Kasusnya di Irak cuman kayak adegan The Apprentice dalam seni pertunjukan bukan sebuah perang beneran seperti JFK mau hantam Havana tapi ketanggor di Teluk Babi.
Banyak orang mengira bakal ada perang dunia ketiga, banyak orang sudah takut Amerika bakal tempur head to head dengan laskar Persia. Tapi yang sudah terbiasa baca buku Trump "The Art of The Deal" Seni mencapai kesepakatan maka lucu banget kalau Trump mau kerahkan senjata seperti kebodohan Lyndon B Johnson ataupun Nixon yang kecebur perang Vietnam dan rugi berat di Asia Tenggara karena Asia Tenggara secara kapital kemudian dikuasai Jepang gara gara Amerika terlalu cari ribut di Saigon.
Trump punya dua guru namanya George H Ross untuk nego nego bisnis dan menyusun jebakan jebakan akta perjanjian yang dimenangkannya. Guru kedua Trump itu Roy Cohn dia "otak politiknya" Joseph MacCarthy biang pemasok paranoid Amerika terhadap Komunisme dekade 1950-an yang sebenarnya hanya menyenangkan CIA klik Eisenhower dan Nixon.
Salah satu hasil Roy Cohn juga pesanan politik Amerika ke Indonesia dengan adanya Razia Agustus 1951 yang sampe sampe Sjahrir aja kena sikat.
Nah si Roy Cohn ini ngajarin "Gertaklah sesuatu sampai orang itu tak punya pilihan" sementara Roy Cohn ngajarin "kamuflase ideologi" untuk menciptakan histeria sehingga kekuasaan bisa mudah tersentuh, model Raja Raja Jawa buat mistifikasi Laut Kidul. Di dua sisi inilah Trump bermain.
Trump sedang kalah dagang dengan RRC, sementara beberapa proyek AS berantakan di Timteng gara gara blunder skenario Obama di Suriah. Trump ingin reset ulang kebijakan luar negeri Obama yang cenderung naif dengan menguasai wilayah perdagangan ia coba tekan Iran.
Aksinya lebih keren dari Ronald Reagan yang cuman ngeledekin Iran kemudian dibalas Khomeini sebagai "Big Satan" padahal Reagan dan jaringan Khomeini pernah bikin operasi senyap untuk jatuhkan citra Jimmy Carter dengan operatornya George Bush, Sr yang saat itu semacam "Erick Thohir"-nya Jokowi alias Ketua Timses Reagan.
Dengan penghubung William Cassey melakukan kontrak diam diam dengan Iran yang dijanjikan Tank untuk gempur Saddam Hussein, dan citra Jimmy Carter yang lemah jatuh kepulangan sandera Amerika dan di berita berita TVRI sandera melambaikan tangan menandakan kemenangan Reagan.
Sudah jadi tradisi kelompok Republik adalah pedagang kelas kakap termasuk bisnis senjata saat Hitler ngobrak ngabrik Eropa. Orang orang Republik macam Reagan beraninya di Granada doang dan lebih senang ngobrol lalu terciptalah kalimat kalimat retorik macam Glasnost dan Perestroika, ketika Sovjet Uni mulai coba coba senggol RRC, Reagan malah memikat Gorbachev yang ujung ujung Gorby cuman iklan tas doang sambil liat tembok Berlin dihancurin. Inilah gaya Trump yang Republikein itu "Nego, Temenin dan Gertak lalu temani lagi".
Kasusnya di Irak cuman kayak adegan The Apprentice dalam seni pertunjukan bukan sebuah perang beneran seperti JFK mau hantam Havana tapi ketanggor di Teluk Babi. Beda dengan Obama yang punya latar belakang Intel Militer. Kakeknya Intel di Hawaii dan Ayah tirinya juga orang militer di Angkatan Darat RI. Yang punya akses info info pertarungan di masa perang dingin. Di bawah Demokrat lebih ideologis ketimbang orang orang Republik berkuasa.
Melihat watak dua gurunya maka mudah ditebak nggak ada perang beneran sampai menurunkan prajurit infanteri yang ada cuman aksi saling balas pidato lalu muncullah pendamai bergaya Anwar Sadat dan terciptalah ruang nego macam di Malta, Yalta ataupun Camp David.
Intinya gak adalah perang dunia ketiga. Kalau orang Jawa bilang Trump lagi gertak Semarangan aja...
Jakarta 8 Januari 2020.
Anton DH Nugrahanto
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews