Sisa-sisa kesedihan perang memang masih terlihat. Tapi optimisme mulai muncul. Sedikit. Perang panjangnya memang terjadi di Afganistan.
Saya pilih lewat jalan tol. Yang di Pakistan disebut Motorway. Dari Lahore ke Islamabad. Sejauh 370 km. Ke arah utara.
Baru tahu: di Pakistan tiket jalan tolnya murah sekali. Dibanding tol menuju kampung saya di Magetan. Lahore-Islamabad ini hanya 680 rupee. Atau sekitar Rp 70 ribu.
Bandingkan Surabaya-Madiun yang hanya 170 km. Tidak sampai separonya. Tarifnya Rp 150.000. Dua kali lipatnya.
Besoknya saya lewat tol yang lain lagi. Dari Islamabad ke Balakot. Baru selesai setengahnya. Harus exit di ujung jalan yang masih dikerjakan. Masuk ke jalan lama. Sebelum kota Abbottabad.
Tapi saya syukuri saja. Sekalian melihat kota yang begitu banyak sekolahnya. Termasuk pusat sekolah militer. Yang di sebuah rumah di belakang akademi militer itulah Osama Bin Laden disergap. Menjelang subuh 2 Mei 2011. Oleh tentara khusus AS yang naik dua helikopter Black Hawk. Yang terbang selama 1,5 jam dari Afganistan. Mendarat di halaman rumah itu.
Kota Abbottabad ternyata besar sekali. Juga sangat padat. Dengan rumah miskin. Sampai ke lereng-lereng gunungnya.
Melihat padatnya lereng gunung itu saya teringat kota Madellin. Saat saya ke Colombia. Mirip sekali.
Melintasi kota Abbottabad ini kendaraan hanya bisa merayap. Di jalan aspal yang berdebu. Truk, bus, angkot, sepeda motor berebut celah.
Penat sekali. Dari ujung kota ini memerlukan waktu satu jam sendiri. Untuk ke ujung kota lainnya.
Saya membayangkan lagi lewat di Pamulang. Di Jakarta selatan. Atau sekitar bandara Pondok Cabe. Ruwet sekali.
Lebih sumpek lagi karena saya kepikiran DI’s Way. Hari itu saya belum menulis DI’s Way untuk besok paginya. Mobil ini terlalu bergoncang untuk menulis. Banyak lubang di jalan. Atau polisi tidur.
Selepas Abbottabad mungkin baru bisa menulis. Ternyata tidak. Jalannya penuh tikungan. Di sela-sela tebing gunung yang tinggi. Jalannya juga tidak mulus.
Inilah jalur utama menuju Kashmir. Melewati jalan bercabang di pertigaan setelah Abottabad.
Tapi saya ikuti jalan yang lurus. Menuju Balakot. Yang kalau diteruskan sampai perbatasan dengan Xinjiang, Tiongkok. Tinggal 50 km lagi dari Balakot.
Saya tidak sampai perbatasan itu. Berhenti di Balakot. Daerah yang 13 tahun lalu hancur total oleh gempa bumi. Yang penduduknya tinggal di lereng-lereng gunung berbatu. Yang puncaknya masih bersalju. Pun sampai akhir Maret ini. Di balik gunung itulah wilayah Kashmir. Yang lagi panas. Dua pesawat India ditembak jatuh.
Pesawat itu lagi mengincar satu kampung di daerah ini. Yang dianggap pusatnya ekstrimis -atau pejuang gigih- Kashmir.
Wilayah ini termasuk kaki pegunungan Himalaya. Karena itu puncak-puncaknya masih bersalju.
Penduduk setempat juga tinggal di sepanjang lembahnya. Yang di situ mengalir sungai berbatu. Indah sekali. Salju di atas. Air jernih mengalir di bawah. Dengan udara sejuk 17 derajat.
Saya minta sopir untuk berhenti. Tidak ada restoran bagus. Tidak ada hotel bagus. Hotel-hotel hancur saat gempa. Yang sudah kembali dibangun pun baru hotel dan restoran kelas darurat.
Saya mampir di situ. Duduk di kursi santai. Di pinggir sungai berbatu. Menghadap ke puncak bersalju. Di situlah saya menulis DI’s Way edisi kemarin.Tapi saya tidak punya internet. Ufone saya tetap tidak berfungsi. Bagaimana harus kirim naskahnya?
Teman-teman Pakistan sayalah yang menolong. Memberikan akses personal hotspot.
Tahun depan daerah ini sudah tidak sulit lagi ditempuh. Tiongkok lagi membangun Motorway sepanjang 900 km. Tidak perlu terlalu berkelok. Gunung-gunung itu di tembus dengan terowongan.
Saya hanya 1 jam di Balakot. Setelah berbincang dengan mereka saya putuskan tidak bermalam di situ. Senja itu juga menuju Peshawar. Empat jam perjalanan lagi.
Kota Peshawar adalah perbatasan Pakistan dengan Afganistan. Kebetulan sopir saya ini asli Peshawar. Bahkan sukunya Pastun. Yang menjadi suku mayoritas di Afganistan. "80 persen penduduk Peshawar suku Pastun," katanya.
Ternyata juga sudah ada jalan tol sampai Peshawar. Itu pun sudah jam 11.00 malam. Baru tiba.
Saya lagi-lagi dibawa ke penjara. Yang tembok kusamnya tinggi. Yang di atas temboknya bergulung-gulung kawat berduri. Yang di pojok atas tembok itu ada pos jaganya. Dengan tentara bersenjata.
Pun mobil kami tidak boleh masuk. Harus parkir di luar tembok. Di pinggir jalan raya. Tas harus digeledek ke pintu gerbang. Diperiksa dua kali. Oleh barisan tentara bersenjata laras panjang.
Itulah hotel bintang lima di Peshawar. Yang di balik pintu gerbang itu ada pos jaga lagi. Dengan lubang kecil di dindingnya. Dari lubang itu muncul ujung senjata. Milik sniper yang berjaga di dalamnya.
Untuk ke lobby saya melewati taman kecil. Dengan beberapa pohon agak tinggi. Di balik pohon itu ternyata juga ada tentara bersenjata.
Petugas bersenjata panjang di balik pohon halaman hotel di Peshawar.
Tapi saya tidak merasa lelah. Juga tidak merasa tertekan. Tertutup oleh banyaknya tantangan di perjalanan panjang. Juga oleh kenyataan kota Peshawar sudah bisa mulai berbenah.
Di beberapa sudut kota jalannya dilapisi aspal baru. Di sekeliling kota juga sedang dibangun jalur busway. Berupa jalan layang.
Sisa-sisa kesedihan perang memang masih terlihat. Tapi optimisme mulai muncul. Sedikit. Perang panjangnya memang terjadi di Afganistan. Tapi dampak babak belurnya memang telah menimpa sampai ke Peshawar.
Afganistan yang makan pulut. Pakistan yang tertimpa kulit nangkanya.
Dahlan Iskan
***
Catatan: Judul asli artikel ini "Motorway Murah".
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews