Operasi Sapu Bersih Erdogan

Apa yang terjadi di Turki, menurut Primoz Manfreda, dari London University, memberikan gambaran bahwa Turki sebagai negara demokrasi kembali ke tradisi rezim presiden otoritarian.

Rabu, 26 Februari 2020 | 08:13 WIB
0
537
Operasi Sapu Bersih Erdogan
Erdogan dan Gulen (Foto: Voa-Islam.com)

Harian Kompas, hari Rabu (19/2) lalu memberitakan pemerintah Turki terus melakukan pembersihan besar-besaran terhadap mereka yang dianggap sebagai pengikut ulama kharismatik Fethullah Gülen. 

Dalam berita itu diungkapkan, jaksa memerintahkan penangkapan 695 orang, termasuk personel militer dan Kementerian Kehakiman Turki. Menurut media Turki, langkah penangkapan tersebut sebagai upaya untuk mengintensifkan  langkah menumpas jaringan Gülen.

Rangkaian penangkapan tersebut merupakan buntut dari peristiwa yang digambarkan sebagai usaha kudeta terhadap Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Usaha kudeta tersebut dilancarkan pada tanggal 15 Juli 2016. Pemerintah Erdoğan bergerak cepat, usaha kudeta ditumpas dengan korban 265 orang tewas, termasuk 104 orang pendukung usaha kudeta, 2.839 personel militer ditangkap (The New York Times 16 Juli 2016), dan lebih dari 1.400 orang terluka.

Sejak peristiwa Juli tersebut, 80.000 orang dipenjara menunggu diadili, dan 150.000 pegawai negeri sipil, personel militer dan sektor lainnya dipecat dari pekerjaan mereka. Usaha kudeta tersebut, menurut PM Turki Binali Yildirim  (ketika itu) sebagai “setitik noda yang mengotori sejarah demokrasi Turki.”

Tokoh yang langsung dituding ada di balik usaha kudeta itu adalah seorang ulama kharismatik, Fethullah Gülen, yang tinggal di Pennsylvania, AS, yang sejak tahun 1999 tinggal di negeri itu. Sangat menarik tudingan diarahkan kepada Gülen yang pernah menjadi kawan dan sekutu Erdoğan. Meskipun, sejarah mencatat adanya perseteruan di antara mereka.

Akar ideologis

Akar konflik antara pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan Islam (AKP) Turki moderat pimpinan Erdoğan  dan gerakan— Hizmet atau Pelayanan-- pimpinan Gülen bisa dilacak kembali ke tahun 1970-an. Padahal, semula keduanya—AKP dan  Gülen—bersatu karena memiliki musuh yang sama. Mereka beraliansi.

Raison d'être dari aliansi tersebut adalah perlunya kedua kelompok untuk melindungi diri mereka sendiri dari militer sekuler yang kukuh, yang menganggap kedua kelompok itu sebagai ancaman eksistensial terhadap Kemalisme, ideologi resmi Republik sesuai dengan nama pendiri Republik Turki Mustafa Kemal Atatürk (Ömer Taşpınar; November 2014).

Dengan dukungan kaum Gülenis, AKP mampu mengurangi peran dan kekuatan tentara. Ketika Erdoğan mulai berkuasa pada tahun 2003, ia menetralkan ancaman potensial dari kepemimpinan militer sekuler dengan mengedepankan kelompok Islamis pimpinan sekutu utamanya, Gülen. Keduanya bersikap sama dalam menghadapi kekuatan Kemalis selama bertahun-tahun.

Meskipun tidak bergulat dalam dunia politik, tetapi Gülen mendukung AKP—dengan memobilisasi para pengikutnya—ketika partai itu didirikan dan kemudian ikut pemilu pada tahun 2002, dengan meraih hampir 35 persen suara, akhirnya memenanginya (Trias Kuncahyono, Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; 2018).

Akan tetapi, hubungan dekat itu—yang pernah dibantah oleh Gülen—13 tahun kemudian hancur. Erdoğan menuding Gülen sebagai musuh sejatinya yang menggerakkan para pendukung klandestinnya dalam militer untuk melancarkan kudeta. Disebutkan, kudeta dilakukan oleh Organisasi Teror Fethullah (FETÖ) yang dipimpin oleh Gülen.

Sebenarnya, perpecahan antara gerakan Gülen dan AKP memiliki akar ideologis dan sejarah yang dalam. Pada tataran ideologis, menurut Ömer Taşpınar, perbedaan yang paling penting adalah pendekatan mereka terhadap Islam.

AKP berasal dari tradisi Persaudaraan Muslim (Muslim Brotherhood). Mereka ini adalah gerakan yang berorientasi pada “Islam Politik” yang ingin berkuasa untuk mengubah sistem pemerintahan. Konsep nation-state (negara bangsa) ditolak oleh Persaudaraan Muslim, karena konsep ini dipandang sebagai bersifat memecah-belah dan kesukuan (tribalist), dan temuan Barat moderen.

Sementara kaum Gülenis, memiliki akar Islam Turki dan Sufi yang tidak menentang konsep nation-state. Mereka menganut nasionalisme Turki dan sangat menghormati tradisi Ottoman Turki. Ciri Islam Sufi nasionalis dan patriotik yang dianut gerakan Gülen sangat tidak menghargai tradisi Persaudaraan Muslim dunia Arab.

Akar gerakan Gülen adalah pada ajaran Said Nursi atau Sheik Sa’id-I Kurdi (1878-1960), seorang tokoh sufi. Salah satu pemikiran Said Nursi, menurut  Gülen adalah menempatkan Islam dalam harmoni baik dengan modernitas, dengan memperluas perdebatan mengenai kecocokan Islam dan demokrasi dan dunia Barat (Bayram Balci; 2009).

Selain itu, menurut Ömer Taşpınar, Said Nurci lewat Gerakan Nurcu menekankan kesesuaian Islam dengan rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan positivisme.

Baca Juga: Oposisi Turki Tuduh Erdogan Otoriter

Puncak ketegangan mereka terjadi pada awal tahun 2012. Ketika itu, jaksa Sadriddine Sarikaya dari Kantor Jaksa Penuntut Umum yang mempunyai huhungan dekat dengan Gülen memanggil dan menginterogasi Kepala Dinas Intelijen Nasional Hakan Fidan, sekutu terdekat Erdoğan. Hakan Fidan diinterogasi berkait dengan peran Dinas Intelijen Nasional sebagai broker perundingan perdamaian dengan kelompok pemberontak Kurdi. Hal itu dianggap sebagai melampuai wewenangnya.

Akan tetapi, Erdoğan menganggap tindakan tersebut sebagai serangan personal terhadap dirinya. Bahkan, AKP juga menuduh para simpatisan Gülen di kepolisian dan lembaga pengadilan, melancarkan sebuah “kudeta” lewat “pararel devlet” atau “negara paralel”, negara dalam negara. Pemerintah AKP menjawab tindakan kelompok Gülen itu dengan menerbitkan undang-undang yang menyatakan bahwa semua sekolah lanjutan yang dikelola oleh kelompok Gülen sebagai tidak sah, sehingga ditutup.

Sebagai bentuk perlawanan terhadap AKP, media dari kelompok Gülen memberitakan adanya korupsi di dalam tubuh pemerintah. Setelah itu disusul dengan pembongkaran kasus korupsi yang melibatkan tiga anak menteri, bahkan anak Erdoğan yakni Bilal Erdoğan juga dituduh korupsi (Efrat Aviv; 2016 dalam Trias Kuncahyono).

Erdoğan menyebut semua itu sebagai upaya untuk mendongkel pemerintahannya. Dan, permusuhan pun terus berlanjut serta berpuncak pada yang oleh pemerintah disebut sebagai usaha kudeta pada bulan Juli 2016.

Nasib Demokrasi

Ada yang berpendapat seandainya Erdoğan dan Gülen tetap bersatu, bersinergi, keduanya merupakan pasangan yang ideal bagi kemajuan dan eksperimentasi Islam di Turki di era global ini. Erdoğan Erdogan memegang kendali politik dalam negeri, dan Gülen melakukan diplomasi dan kontribusi kulturl-intelektual pada panggung dunia.

Akan tetapi, “hukum” politik (kepentingan politik) berkata lain. Ketika kepentingan antara keduanya berbeda bahkan berseberangan, terutama menyangkut kekuasaan, maka yang ideal itu hanya akan ada di awang-awang. Sebab, dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan. Begitu yang terjadi. Ambisi kekuasaan telah mengalahkan segala-galanya.

Bahkan, menurut Carlotta Gall (The New York Times, 4 Maret 2018), setelah usaha kudeta gagal, Erdoğan menggunakan segala cara legal, serta kekuatan darurat luar biasa untuk terus mengubah Turki menjadi sistem otoriter di bawah kekuasaannya, termasuk membungkam kelompok oposisi, serta media yang kritis terhadap dirinya.

Ironisnya, harus diakui, bahwa Erdoğan berhasil memajukan perekonomian Turki yang telah mengangkat negara itu masuk ke jajaran negara kelas menengah. Ia juga berhasil memajukan dunia pendidikan, sosial, infrastruktur, serta kemajuan di bidang lain. Kiprah negara itu juga semakin menonjol, terutama di tengah situasi terutama kawasan Timur Tengah yang carut-marut, setelah gelombang Revolusi Musim Semi Arab.

Walau demikian, tindakannya menutup sekitar 150 media, memenjarakan banyak wartawan, setelah usaha kudeta tahun 2016, tetap menjadi catatan yang mencoreng demokrasi. Pada tahun 2002, ketika ia mulai menjadi perdana menteri, kelompok pengusaha pro-pemerintah hanya memiliki tak sampai seperempat jumlah media di Turki, menurut The Sultan: Erdogan and the Ciris of Modern Turkey karya Soner Cagaptay, direktur program riset Turki di The Washington Institute.

Pada tahun 2011, mereka telah menguasai 50 persen; dan sejak tahun 2017 sebagian besar media mainstream dikuasainya. Sensor terhadap isi media juga diberlakukan (meskipun dibantah pemerintah) dan media swasta harus mengikuti aturan pemerintah; kira-kira seperti di Indonesia di zaman Orde Baru.

Apa yang terjadi di Turki, menurut Primoz Manfreda, dari London University, memberikan gambaran bahwa Turki sebagai negara demokrasi kembali ke tradisi 1945, ketika rezim presiden otoritarian yang dibentuk oleh Mustafa Kemal Ataturk, memberikan tempat bagi sistem politik multipartai. Meskipun ada catatatan menyangkut isu perlindungan terhadap kaum minoritas, hak asasi manusia dan kebebasan pers.

Wajar kalau kemudian muncul pertanyaan, ke mana demokrasi Turki hendak melangkah? Apalagi ditambahi dengan terus berlanjutnya penangkapan-penangkapan terhadap mereka yang dianggap sebagai pengikut Fathullah  Gülen. Tetapi, mungkin, seperti itulah Erdoğan menerjemahkan demokrasi yang cocok bagi Turki, seperti dulu di Indonesia pernah ada Demokrasi Terpimpin.

Trias Kuncahyono

***