Concorde, Keteledoran Mengakhiri Kedigjayaan

Terjawablah sudah apa penyebab jatuhnya pesawat Concorde AF4590 pada tanggal 25 Juli tahun 2000. Menurut Alain Bouliard, pecahnya roda pendarat Concorde saat itu bukan kejadian pertama.

Jumat, 18 Oktober 2019 | 06:46 WIB
0
826
Concorde, Keteledoran Mengakhiri Kedigjayaan
Concorde terbakar (Foto: Liputan6.com)

Hari itu, Selasa 25 Juli tahun 2000, pukul 16.40 Waktu Eropa Tengah (CET) pesawat Concorde Air France dengan nomor penerbangan 4590 sudah bersiap untuk take off dari Bandara Charles de Gaulle (CDG), Paris menuju JFK, New York, Amerika Serikat. Seratus penumpang yang 96 orang di antaranya adalah warga Jerman, dan enam awak kabin sudah duduk manis.

Concorde terbang membelah langit dengan laju dua kali kecepatan suara atau 2.700 kilometer per jam. Hanya perlu waktu sekitar 2,5 jam untuk melahap jarak dari Paris ke New York sejauh 5.850 kilometer. Sementara pesawat komersial biasa memerlukan waktu hingga delapan jam.

Penerbangan selama 2,5 jam menghabiskan bahan bakar sebanyak 25.630 liter. Corcorde memang sangat rakus bahan bakar. Untuk taxi dari apron menuju unjung landasan sebelum take off, menghabiskan bahan bakar setara jumlah yang dikonsumsi mobil selama enam bulan.

Kenyamanan terbang dengan kecepatan supersonic didapat dengan membeli tiket seharga US$10.000 saat itu. Harga tiket tersebut dua setengah kali lebih mahal dibanding harga tiket kelas utama untuk penerbangan Paris - New York menggunakan pesawat jet biasa. Tidak heran ketika Concorde masih dioperasikan oleh British Airways dan Air France, sebagian besar penumpangnya adalah para pebisnis kaya yang sebagian besar warga negara Jerman.

Petugas Air Traffic Control di CDG yang bertugas hari itu, Gilles Logelin dengan setengah bercanda menyapa Kapten Christian Marty. Ia menawarkan kepada Kapten Marty, untuk memilih landas pacu yang mana yang akan dipakai untuk take off dengan menyebut jenis minuman.

“Selamat sore Capt. Marty. Anda memilih Whiskey 10 atau Romei?” tanya Logelin.
“Romei,” jawab Capt. Marty singkat.
“Ok, silakan anda masuk ke landas pacu 26 R (kanan).”

Capt. Christian Marty, seperti halnya pilot-pilot Concorde lainnya adalah pilot terbaik yang dipilih dari pilot-pilot terbaik di dunia. Ia sudah mencatatkan total 23.000 jam terbang, dengan pesawat jet konvensional maupun Concorde. Hari itu Capt. Marty didampingi Co-Pilot Jean Marcot dan Teknisi Giller Jardinaud.

Co-Pilot Marcot menurunkan hidung (nose) pesawat. Ide hidung pesawat Concorde bisa diturunkan dan dinaikkan berasal dari pemikir Albania, Edward de Bono. Tujuannya, ketika pesawat melakukan taxi dari apron menuju landas pacu atau sebaliknya, nose diturunkan agar pilot dan co-pilot bisa melihat jelas landasan di depan yang akan dilalui.

Empat mesin Rolls Royce/Snecma Olympus 593 Turbojet menderu di ujung landasan 26 kanan yang membentang sepanjang 4.215 meter. Sesaat kemudian pesawat buatan British Aerospace (Bae) dan Aerospatiale itu melesat dengan kecepatan 198 knot. Laju Concorde saat take off, 40 knot lebih cepat dibanding Boeing 747. Setelah menempuh setengah panjang landas pacu, Capt. Marty mengatakan, “V1...!” Pesawat sudah mulai menanjak.

Namun sekitar dua detik kemudian terdengar ledakan dari sebelah kiri pesawat. “Awas...!” teriak Teknisi Jardinaud. Sambil mengaktifkan pemadam kebakaran otomatis, ia mengusulkan agar Capt. Marty membatalkan take off. Tapi Capt. Marty tetap melanjutkan take off. Alasannya, jika dibatalkan, dengan kecepatan 198 knot, sementara sisa landasan tinggal sekitar 1.500 meter, maka dipastikan pesawat akan mengalami overrun, melewati ujung landasan, menabrak pagar bandara.

Dari menara ATC, Logelin melihat kejadian itu, dan memberi tahu Capt. Marty, “AF4590, di ekormu terlihat api...!” ia langsung menekan tombol darurat untuk menggerakkan regu penyelamat menuju ujung landasan 26-R. Ia juga memerintahkan semua pesawat yang sedang terbang untuk menjauhi Bandara Charles de Gaulle.

Capt. Marty segera mematikan dua mesin di sebelah kiri. Ia pun memberi tahu Co-Pilot Marcot untuk mengarahkan pesawat ke bandara terdekat, Le Bourget. Namun dengan matinya dua mesin di sebelah kiri, pesawat kehilangan tenaga dan miring ke kiri. Dari jauh, Concorde AF4590 tampak seperti roket yang melaju horisontal, api dan asap tebal menghambur dari bagian belakang. Akhirnya pesawat jatuh menghantam hotel dekat bandara. 109 orang yang ada di pesawat dan 4 orang yang sedang berada di hotel, tewas seketika.

Di ruang pengawas ATC, Logelin yang menyaksikan mulai bagian belakang pesawat menyemburkan api hingga jatuh menimbulkan cendawan asap hitam, jatuh terduduk di atas lantai karpet. “Melihat asap dari ledakannya seperti itu, tidak mungkin ada yang selamat,” katanya sambil menangis.

Kurang dari satu jam setelah kejadian tim dari Le Bureau d'Enquêtes et d'Analyses (BEA), komite keselamatan transportasi Perancis yang dipimpin oleh Alain Bouliard langsung melakukan penyelidikan. Satu tim di landasan, satu tim di lokasi jatuhnya pesawat.

Pesawat mengalami kehancuran total, karena setelah jatuh, lebih dari 25.000 liter avtur yang tersimpan di 13 tanki meledak dan membakar reruntuhan pesawat dan hotel. Api berkobar selama lebih dari dua jam, hingga merusak black box yang di-design tahan terbakar selama 30 menit. Untuk membuka rekaman pembicaraan, black box harus diperbaiki dulu. Semua kepingan dari reruntuhan pesawat dikumpulkan dan direkonstruksi di hanggar CDG.

Di landasan, tim BEA menemukan ceceran bahan bakar bercampur carbon, serpihan tanki, ban pesawar, dan sebuah lempengan logam berwarna kuning sepanjang 60 centimeter dengan lebar 5 centimeter, dan berat 200 gram. Semuanya dibawa ke laboratorium untuk diperiksa.

Di antara benda yang ditemukan di landasan, hanya lempengan logam yang belum diketahui berasal dari bagian mana dari pesawat. Lempengan dengan lima lubang bekas mur itu, satu sisi dilapisi lem, satu sisi lagi dicat warna kuning. Ada kecocokan antara lempengan logam itu dengan bekas sayatan pada serpihan ban pesawat.

Para penyelidik dari BEA mengira, lempengan itu adalah bagian dari kendaraan darat ketika membersihkan landasan. Namun perkiraan itu ditepiskan karena lempengan terbuat dari bahan Titanium yang kuat dan tahan api hingga 600 derajat Celcius. Ini bagian dari pesawat. Setelah dipastikan itu bukan bagian dari Concorde AF4590. Alain Bouliard memberi waktu dua minggu bagi Tim BEA untuk mengetahui, dari mana asal lempengan itu.

Di bawah tekanan media yang terus bertanya tentang penyebab jatuhnya Concorde AF4590, Tim BEA bekerja keras siang malam. Hasilnya, dugaan mengarah pada pesawat yang sebelum kejadian menggunakan landas pacu nomor 26-R. Sebagai catatan, pada pukul 12.00 landasan 26-R dibersihkan.

Artinya, lempengan itu jatuh dari pesawat yang landing atau take off setelah pukul 13.00 CET, itu ada dua pesawat, yaitu satu Boeing 747 dan satu DC-10. Penyelidikan awal menyimpulkan bahwa lempengan itu berasal dari pesawat DC-10 yang pada tanggal 25 Juli tahun 2000, lepas landas dari Bandara Charles de Gaulle, 10 menit sebelum Concorde AF4590 take off. Setelah ditelusuri, DC-10 yang diduga sebagai pesawat di mana lempengan Titanium itu berasal, adalah milik Continental Airlines. Pesawat itu berada di Forth Worth International Airport, Dallas, Texas.

Tim BEA bekerja sama dengan National Transportation Security Board (NTSB) Amerika Serikat meneliti berkas maintenance pesawat DC-10 Continental Airlines dalam setahun terakhir. Diketahui, pada tanggal 11 Juni 2000, lis pada penutup mesin sebelah kiri diganti di Tel Aviv, Israel. Bagian tersebut, diganti lagi di Houston Texas pada tanggal 8 Juli 2000. Kemudian, lempengan dan jenis lem yang dipakai dicocokan dengan yang ditemukan di landasan Bandara Charles de Gaulle. Pas. “Kita menemukan pelakunya,” kata Bob Macintos dari NTSB.

Pertanyaannya kemudian, apakah logam itu bisa memecahkan ban pesawat Concorde yang sangat kuat? Tim BEA melakukan simulasi. Concorde dengan bobot penuh muatan 110 ton, memiliki 10 roda pendarat. Lempengan itu diletakkan di landasan, lalu dilindas oleh satu ban Concorde berisi Nitrogen bertekanan tinggi diberi beban seberat 25 ton. Hasilnya, ban tersebut meledak, hancur.

