Pertama Ke Luar Setelah Seminggu di Rumah

Menulis, berbagi cerita, dan saling menguatkan meski hanya lewat medsos, bisa jadi terapi dan hiburan juga. Bisa sejenak menghempas kebosanan akibat terkurung berhari-hari di dalam rumah.

Jumat, 27 Maret 2020 | 09:08 WIB
0
248
Pertama Ke Luar Setelah Seminggu di Rumah
Trans;portasi yang kosong di Norwegia (Foto: Dok. pribadi)

Hari ini pertama kali saya menginjakkan kaki di luar rumah dalam kurun waktu seminggu.
Kalau biasanya paling banter cuma ke halaman cari udara segar atau dadah-dadah sama tetangga, kali ini saya harus ke pusat kota. Belanja kebutuhan dapur untuk seminggu.

Kemarin Fatih dan ayahnya belanja susu, toiletries, sayur, dan buah. Sempat spanneng dan stress tingkat kabupaten mamak dibuatnya. Tiap semenit telepon berdering. Tanya soal pisang yang bagus itu gimana. Tepungnya kayak apa. Selada mau yang jenis apa. Paprika mau yang merah, kuning, atau hijau. Perlu beli jahe apa nggak. Mending beli salmon apa trout. Tissue toilet mau yang merek apa. Dan seterusnya.

Ampun dije... Rasanya pingin banting handphone tapi takut rusak.

Setelah sampai rumah, yang dipesan shampoo, yang dibeli conditioner. Pisang udah kuniiing banget, padahal beli buat stok seminggu. Belum lagi bungkusan plastik yang mendadak jadi nambah banyak banget.

Maklum selama ini urusan belanja mingguan jadi tugas saya. Orang rumah terima beres. Saya memilih pergi sendiri karena bisa bergerak lebih cepat dan efektif.

Well, social distancing alias #dirumahaja ini memang mengubah banyak hal. Fatih dan ayahnya setidaknya jadi belajar mengenali supermarket dan tau harga-harga barang.

Sekarang giliran saya belanja ke toko daging halal dan toko bahan makanan Asia. Akhirnya saya bisa melihat langsung bagaimana kehidupan di luar sana.

Pertama, naik bus. Sepi, hanya ada beberapa gelintir penumpang. Itupun duduknya berjauhan, karena ada perintah menjaga jarak minimal 1 meter, dan jumlah maksimum penumpang 20 orang dalam 1 bus. Kursi yang boleh diduduki hanya bagian belakang. Untuk melindungi supir, ada pita pembatas.

Bagaimanapun supir memang termasuk profesi yang mau tak mau harus tetap bekerja (karena termasuk layanan publik. Demikian juga halnya dengan petugas sampah, petugas pos, dan pekerja supermarket).

Konsekuensi dari menghindari kontak penumpang dan supir adalah, bus jadi gratis tis. Lumayan menghemat jadinya.

Pusat kota yang biasanya ramai, kali ini betul-betul sepi. Hanya ada 1-2 orang yang lalu-lalang.
Restoran, cafe, toko souvenir, salon, bioskop, panti pijat Thailand, toko baju, toko buku tutup. Yang tetap buka adalah bank, apotek, dan supermarket.

Aneh rasanya, bagaikan berada di kota yang ditinggalkan penghuninya. Hanya burung-burung dara yang masih berkeliaran dengan riang, tetap mengharapkan remah-remah roti dari setiap manusia yang mendekat.

Suasana di supermarket cukup lengang, tapi barang-barang terlihat lengkap seperti biasa. Buah, sayur, tissue toilet (yang biasanya langka di banyak negara Barat saat ini), susu, roti, tepung, telur, ada semua. Harga-harga juga alhamdulillah masih normal.

Beras alhamdulillah banyak. Penting ini untuk orang Indonesia tulen seperti kami. Di tempat beras ada peringatan untuk membeli maksimal hanya 2 bungkus untuk setiap pelanggan, agar semua orang kebagian.
Di saat seperti ini kita memang tidak boleh hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.

Di berbagai sudut supermarket ada poster yang mengingatkan etika bersin, batuk, mencuci tangan sesering mungkin dengan sabun, dan pentingnya menjaga jarak aman. Antrean di kasir juga tertib. Tiap orang jaga jarak minimal 1 meter.

Baca Juga: Norwegia Pusat Episentrum Persebaran Virus

Di toko bahan makanan Asia milik orang Vietnam, tindakan preventifnya lebih ketat lagi. Di pintu masuk disediakan sarung tangan dan hand sanitizer. Ada pembatas plastik antara kasir dan pelanggan, demi mengurangi risiko penularan. Mereka juga tidak menerima pembayaran kontan untuk sementara.

Alhamdulillah stok barang mereka juga aman. Tahu, tempe, cabai, petai, dan jengkol aman.

Satu yang saya syukuri di saat krisis begini. Toko-toko kecil seperti toko Asia dan toko daging halal masih bisa bertahan. Masih cukup banyak pembeli. Setidaknya mereka masih ada pemasukan meski mungkin besarannya berkurang.

Semoga mereka bisa terus bertahan. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh para pendatang seperti kami. Yang masih bergantung pada nasi dan belum bisa beralih ke kentang atau roti. Yang masih butuh cabai untuk nyambel terasi, dan tentunya sangat mengutamakan kehalalan makanan kami.

Sekian laporan pandangan mata dari Haugesund, Norwegia.

Semoga masih belum pada eneg dengan koronavirus di mana-mana, ya, gaess. Saling berbagi cerita begini bukan cuma bisa nambah pengetahuan dan jadi inspirasi untuk kita netizen yang budiman ini.

Menulis, berbagi cerita, dan saling menguatkan meski hanya lewat medsos, bisa jadi terapi dan hiburan juga. Bisa sejenak menghempas kebosanan akibat terkurung berhari-hari di dalam rumah.

The power of social media. Mari kita manfaatkan untuk saling sapa dan menebar semangat kebaikan.

Tetap jaga kesehatan, teman-teman!

***