Tidak salah jika kemudian, selama setahun terakhir lebih dari 30 pemerintah daerah dan instansi pusat datang ke Sumedang untuk studi banding.
Teknologi informasi, digitalisasi, dan beragam hal yang terkait dengannya selalu terkesan mahal. Tidak ada yang murah. “Ada rupa ada harga,” peribahasa yang selalu terngiang setiap kali berkaitan dengan teknologi informasi. Apalagi bicara digitalisasi. Apalagi program transformasi digital. Wah, pasti memerlukan dana yang besar.
Akan tetapi saya terkaget-kaget ketika berkunjung ke Sumedang, awal Desember 2021 ini. Ternyata, program Transformasi Digital yang sukses dijalankan Pemerintah Kabupaten Sumedang, tidak berbiaya tinggi. Alias relatif rendah. Bagaimana ceritanya?
Saya riset sejenak di media-media, Pemkab Sumedang sukses besar dengan transformasi digitalnya. Bahkan menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia. Bahkan kini menjadi rujukan banyak kementerian dan pemerintah daerah lainnya. Kok bisa berbiaya rendah?
Pada 2018 lalu, saya mulai berhubungan dengan teknologi informasi secara lebih intens. Saya membangun sebuah perusahaan berbasis IT (PT. Jaga Nusantara Satu). Perusahaan ini menyediakan pelatihan untuk Satuan Pengamanan (Satpam) berbasis IT sekaligus mengelola aplikasi untuk operasional Satpam. Untuk membangun suatu aplikasi, perlu biaya tidak sedikit. Satu aplikasi yang relatif sederhana saja menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Ongkos untuk para programmer itu mahal. Mereka juga memasang tarif tinggi. Apalagi di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya.
Awal tahun 2021 ini, kembali saya berkecimpung di dunia IT dengan membangun PT. Borneopedia Digital Indonesia (BDI). Produk unggulan kami, aplikasi interaksi sosial Borneopedia. Dan lagi-lagi ongkos untuk menciptakan aplikasi ini tidak murah. Menghabiskan ratusan juta rupiah. Apalagi jika aplikasinya terus berkembang dan semakin besar serta kompleks, pasti memerlukan dana miliaran rupiah.
Bagaimana dengan super aplikasi seperti Gojek, Tokopedia, dan sejenisnya? Wah, pasti memerlukan bermiliar-miliar rupiah untuk membangunnya. Belum termasuk operasionalnya. Mahal sekali deh.
“Kami buktikan bahwa teknologi tidak selalu mahal,” ucap Sekretaris Daerah Sumedang Herman Suryatman. Saya menatap tajam penuh ketidakpercayaan. Pak Sekda paham dengan tatapan keraguan saya.
Pemkab Sumedang berhasil membangun sistem teknologi informasi yang memadai dan mampu mendukung peningkatan kinerja ASN dalam membangun wilayahnya. Dengan bantuan teknologi, beberapa permasalahan mendasar pembangunan dapat diatasi. Bahkan, di luar dugaan banyak pihak. Menjadi luar biasa karena semua program Transformasi Digital di sana dikerjakan oleh orang lokal. 100% Urang Sumedang.
Dan inilah rahasianya!
Pemkab Sumedang memberikan kepercayaan penuh kepada talenta-talenta muda Sumedang yang menguasai teknologi untuk berkreasi sesuai ‘pesanan’ Pemkab. Sebagian besar anak SMK (Lulusan SMKN 1 Sumedang di bawah kendali Arief Syamsudin). Kemudian, mereka memadukan kekuatan itu dengan para ASN di lingkungan Pemkab. Semuanya (46 orang) adalah anak-anak muda usia milenial. Dengan kepercayaan penuh tersebut, anak-anak muda itu berhasil mewujudkan mimpi Sumedang melakukan Transformasi Digital. Tentu dengan panduan dan pengawasan ketat dari Pemkab Sumedang dengan komando tiga pemimpin Three Musketeer (Bupati, Wakil Bupati, dan Sekda) yang punya komitmen sangat kuat.
Buat saya hal ini sangat menarik. Apa yang dilakukan Pemkab Sumedang seperti membalikkan keyakinan banyak pihak terhadap talenta programmer lokal dan para ASN-nya. Siapa bilang mereka tidak bisa? Siapa bilang mereka kalah kualitas dibanding programmer di kota besar? Siapa bilang? Mereka bisa asal mendapatkan kepercayaan dan panduan yang benar. Pemkab Sumedang juga menjungkirkan peribahasa “Ada rupa ada harga.”
Transformasi digital di Sumedang bukan main-main. Saya hitung-hitung, tidak kurang dari 20 aplikasi yang sudah mereka bangun untuk mendukung program Pemkab. Mulai dari aplikasi di pedesaan sampai di tingkat kabupaten. Mulai dari aplikasi e-office, e-health, sampai aplikasi pelaporan jumlah ternak kambing masyarakat secara real time. Seluruh aplikasi tersebut kemudian terintegrasi dalam super aplikasi sesuai dengan standar SPBE (Sistem Pelayanan Berbasis Elektronik) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Jika menggunakan kalkulasi normal, Transformasi Digital tersebut pasti menghabiskan dana belasan bahkan mungkin puluhan miliar rupiah. Apalagi jika diembel-embeli label proyek. Begitu banyak perusahaan di luaran sana yang siap menyambar proyek bernilai miliaran itu. Hal instan yang tidak menjadi pilihan Pemkab Sumedang. Mereka percaya penuh kepada talenta IT lokal dan para ASN-nya dengan biaya yang lebih efisien serta terkontrol. Kepercayaan yang berbuah manis.
Bukti kehebatan talenta-talenta lokal itu ditunjukkan dengan prestasi luar biasa Sumedang sebagai yang terbaik di Indonesia pada 2021 ini untuk kategori SPBE pemerintah daerah. Sumedang secara keseluruhan hanya kalah dari LAPAN, suatu institusi negara yang memang akrab dengan teknologi canggih. Sumedang mengalahkan Bandung yang lebih dulu ber-smart city, mengalahkan Jakarta yang lebih kaya, mengalahkan kota dan kabupaten lain yang konon punya SDM lebih baik. Juga mengalahkan instansi pemerintah yang budget IT-nya berlipat-lipat lebih besar dibanding Sumedang.
Tidak salah jika kemudian, selama setahun terakhir lebih dari 30 pemerintah daerah dan instansi pusat datang ke Sumedang untuk studi banding. Kota yang sebelumnya lebih dikenal sebagai produsen Tahu itu berubah menjadi rujukan teknologi canggih. Sumedang menyadarkan kita, bahwa melakukan Transformasi Digital tidak selalu mahal, tidak perlu mengimpor SDM, dan tidak harus dengan label proyek.
Percayakan saja kepada SDM lokal. Pandu dan dampingi secara benar. Jangan lupa, komitmen kuat para pemimpinnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews