Kita punya padang pasir juga. Bahkan pasirnya berbisik-bisik di Bromo. Mau cari keterjalan macam apa? Ketinggian gunung kita punya, kecantikan pantai tinggal tunjuk sebelah mana.
Burj Khalifah menjadi salah satu tempat wajib dikunjungi wisatawan yang berkunjung ke Dubai. Tingginya 828 meter, menghasilkan 160 lantai yang bisa dihuni. Inilah gedung tertinggi di dunia.
Burj Khalifa tidak sendirian. Ia satu yang tertinggi di antara hutan arsitektur mewah berkelas di Dubai. Ada Palm Jumeirah, kepulauan hasil reklamasi. Keindahan Pulau Palem tak hanya terlihat dari daratan tetapi dari udara. Kawasan itu seperti jari-jari pohon palem. Masih ada Pulau Deira, Pulau Jebel Ali, dan lain sebagainya.
Menyusuri hutan beton dari bibir jalan tol membuat siapa pun yang tidak pernah membaca sejarah Uni Emirat Arab (UEA) tak percaya bila kawasan itu pada mulanya adalah padang pasir gersang, berdebu, panas terik di musim panas. Matahari seperti memeluk kawasan, hingga aspal dan besi bisa meleleh.
Fakta bahwa UEA merupakan padang pasir baru tampak ketika meninggalkan kota untuk mengikuti Desert Safari. Menuju ke kawasan itu, sepanjang mata memandang hanyalah padang pasir di kiri-kanan jalan dihiasi tanaman perdu pendek-pendek.
Desert Safari menawarkan sensasi menyusuri padang pasir dengan mobil atau motor. Bulan Juni menyediakan suhu 43 derajat celsius. Bandingkan panasnya dengan Jakarta yang ketika mencapai 35 derajat saja sudah membuat lidah menjulur-julur.
Kekesalan menunggu dalam suhu sangat panas akhirnya tertebus ketika mobil mulai menyusuri padang pasir. Sopir mengingatkan untuk mengenakan sabuk pengaman, berpegangan di tempat yang telah ditentukan. Daaaaan... jreng jreng... menyiapkan plastik buat muntah.
Penjelasan itu adalah alarm karena babak berikutnya kami menjerit. Mobil melaju dengan kecepatan terkontrol, mendaki terjal, turun pun tajam. Meliuk di tepi gundukan pasir yang kemiringannya hampir 45 derajat.
Tingkat ketajaman dan kemiringan tak lagi terpikir ketika di baris bagian belakang sudah minta plastik penampung muntahan. Menit-menit berikutnya kami berharap safari segera berakhir. Sejauh mata memandang hanya pasir dan pasir. Ekstrim habis-habisan dibanding lava tour Merapi yang disuguhi pemandangan gunung dan pepohonan hijau berudara sejuk.
Di akhir safari, semua disuruh turun untuk menghirup udara segar dan berjalan-jalan. Segar? Panas tauk, angin kencang menebarkan pasir, pedih di kulit, apalagi kalau masuk ke mata. Bagaimana pula mau jalan-jalan kalau setiap langkah menjebloskan kaki ke dalam timbunan pasir.
Dan saat itu juga, berdentum-dentum ledakan di dalam hati. Berteriak histeris. Indonesiaaaaa... Indonesiaaaaa...
Kita punya padang pasir juga. Bahkan pasirnya berbisik-bisik di Bromo. Mau cari keterjalan macam apa? Ketinggian gunung kita punya, kecantikan pantai tinggal tunjuk sebelah mana. Mau pariwisata dan keindahan alam model apa? Hah? Model apa? Indonesia punya.
Sepanjang perjalanan pulang, terngiang-ngiang cerita tentang kebijakan pemerintah UEA yang mengubah arah dari bertumpu pada minyak menjadi pariwisata, jasa, dan property. Pemerintah memberi rumah gratis pada semua warga negara asli. Pendatang boleh beli property, hanya di kawasan mewah dengan harga sopran dalam jangka waktu yang ditentukan.
Fasilitas buat penduduk asli bukan hanya rumah tetapi juga pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan.
Berobat gratis gak perlu pakai BPJS. Pilih rumah sakit gak perlu lewat Puskesmas. Mau pilih berobat ke Penang supaya bisa mampir Bali atau Lombok, pemerintah akan mensponsori.
Ini yang gak ada di Indonesia. Kalau cuma air, minyak, emas, nikel, batu bara, kayu, keindahan alam, semua ada di Indonesia. Tapi... udah ah... kelanjutannya pikir sendiri. Aku mau ke Raja Ampat.
Kristin Samah, penulis dan mantan jurnalis
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews