Green Street Itu Bernama Ryomyom di Korea Utara

Selasa, 23 Oktober 2018 | 08:45 WIB
0
436
Green Street Itu Bernama Ryomyom di Korea Utara
Romyom (Foto: Disway.id)

Pemandangan ini tidak saya sangka. Sama sekali.

Tiba-tiba muncul banyak gedung tinggi. Di depan mata saya. Di beberapa kawasan strategis di pusat kota Pyongyang.

Itulah kawasan baru. Yang baru dibangun. Salah satunya baru selesai tahun lalu. Disebut kawasan Green Street. Orang Korea Utara menyebutnya kawasan Jalan Ryomyom. Jalan Fajar Menyingsing.

Menjelang senja itu saya diajak jalan-jalan di kawasan ini. Saya hitung. Ada 18 gedung tinggi.

Semuanya baru. Semua dicat dengan nuansa warna daun muda.

Yang tertinggi 70 lantai. Arsitekturnya sudah indah. Jauh dari arsitektur era komunisme.

”Kim Jong-Un sendiri yang memerintahkan pembangunan kawasan ini. Kim Jong-Un bilang setahun harus jadi,” ujar pejabat yang mengantarkan saya itu.

Awal tahun lalu pembangunan dimulai. Akhir tahun lalu semua jadi.

Itulah ‘rapor’ setahun di tahun 2017. Bagi Kim Jong-Un. Di bidang pembenahan kota.

Pembangunan ‘hutan gedung’ itu tidak pakai kontraktor. Dikerjakan langsung oleh tentara. Angkatan Darat. Oleh devisi yang memiliki kemampuan membangun gedung-gedung. Mungkin sejenis kesatuan zeni di struktur angkatan darat kita.

Hanya desainnya dikerjakan oleh para arsitek. Lima tahun terakhir Kim Jong-Un banyak mengirim arsitek ke luar negeri: Prancis, Jerman, Singapura dan Shanghai.

Hasilnya: kawasan baru seperti Ryomyom ini. Tidak ada mall di kawasan baru ini. Yang ada toko-toko. Atau salon kecantikan. Dan sebangsanya.

Semua gedung tinggi itu adalah perumahan. Apartemen. Untuk rakyatnya. Gratis.

Sampai malam hari saya di kawasan ini. Ingin lihat suasana malamnya. Cukup terang. Tapi tidak gemerlap. Tidak terasa ingin menonjolkan kemewahan.

Bangunan baru begitu banyak di Pyongyang. Juga restoran baru. Pusat kebugaran baru. Sauna baru.

Tahun pertama kepemimpinannya Kim Jong-Un juga bikin kejutan. Membangun museum perang yang amat megah. Juga setahun jadi. Halamannya sangat luas. Pas saya ke museum itu lagi ada yang berfoto pra-wedding.

Di sisi kanan halaman meseum dipamerkan persenjataan Amerika. Yang berhasil direbut dalam perang. Atau tank yang dilumpuhkan. Atau pesawat-pesawat tempur yang ditembak jatuh.

Di satu bagian museum itu ada gedung bundar. Diorama perang. Kita duduk diam di bangku. Lampu dimatikan. Muncul suara bom. Dan sinar dari ledakan bom itu.

Itulah awal Perang Korea. Di tahun 1950. Pesawat Amerika menjatuhkan bom di Taejon. Dekat Seoul. Di waktu subuh.

Fajar menyingsing. Diorama itu menjadi seperti suasana pagi. Di pedesaan. Di pegunungan.

Kita lupa kalau lagi berapa di dalam gedung. Kita seperti berada di planetarium. Lantai yang kita duduki berputar pelan 360 derajat. Adegan pertempuran terjadi seperti sungguhan.

Semua foto pahlawan dipajang di museum itu. Saya kira militer akan bangga pada museum ini. Rakyat juga mengagumi cara penyajiannya.

Di bidang ekonomi hampir tidak ada yang tahu: Kim Jong-Un mulai membenahi sistem perbankan. Sudah 30 bank yang mulai disesuaikan dengan sistem perbankan modern.

Rakyat sudah diperbolehkan menabung di bank. Dengan mendapat bunga tabungan 5 persen/tahun. Kim Jong-Un mengijinkan dimulainya persaingan antar 30 bank itu. Dalam menambah nasabah. Dan dalam memberi bunga.

Ada yang sudah berani memberi bunga 7 persen.

Di bidang telekomunikasi ternyata juga sudah mulai terbuka: rakyat boleh punya smartphone. Dengan jaringan 3G. Sudah ada iklan untuk mempromosikan 3G.

Pembangunan dua jalur jalan tol juga sedang disiapkan. Yang 50 Km dan 800 Km.

Hanya saja masih sulit merumuskan bagaimana penarifannya. Agar sejalan dengan ideologi Juche. Semacam ideologi komunisme ala Korut. Manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Rakyat sudah terbiasa serba gratis. Atau serba sangat murah. Bagaimana harus menghadapai jalan tol.

Rumah gratis. Sekolah gratis. Ke dokter gratis. Naik bus kota hanya bayar setara dengan Rp 75. Tujuh puluh lima rupiah. Segitu juga tarif kereta bawah tanah.

Saya juga banyak ditanya soal sistem penarifan listrik. Yang tidak memberatkan rakyat. Yang tidak bertentangan dengan Juche-isme.

Selama ini rakyat mendapat listrik 450 kw. Dengan hanya membayar Rp 7 ribu untuk tiga bulan.

Saya pun melihat fenomena modern. Saat ke kota kecil Kaesong. Dekat Pamunjom: ada orang membawa solar panel di sepedanya.

Ternyata memang lagi musim solar panel di kota itu. Saya mendongak ke atas. Ke gedung-gedung tinggi itu. Di jendela-jendela apartemen mereka itu terlihat tambahan solar panel.

Itu menunjukkan kebutuhan listrik yang meningkat. Juga menunjukkan mulai ada daya beli. Menandakan rakyat di kota kecil itu mulai tidak puas. Dengan jatah listrik yang 450 kV.

Proyek Ryomyom adalah lompatan kasat mata ketidaksabaran pemimpin muda Korea Utara: untuk maju.

Saya tidak bisa membayangkan: bagaimana kalau sanksi dunia atas blokade ekonomi Korea Utara dicabut. Rasanya akan langsung take off.

Dalam posisi diblokade total saja tetap menggeliat seperti itu. Dengan cepatnya.

Saya bisa memahami mengapa Kim Jong-Un ingin segera bebas dari blokade. Sekarang ini Korut merasa sangat tidak puas. Sudah merasa berbuat banyak.

Dengan pembatalan program nuklirnya. Tapi belum sedikit pun ada pelonggaran blokade.

”Korea Utara sudah membuat lima langkah. Mereka berharap pihak Amerika juga membuat langkah. Sekecil apa pun. Tidak usah lima langkah. Dua langkah pun cukup,” ujar seorang diplomat di Pyongyang.

Yang sangat mereka harapkan adalah: mulai boleh ekspor. Satu-dua komoditi saja dulu. Misalnya: batubara. Ke Korea Selatan dan ke Tiongkok.

Tapi Kim Jong-Un tidak menyerah. Ia terus melangkah: untuk terus membuat Ryomyom-Ryomyom baru. Di berbagai bidang.

Sejak itu tiap tahun ada proyek baru di Pyongyang. Terakhir kawasan Ryomyom itu.

Jelas sekali Kim Jong-Un terinspirasi oleh Singapura. Atau Shanghai. Dan ia ingin mengejarnya.

***

Dahlan Iskan