Dokter Cerai

Di Singapura, ini memang perceraian termahal. Meski untuk kelas dunia tidak ada apa-apanya. Dibanding perceraian bos Amazon, MacKenzie Bezos tahun lalu.

Kamis, 9 Mei 2019 | 06:39 WIB
0
422
Dokter Cerai
Gobinathan Devathasan (Foto: SCMP)

Ia dokter. Kaya raya. Dari hasil prakteknya. Punya tujuh rumah: dua di Kanada, satu di Florida, di Thailand, di Malaysia dan di negaranya: Singapura. Punya juga pondok di kawasan ski Big White di dekat Vancouver.

Mobilnya Roll Roys jenis Ghost, Maserati Grancabrio, Range Rover, Audi 8L, Audi RS7 dan entah bagaimana cara menaikinya.

Tabungannya gendut. Dalam bentuk uang. Sebanyak sekitar Rp400 miliar.

Jam tangannya Audemars Piguet berlapis diamond.

Ia punya klinik, tempatnya praktek: di rumah sakit Mount Elizabeth Singapura.

NAMANYA:
Dr Gobinathan Devathasan.

SPESIALIS:
Ahli saraf. Neurologist.

STATUS:
Ruwet.

Maksud saya status perkawinannya.

Perkawinan yang mana?

Yang kedua itu. Yang dengan perawat berumur 19 tahun itu. Yang terjadi di tahun 1984 itu. Saat sang dokter berumur 34 tahun waktu itu.

Perkawinan itu berakhir minggu lalu. Di pengadilan Vancouver. Saat sang dokter berumur 69 tahun. Dan sang perawat berumur 55 tahun.

Heboh sekali. Jadi berita besar di Singapura. Dan di Kanada. Pengadilan yang sama juga mengadili putri pemilik Huawei Sabrina Meng.

NAMA ISTRI:
Christie. Perawat. Model. Aktif juga di EO.

Seperti juga dokter Gobinathan, Christie lahir di Singapura. Sekolah di Singapura. Awalnya jadi perawat di RS General Hospital Singapura (GHS). Tingginya 1,72 cm. Rambutnya hitam. Matanya kehijauan.

Itulah rupanya yang membuat dokter Gobinathan kepincut. Saat ia menangani pasien di RS tersebut.

Waktu itu sang dokter sudah beristeri. Punya satu anak. Christie juga sudah kawin. Belum punya anak.

Mereka saling terpikat.

Sang perawat berhenti jadi perawat. Lalu cerai dengan suaminya. Hamil bersama sang dokter. Melahirkan anak laki-laki.

Christie membesarkan anak itu sendirian. Tanpa status menikah dengan sang dokter. Bahkan tidak ada lagi hubungan. Sendirian bersama bayinya itu.

Dari tahun 1987 (saat melahirkan) sampai tahun 1993 (saat si bayi berumur 6 tahun) tidak ada kontak. Itulah pengakuan Christie di pengadilan Vancouver. Seperti dimuat media internasional. Termasuk koran-koran di Singapura.

Saat tidak ada hubungan itulah sang dokter punya anak lagi. Dengan isteri pertamanya.

Selama enam tahun sendiri itulah Christie menjadi model. Juga menjadi EO. Sampai tahun 1993.

Christie mengaku di tahun 1993 itu pula terjadi kontak lagi dengan sang dokter. Tidak dia jelaskan bagaimana proses kontaknya kembali itu.

Yang jelas keduanya kemudian menikah. Dan lahirlah anak kedua: wanita.

Lima tahun hidup di Singapura sang dokter punya ide: lebih baik sang istri tinggal di Kanada. Agar sang neurolog bisa konsentrasi di profesinya. Ia memang pekerja keras. Sangat mencintai keahliannya. Lebih 100 karya tulisnya dipublikasikan jurnal internasional. Ia diminta juga jadi asosiate profesor tamu untuk John Hopkins University, Amerika Serikat. Pernah juga menjadi kepala bagian saraf di RS National University Hospital of Singapore.

Tidak sulit bagi sang neurolog untuk mengurus izin tinggal di Kanada. Tinggal menempatkan uang tabungan 500 ribu dolar di bank di sana.

Itulah cara Kanada menarik orang kaya. Untuk memperkuat struktur sumber dana lembaga keuangannya.

Selama hidup pisah itu, dokter Gobinathan berjanji akan selalu ke Kanada. Beberapa kali setahun. Christie juga diberi hak setahun sekali ke Singapura.

Sepuluh tahun berlalu. Tahun 2015 kapal jarak jauh mereka retak. Tidak terungkap siapa yang menggugat cerai dulu. Kelihatannya Christie.

Finalnya minggu lalu itu. Sang dokter dijatuhi hukuman tambahan. Lebih berat. Membayar Christie Rp 1 miliar setiap bulan. Lalu Rp 40 miliar selama menjadi isteri. Juga membayar Rp 5 miliar untuk biaya kuliah anak wanitanya.

Saat perceraian terjadi minggu lalu anak pertama mereka sudah jadi insinyur. Sedang anak kedua berstatus mahasiswi seni di salah satu universitas di Kanada.

Hukuman tambahan diberikan karena sang dokter dianggap tidak jujur. Dan menyembunyikan aset. Soal jam berlapis diamond tadi misalnya. Dokter mengklaim itu hadiah dari pasien. Bukan hasil pembelian. Ada surat keterangannya. Tapi hakim menilai bukti itu diadakan belakangan.

Tambahan hukuman itu sebenarnya juga karena hal sepele. Hanya karena sang dokter sempat mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas. Selama proses persidangan berlangsung.

Misalnya: menyebut istrinya itu sebagai pelacur gembrot. Mungkin karena badannya sudah tidak seperti saat jadi model dulu.

Bahkan sempat juga keluar kata-kata menghina hakim wanita. Dengan istilah yang tidak pantas ditulis di sini. Yang ada kata 'mengangkangkan paha' dalam kalimat itu.

Ia juga sempat mengatakan tidak akan mau membayar satu dolar pun. Sampai kapan pun. Atas perintah siapa pun. Sampai ia mati.

"Saya hanya mau bayar dengan pantat saya," katanya.

Emosi sang neurolog memang sempat memuncak saat hakim membuat putusan sela: membekukan seluruh aset sang dokter.

Emosi itu kini sudah mereda. Kepada harian The New Paper Singapura, sang dokter berkata pendek: bisa menerima putusan itu. Juga mengatakan: putusan itu fair.

Aset itu dibekukan agar sang suami memenuhi putusan pengadilan. Tentang pembagian harta.

Salah satu pertimbangan dalam pembagian harta itu adalah: bahwa harta tersebut bisa didapat karena sang dokter bisa konsentrasi penuh mencari uang. Tidak terganggu ikut mengurus anak. Tidak pula ribet ikut mengurus rumah tangga.

Berapa nilai aset sang dokter secara total?

Pengadilan menyebut 41 juta dolar Kanada. Sekitar Rp 400 miliar.

"Itu aset kotor. Belum dipotong biaya-biaya," ujar sang dokter.

Mungkin ada beberapa pembaca DI's Way yang ikut membesarkan aset itu. Saat ke Mount Elizabeth dulu.

Di Singapura, ini memang perceraian termahal. Meski untuk kelas dunia tidak ada apa-apanya. Dibanding perceraian bos Amazon, MacKenzie Bezos tahun lalu. Yang harus membagi harta kepada isteri senilai sekitar Rp400 triliun.

Yang sebagian uang itu tentu dari Anda. Yang selama ini mengakses Amazon.com.

Siapa tahu.

Dahlan Iskan

***