairuz disebut sebagai seorang diva; seorang diva yang sangat gigih membela sekaligus mengampanyekan perjuangan rakyat Palestina. 

Fairouz dipuji-puji, disanjung sebagai harta nasional dunia Arab, legenda musik yang sangat dikenal dan dikagumi. Dulu ketika pecah perang saudara di Lebanon (1975-1991),  sesama orang Lebanon bisa berbeda pendapat, dan saling membunuh. Tetapi, mereka sepakat dalam satu hal: Fairuz. Karena itu muncul ujar-ujaran yang sangat populer, “Orang-orang Lebanon tidak setuju pada segala hal, kecuali Fairuz.”

Ini menunjukkan betapa Fairuz mampu menyatukan rakyat Lebanon. Ketika suaminya meninggal dunia, pada tahun 1986, faksi-faksi  yang berperang di Lebanon bersepakat untuk gencatan senjata. Mereka memberikan kesempatan dilakukannya prosesi pemakaman suami Fairuz, di daerah Kristen, sementara mereka tinggal di daerah Muslim.

Fairuz tidak hanya mampu mempersatukan rakyat Lebanon, tetapi bahkan rakyat di negara-negara Arab,  terutama  dalam perjuangan membela perjuangan rakyat Palestina. Ia menjadi suara Bangsa Arab, tak peduli afiliasi politik dan agamanya, untuk meneriakkan dukungan pada perjuangan rakyat Palestina.

Lewat lagu Zahrat al Mada’en, Fayruz ingin bercerita tentang “Bunga Kota”, yakni Jerusalem. Jerusalem, memang, laksana bunga kota dunia. Bunga kota yang demikian cantik, demikian indah, demikian memukau. Jerusalem-lah satu-satunya kota di dunia yang berulang-kali diperebutkan, dihancurkan, dibangun kembali, dan diperebutkan kembali di sepanjang perjalanan sejarah umat manusia.

Lagu itulah yang membuat seorang penyair kondang asal Palestina Mahmud Darwish mengatakan, secara artistik Fairuz lebih Palestina dibandingkan dengan orang lain. ”Fairuz lebih Palestina dibandingkan dengan orang Palestina,” komentar seorang musisi Palestina (Christopher Stone: 2008).

Mengapa demikian? Fairuz dianggap mampu menyatukan semua orang Palestina, di mana pun mereka berada: di Tanah Palestina, di Jordania, di Lebanon, di Mesir, di Turki, dan di tempat-tempat lain. Dengan lagunya, Fayruz mengingatkan bahwa mereka—orang-orang Palestina—juga memiliki hak akan Jerusalem. Bagi bangsa- bangsa di Timur Tengah, Fairuz adalah ikon budaya dan politik.

Lewat musik dan lagunya, Fairuz yang orang Lebanon itu mampu memberikan dan mengobarkan semangat perjuangan; semangat kesamaan hak atas Jerusalem. Sama halnya dengan Black or White-nya Michael Jackson merupakan simbolisme tentang rasisme di Amerika. Lewat lagu ini, Michael Jackson penyanyi Amerika-Afrika ini, ingin meningkatkan kesadaran akan pentingnya persamaan antara Hitam dan Putih.

“It don’t matter if you’re black or white,” teriak Michael Jackson. Entah hijau, kuning, kelabu, merah muda, dan biru tidak menjadi masalah. Itu hanya soal warna. Bukankah, warna secara fisik adalah sifat cahaya yang dipancarkan, sedangkan secara psikologis sebagai bagian dari pengalaman indera penglihatan.

Namun, manusia memiliki kecenderungan kuat untuk mengategorikan segala sesuatu, antara lain dengan berpikir hitam dan putih, baik dan jahat atau benar dan salah, kita atau mereka, teman atau lawan. Ketika orang menjadi korban berpikir hitam dan putih, maka pada saat itu, orang terjebak dalam penjara dua pilihan ekstrem, yang saling bertentangan, tidak ada pilihan lain, misalnya, yang abu-abu. Seringkali, kategori-kategori itu adalah ciptaan sendiri.

Mungkin apa yang dikatakan Presiden AS George W Bush (2001) sebelum membangun koalisi untuk menggempur Afganistan, “You’re either with us or against us in the fight against terror’, bisa menjadi contohnya. Bersama kita atau melawan kita. Kalau tidak “bersama kita” berarti musuh atau diperlakukan sebagai musuh.

Dikotomi ini mengasumsikan bahwa hanya ada dua kategori yang memungkinkan – bersama kita dan melawan kita – dan bahwa segala sesuatu dan setiap orang harus menjadi milik yang pertama atau yang terakhir. Kemungkinan warna abu-abu, seperti menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi tidak dengan metodenya, diabaikan sepenuhnya.

Pola pikir semacam inilah yang kini makin hari makin terasa menguat. Yang tidak sama dengan kemauan kita, kehendak kita adalah musuh kita. Apa salahnya kalau berbeda tetapi dalam bingkai kebersamaan. Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman ras, suku, agama, dan budaya. Keberagaman ini justru membuat negara ini ,menjadi sangat spesial. Orang yang berbeda budaya maupun ras bisa saling hidup berdampingan satu sama lain.

Semboyan Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi bukti bahwa negara kita memang menghargai perbedaan sejak dulu. Namun, meskipun keberagaman Indonesia begitu indah laksana pelangi, masih tetap saja ada yang “mengingkarinya” atau sekurang-kurangnya ingin “mengingkarinya” dan ingin menyeragamkannnya. 

Mengingkari perbedaan berarti mengingkari kenyataan kehidupan di negeri ini yang memang beragam dalam berbagai hal: agama, budaya, bahasa, suku, ras atau kelompok etnis, kebiasaan dan sebagainya. Ketidaksamaan ini sudah merupakan fakta kehidupan.  

Tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada kecenderungan primordialisme, penghayatan agama yang sempit, keterbatasan wawasan, ideologi, tribalisme atau komunalisme, dan xenophobia. Hal itu yang menyebabkan sulit untuk bertoleransi pada yang berbeda semisal budaya atau agama, atau  kepercayaan orang lain. Yang berbeda dianggap atau diperlakukan sebagai musuh.

Toleransi berarti sifat dan sikap menghargai. Sifat dan sikap menghargai harus ditunjukkan oleh siapapun terhadap bentuk pluralitas yang ada di Indonesia. Sebab toleransi merupakan sikap yang paling sederhana, akan tetapi mempunyai dampak yang positif bagi integritas bangsa pada umumnya dan kerukunan bermasyarakat pada khususnya.

Tidak adanya sikap toleransi dapat memicu konflik. Dan, ini banyak contohnya terjadi di negeri ini. Pelaksanaan sikap toleransi harus didasari dengan sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut. Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.

Kata toleransi,  secara etimologis berasal dari kata tolerare (bahasa Latin; tolerantia, yang di-Indonesiakan menjadi toleransi) yang berarti menanggung atau membiarkan atau mempertahankan supaya hidup. Dengan demikian, secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai membiarkan perbedaan pendapat, perbedaan-perbedaan lain (karena toleransi dapat mencakup bidang  etis-sosial, agama, politik, budaya, dan sebagainya) dalam satu komunitas, satu masyarakat, satu negara.

Bila tidak ada toleransi, maka akan terjadi hancur-hancuran, rusak-rusakan. Karena akan berlaku hukum rimba survival of the fittest, yang banyak, yang kuat, yang akan menang. Maka itu, memaknai toleransi bukan sebatas kata-kata, tapi sebagai ungkapan persaudaraan antar sesama manusia yang berasal dari satu pencipta.

Karena itu, kisah Fairuz dengan Zahrat al Mada’en sungguh sangat menarik dan mengesankan, karena lagu itu mampu mempersatukan hati orang-orang di berbagai negara di Timur Tengah. “Kalau mendengar lagunya (Fairuz), waduh, serasa terbang ke Al-Quds,” kata Kadarisman yang sangat akrab dengan lagu-lagu Fairuz selama menjadi mahasiswa di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Yang dirasakan Kadarisman yang asli Madura sama dengan yang dirasakan orang-orang di negara-negara Timur Tengah: Fairuz adalah pemersatu.

Lagu itu memang mempersatukan. Sama dengan kita, ketika menyanyikan lagu Balonku Ada Lima karya Pak Kasur yang digubah oleh AT Mahmud, kita dipersatukan akan kenangan masa kecil yang indah, yang tidak terpolusi oleh primordialisme, kebencian, kecurigaan, penghayatan agama yang sempit, keterbatasan wawasan, ideologi, tribalisme atau komunalisme, dan xenophobia. Masa kecil yang indah menyenangkan.

Anak-anak yang pikiran dan hatinya masih bersih tidak ada noda senoktahpun, tidak pernah mempersoalkan mengapa balon hijau yang meletus duluan. Yang karena dalam lagu disebut duluan. Andaikan yang merah disebut duluan, pasti yang akan meletus duluan adalah yang merah. Bagi anak-anak, yang penting senang, dan riang menyanyikan lagu itu.

Sebagai pendidik, pendidik, serta sahabat anak –anak, Pak Kasur, tentu dengan kesadaran penuh hanya ingin mengajak anak-anak bersenang-senang, berlajar nyanyi bersama-sama, mengekspresikan hidup, mengenal warna, dan tetap waspada serta hati-hati dalam hidup dengan memegang erat-erat “balon” yang masih tersisa. 

Maka benar yang dikatakan oleh Friedrich Nietzsche (1844-1900) bahwa hanya musik yang memberikan arti dalam hidup manusia. Itulah yang dihayati Pak Kasur, AT Mahmud dan mereka semua yang berkecimpung dalam dunia musik.

Mereka yakin hidup mereka akan berarti bila mampu membahagiakan anak-anak, orang lain dengan lagu-lagunya, sama seperti Fairuz yang meyakini bahwa dunia tidak akan menjadi lebih baik hanya karena tampilan-tampilan luar saja, yang semua seakan-akan. Misalnya, seakan-akan saleh. Tetapi dunia akan menjadi lebih baik karena ada solidaritas, saling menerima dan saling hormat antara manusia.

Kudengar lagu itu…..

***