Para pengojek memang sudah mempersiapkan motornya sedemikian rupa. Termasuk memasang rantai motor bekas di ban belakang agar tidak selip.
Lebih dari sepuluh tahun lalu, kami pernah mengujungi Curug Malela yang terletak di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kab. Bandung Barat ini. Kondisi dulu dengan sekarang sudah jauh berubah. Terutama pada kemudahan akses jalan menuju lokasi dan fasilitas di curug yang sering disebuat sebagai Niagara mini itu.
Dulu, tempat wisata ini sepi pengunjung dan tidak tertata sebagai mana mestinya. Pelancong mulai banyak berdatangan seiring mewabahnya medsos. Banyak postingan mengulas curug di Sunga Cidadap ini. Terlebih setelah Pemprov Jabar menyuntikkan dana Rp 2,5 miliar dan menatanya pada 2019. Jumlah wisatawan melonjak, berkisar antara 4.000-5.000 orang per bulan. Meski kemudian sempat tergangggu dengan wabah corona.
Jarak tempuh pusat Kota Bandung sekitar 70 kilometer, dengan waktu tempuh 3 jam naik sepeda motor berkecepatan sedang. Tiket masuk ke lokasi wisata ini Rp 5.000 per orang, ditambah Rp 2.500 untuk sepeda motor dan 3.500 untuk mobil. Pengunjung bisa membawa kendaraannya lebih dekat ke Curug Malela. Di area parkir yang juga diramaikan warung-warung tersebut, wisatawan bisa memilih untuk jalan kaki atau naik ojek. Saran saya sih pulangnya saja naik ojek mah.
Jalan yang menurun sepanjang 1 km itu tidak seluruhnya beranak tangga permanen. Banyak yang berupa tanah. Jadi, sebaiknya pakai sepatu kets agar nyaman. Puluhan warung berjejer di kiri kanan sepanjang lereng perbukitan itu. Ada 8 buah shelter berukuran 4 x 4 meter disediakan setiap 50 meter. Sambil beristirahat, tampak curug di kejauhan dengan gemuruh suaranya.
Sensasi curug
Di lokasi utama, wisatawan dimanjakan dengan fasilitas yang bisa melihat keindahan air terjun dari dekat. Sebuah plasa berbentuk lingkaran bepagar putih dengan diameter 15 meter, menyambut para wisatawan. Tepat di tengahnya berdiri huruf-huruf besar bertuliskan “Curug Malela”.
Inilah area pandang ideal untuk untuk menikmati lima kucuran air di tebing batu hitam dengan ketinggian sekitar 80 meter dan lebarkira-kira 100 meter itu. Curug ini persis seperti sebuah bendungan yang membentang selebar sungai. Air yang jatuh tampak begitu dahsyat sekaligus juga menawan.
Dari plasa, ada pedestrian sepanjang 120 meter ke anjungan selfi yang posisinya lebih dekat lagi ke curug. Sensasi air terjun akan semakin terasa di anjungan ini.
Selain itu ada pula jembatan yang menghubungkan plasa dan area tengah sungai. Pengunjung bisa bersantai dan berfoto di bebatuan.
Pengunjung bisa berendam di tempat yang tidak terlalu dalam. Bagi mereka yang gemar berenang, bisa menikmati air terjun lebih dekat lagi hingga ke dindingnya. Tapi jangan menyeberang ke tepi hutan, banyak monyet liar ekor panjang (Macaca pasciscularis) bergelantungan di pepohonan.
Sebenarnya di kawasan itu ada enam curug lagi selain Malela, antara lain Curug Katumbiri, Curug Ngebul dan Curug Guha. Lokasi yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki adalah Curug Guha yang hanya berjarak sekitar 500 meter di selatan Malela. Tidak terlalu besar, tapi tetap layak dinikmati.
Pulangnya “offroad”
Sayangnya, fasilitas untuk kebersihan belum memadai. Tidak terlihat tempat sampah di sepanjang jalur jalan yang dilalui pengunjung. Demikian pula di sejumlah warung. Masih ada pemilik warung yang membuang sampah langsung ke tepi sungai. Selain itu, toilet umum di lokasi curug juga kurang mendukung. Keadaannya kotor dan kran-kran airnya tidak berfungsi.
Setelah cukup puas menikmati sajian alam Curug Malela, pulang kembali ke tempat parkir kendaraan adalah tantangan tersendiri. Harus menapaki jalan menanjak. Terus terang bagi saya mah cukup “menyiksa”. Maka kami memilih naik ojek dari pos Komunitas Ojek Curug Malela dengan ongkos Rp 30.000 per motor.
Jangan bayangkan seperti naik ojek pada umumnya. Jalur yang ditempuh cukup ekstrim, menyusuri jalur setapak yang berliku, sempit dan berlumpur. Maka, motor bebek pun meraung-raung menyisir perbukitan dan tepi jurang. Sungguh, adrenalin terpacu dengan aksi “offroad” ini. Pengojeknya sudah piawai, meski beberapa kali motor terhenti dan hampir terjatuh.
“Kalem Pak, jangan khawatir. Jalannya memang begini. Pegangan saja. Insya Allah selamat sampai tujun,” ujar Marwan (45) menghibur sambil tancap gas di sebuah tanjakan. Para pengojek memang sudah mempersiapkan motornya sedemikian rupa. Termasuk memasang rantai motor bekas di ban belakang agar tidak selip.
Ketika kami meninggalkan Rongga menuju Bandung, tetap harus menghadapi hambatan klise, berupa kemacetan. Setidaknya di tiga titik, yaitu Pasar Rancapanggung Gununghalu, Pasar Cihampelas dan Pasar Cililin. Jalan yang sempit dan rusak, serta parkir kendaraan sembarangan, menjadi penyebabnya. Situasi ini tidak berubah, setidaknya sejak sepuluh tahun lalu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews