Merenung di Padang Gurun

Kita punya padang pasir juga. Bahkan pasirnya berbisik-bisik di Bromo. Mau cari keterjalan macam apa? Ketinggian gunung kita punya, kecantikan pantai tinggal tunjuk sebelah mana.

Senin, 1 Juli 2019 | 21:04 WIB
0
466
Merenung di Padang Gurun
Saya di gurun (Foto: Dokumentasi pribadi)

Burj Khalifah menjadi salah satu tempat wajib dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke Dubai. Tingginya 828 meter, menghasilkan 160 lantai yang bisa dihuni. Inilah gedung tertinggi di dunia.

Burj Khalifa tidak sendirian. Ia satu yang tertinggi di antara hutan arsitektur mewah berkelas di Dubai. Ada Palm Jumeirah, kepulauan hasil reklamasi. Keindahan Pulau Palem tak hanya terlihat dari daratan tetapi dari udara. Kawasan itu seperti jari-jari pohon palem. Masih ada Pulau Deira, Pulau Jebel Ali, dan lain sebagainya.

Menyusuri hutan beton dari bibir jalan tol membuat siapa pun yang tidak pernah membaca sejarah Uni Emirat Arab (UEA) tak percaya bila kawasan itu pada mulanya adalah padang pasir gersang, berdebu, panas terik di musim panas. Matahari seperti memeluk kawasan, hingga aspal dan besi bisa meleleh.

Fakta bahwa UEA merupakan padang pasir baru tampak ketika meninggalkan kota untuk mengikuti Desert Safari. Menuju ke kawasan itu, sepanjang mata memandang hanyalah padang pasir di kiri-kanan jalan dihiasi tanaman perdu pendek-pendek.

Desert Safari menawarkan sensasi menyusuri padang pasir dengan mobil atau motor. Bulan Juni menyediakan suhu 43 derajat celsius. Bandingkan panasnya dengan Jakarta yang ketika mencapai 35 derajat saja sudah membuat lidah menjulur-julur.

Kekesalan menunggu dalam suhu sangat panas akhirnya tertebus ketika mobil mulai menyusuri padang pasir. Sopir mengingatkan untuk mengenakan sabuk pengaman, berpegangan di tempat yang telah ditentukan. Daaaaan... jreng jreng... menyiapkan plastik buat muntah.

Penjelasan itu adalah alarm karena babak berikutnya kami menjerit. Mobil melaju dengan kecepatan terkontrol, mendaki terjal, turun pun tajam. Meliuk di tepi gundukan pasir yang kemiringannya hampir 45 derajat.

Tingkat ketajaman dan kemiringan tak lagi terpikir ketika di baris bagian belakang sudah minta plastik penampung muntahan. Menit-menit berikutnya kami berharap safari segera berakhir. Sejauh mata memandang hanya pasir dan pasir. Ekstrim habis-habisan dibanding lava tour Merapi yang disuguhi pemandangan gunung dan pepohonan hijau berudara sejuk.

Di akhir safari, semua disuruh turun untuk menghirup udara segar dan berjalan-jalan. Segar? Panas tauk, angin kencang menebarkan pasir, pedih di kulit, apalagi kalau masuk ke mata. Bagaimana pula mau jalan-jalan kalau setiap langkah menjebloskan kaki ke dalam timbunan pasir.

Dan saat itu juga, berdentum-dentum ledakan di dalam hati. Berteriak histeris. Indonesiaaaaa... Indonesiaaaaa...

Kita punya padang pasir juga. Bahkan pasirnya berbisik-bisik di Bromo. Mau cari keterjalan macam apa? Ketinggian gunung kita punya, kecantikan pantai tinggal tunjuk sebelah mana. Mau pariwisata dan keindahan alam model apa? Hah? Model apa? Indonesia punya.

Sepanjang perjalanan pulang, terngiang-ngiang cerita tentang kebijakan pemerintah UEA yang mengubah arah dari bertumpu pada minyak menjadi pariwisata, jasa, dan property. Pemerintah memberi rumah gratis pada semua warga negara asli. Pendatang boleh beli property, hanya di kawasan mewah dengan harga sopran dalam jangka waktu yang ditentukan.

Fasilitas buat penduduk asli bukan hanya rumah tetapi juga pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan.

Berobat gratis gak perlu pakai BPJS. Pilih rumah sakit gak perlu lewat Puskesmas. Mau pilih berobat ke Penang supaya bisa mampir Bali atau Lombok, pemerintah akan mensponsori.

Ini yang gak ada di Indonesia. Kalau cuma air, minyak, emas, nikel, batu bara, kayu, keindahan alam, semua ada di Indonesia. Tapi... udah ah... kelanjutannya pikir sendiri. Aku mau ke Raja Ampat.

Kristin Samah, penulis dan mantan jurnalis

***