Jadi teorinya, pecahan ban itu menghantam tanki yang terdapat di sayap kiri bagian belakang. Hingga menimbulkan kebocoran bahan bakar dan tersambar udara panas yang keluar dari after burner mesin pesawat hingga terbakar.

Tapi, fakta di lapangan, lubang kebocoran pada tanki bahan bakar menunjukkan arah keluar, bukan ke dalam seperti umumnya terhantam atau tertusuk benda keras. Kemudian dilakukan tes berulang-ulang. Ternyata, serpihan ban tidak menyebabkan kebocoran, tapi menekan lapisan tanki ke dalam. Itu menyebabkan tekanan dalam tanki meningkat drastis. Pada saat yang sama, bahan bakar masih penuh dan terus bergerak menekan ke luar, akhirnya menimbulkan lubang yang sisi lingkarannya mengarah ke luar. Maka menyemburlah bahan bakar.

Terjawablah sudah apa penyebab jatuhnya pesawat Concorde AF4590 pada tanggal 25 Juli tahun 2000. Menurut Alain Bouliard, pecahnya roda pendarat Concorde saat itu bukan kejadian pertama. Sebelumnya, selama 31 tahun pesawat yang design-nya dijiplak oleh Rusia dan dijadikan pesawat pengebom Tupolev Tu-144 pada tahun 1977 itu, pernah mengalami pecah ban hingga enam kali. Akibat terburuk dari pecah ban adalah hancurnya velg roda pendarat saat mendarat.

Pilot senior yang juga mantan pilot Concorde, Jean Louis Chatelain mengatakan, “Apa yang dialami oleh Capt. Marty tidak ada dalam pelatihan. Sesuatu yang tidak ingin Anda hadapi dalam karir sebagai pilot. Saya tahu kemampuan Marty. Dia adalah salah satu pilot terbaik di dunia.”

Akibat kejadian tersebut, semua armada Concorde, baik yang dioperasikan oleh British Airways maupun Air France dihentikan sampai BEA mengumumkan penyebab pasti kecelakaan yang menimpa AF4590. Baru lima belas bulan kemudian, Concorde mengudara kembali mengangkut para penumpang kaum makmur.

Pada tanggal 26 November 2003 Concorde milik British Airways melakukan penerbangan terakhir dari London ke Filton Airfield, dekat Bristol. Kota itu adalah tempat kelahiran Concorde. Sejak pertama kali terbang tahun 1969, hanya satu unit Concorde yang mengalami kecelakaan. Itu pun disebabkan oleh kelalaian pihak lain yang di luar kontrol dan kewenangan Air France sebagai operatornya. Satu-satunya persoalan Concorde sebagai pesawat penumpang komersial adalah harga tiketnya yang teramat mahal.

Ide pembuatan pesawat Concorde dikemukakan oleh Arnold Hall, Direktur Royal Aircraft Establishment (RAE) pada tahun 1950. Ia meminta koleganya, Morein Morgan untuk membentuk komite untuk melakukan studi guna membuat konsep pesawat transport berkecepatan supersonic (SST). Tim mulai melakukan studi pada tahun 1954 dan setahun kemudian menyampaikan laporannya.

Baru sepuluh tahun kemudian, rancangan pesawat penumpang komersial diperkenalkan dan dikerjakan. Pesawat ini pertama kali dikembangkan oleh dua pabrikan pesawat terkemuka Eropa, British Aerospace (Bae) Inggris dan Aerospatiale Perancis, pada tahun 1965 dengan biaya pengembangan £1,3 miliar. Jumlah pesawat Concorde yang diproduksi sebanyak 20 pesawat. Saat itu (1972), harga per unit pesawat sekitar US$34 juta. Sebagai pembanding, saat itu harga per unit Boeing 747 hanya US$24 juta.

Pesawat ini melakukan penerbangan perdana pada tahun 1969, dan mulai melayani penerbangan komersial British Airways dan Air France pada tahun 1976, masing-masing maskapai mengoperasikan tujuh pesawat. Sebenarnya, ketika proyek Concorde dipubikasikan, ada 16 maskapai penerbangan yang memesan Concorde dengan total pesawat yang dipesan sebanyak 62 unit. Namun kemudian 14 airliner membatalkan pesanannya.

Itulah kiprah pesawat penumpang komersial yang sangat fenomenal yang hingga kini belum ada gantinya. Namun sayang sekali, di penghujung masa beroperasinya pesawat lambang kedigjayaan teknologi penerbangan sipil Eropa harus tercoreng oleh sekeping logam di landasan, akibat keteledoran kerja seorang teknisi di seberang lautan.

Kesimpulannya, peristiwa jatuhnya pesawat Concorde AF4590 di Bandara Charles de Gaulle 25 Juli 2000, adalah ujung dari satu flow chart tentang keteledoran seorang teknisi di hanggar maintenance Continental Airlines di Houston Texas yang jaraknya puluhan ribu kilometer dari Paris.

Dalam sejarah penerbangan sipil, sudah banyak pesawat yang jatuh dan mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah cukup banyak, yang penyebab awalnya sangat sepele. Hampir semua pengabaian persoalan sepele itu berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia.

***