Televisi Sebagai Artefak Posmodern

Dari sudut pandang pemirsa yang lapar imaji, produk televisi adalah pertunjukan gaya hidup. Dari sudut pandang pengiklan dan pembuat acara produk televisi adalah pemirsa itu sendiri.

Rabu, 10 Februari 2021 | 11:38 WIB
0
222
Televisi Sebagai Artefak Posmodern
Nonton televisi (Foto: republika.co.id)

Akhirnya ruang dan waktu dipenuhi televisi. Dari subuh hingga larut malam siklotron mini itu terus meletupkan blip-blip membentuk citra-citra elektronis aneka realitas dan memaku tubuh kita di tempat duduk. Sorot matanya yang tunggal menyeret suasana hati dan menghisap pikiran habis-habisan.

Dari dapur hingga ruang satpam, dari menara suar hingga ke bilik penjara blip-blip menyelinap kemana-mana. Televisi bagai oksigen bagi nafas hidup sosial masa kini. Tak ada ruang dan waktu untuk kita mengasingkan diri lepas dari sorot tajam ”si mata satu” - artefak paling berpengaruh pada masa kini.

Makna apa yang sebenarnya yang disodorkan televisi bagi peradaban posmodern? Pertanyaan ini penting dijawab mengingat arah perkembangan kehidupan posmodern menggugat banyak sekali ”proyek-proyek modern” dan televisi berada di titik pusat gugat-menggugat modernisme versus posmodernisme ini.

Ramalan tentang Televisi dan Tiga Tafsirnya

Tulisan Rudolph Annheim yang berjudul ”Meramal Televisi” yang ditulis pada tahun awal terciptanya televisi (1935) menyimpulkan bahwa meski dapat memperkaya intelektual televisi juga berpotensi ”meninabobokan” kita. Sementara itu Douglas Cater yang menulis beberapa dekade kemudian (1970) menyatakan bahwa televisi telah gagal menghidupkan janji-janji yang dikemukakan sebelumnya.

Kedua penulis di atas mewakili dua generasi dari kurun yang berbeda, menunjukkan bagaimana televisi yang pada awalnya diterima secara optimistik akhirnya mulai menimbulkan kecemasan. Dengan menyadari keunggulan sifat dan perilakunya masyarakat modern pun memberi sejumlah peran kepada televisi. Pada mulanya televisi berperan melakukan transfer informasi secara audio-visual, selanjutnya televisi diberi peran sebagai pembangkit minat dan pendorong perubahan, dan yang paling mutakhir adalah pembentuk citra sekaligus realitas.

Fase-fase fungsional ini menarik televisi dari posisi yang semula di pinggiran proyek modernisme ke tengah pusaran modernisme. Dan ketika proyek modernisme dipersoalkan oleh masyarakatnya karena dianggap tidak lagi menampung gairah hidup zamannya televisi berdiri di garis batas antara modernisme dan posmodernisme.

Pada titik inilah Arthur Kroker & David Kook dalam The Posmodern Scene (1988) menyodorkan tiga tafsirnya tentang peran televisi dalam proyek posmodernisme. Tiga tafsir itu sendiri hendak mengukuhkan argumentasi mereka berdua bahwa: ”Televisi sejatinya adalah duniawi dari masyarakat, ekonomi, dan budaya posmodernisme.”

Tafsir pertama menyatakan bahwa televisi sebagai budaya serial. Kedua, televisi merupakan teknologi posmodern, dan ketiga hiburan adalah ideologi dominan dalam budaya televisi. Tafsir ini sekaligus memberikan visi baru yang menolak dua tafsir yang sudah ada sebelumnya; pertama yang dikembangkan oleh kaum Positivis yang melihat televisi sebagai cermin sosial lewat representasi realitas. Tafsir kedua dari kaum Marxis yang menafsir televisi sebagai refleksi kultural dari bentuk-bentuk komoditas, dalam hal mana televisi melakukan reproduksi elektronik dari kepentingan-kepentingan ideologis.

Televisi sebagai Wujud Budaya Serial

Konsep budaya serial sebenarnya berasal dari Jean Paul Sartre ketika membahas implikasi filosofis media massa, khususnya radio. Menurut Sartre efek pervasif (kemampuan menyebar) dari media massa menjalar pada struktur serial permirsanya. Hal ini memungkinkan media massa mereproduksi ”keserangkaian” sebagai wujud budaya. Bagi Sartre budaya serial merupakan ”mode mengada”.

Dalam budaya serial terkandung dua hal penting yakni pertama, konsep ketidakhadiran sebagai mode relasi antarpemirsa dan kedua, prinsip alteritas Para pemirsa dihadirkan atas dasar ”hubungannya dengan objek yang ditampilkan televisi dan reaksinya terhadap objek tersebut.” Karenanya pemirsa tak lebih dari ”unit serial” yang membentuk budaya serial. Hal kedua adalah prinsip alteritas, dimana keanggotaan pemirsa televisi didasarkan atas keakuannya yang kedua.

Ternyata ketidakhadiran dan alteritas melahirkan impotensi (ketidakberdayaan) pemirsa, yang kemudian dimanfaatkan sebagai pengikat bagi pasar media. Gagasan tentang impotensi pemirsa sebenarnya persis sama dengan teori jarum hipodermik komunikasi massa dari Wilbur Schramm. Dalam teori jarum hidpodermik dikemukakan bahwa komunikan (pemirsa) disuntik dengan pesan-pesan sehingga tak berdaya menolak efek yang ditimbulkan atas suntikan jarum “pesan” ini.

Meskipun di kemudian hari teori ini mendapat tentangan dari pakar lainnya, namun teori ini telah menjadi basis operasional berbagai terapan komunikasi massa. Bahkan Goebel, menteri propaganda NAZI di bawah kepemimpinan Adolf Hitler di Jerman, dengan cerdik berhasil mempraktikkan teori jarum hidpodermik untuk membangkitkan chauvinisme ras Aria lewat propaganda radio.

Sejajar dengan jarum hipodermik ini, maka impotensi yang dibiakkan oleh media massa dimaksudkan agar pemirsa mengikuti apa saja yang diskenariokan oleh elit media. Pemirsa yang dililit tangan-tangan gurita elit media diubah menjadi kerbau dicocok hidung yang kemudian digiring ke dalam sirkuit untuk dilumat menjadi alat tukar dan alat promosi dagang di pasar yang bernama media.

Dalam budaya serial, Televisi mereduksi pemirsa menjadi unit yang pasif. Untuk menghasilkan pemirsa sebagai unit pasif inersia, yang akhirnya tak lebih dari materi anorganik, televisi terlebih dahulu menggempur dan mendekonstruksi sifat-sifat resiprositas komunikasi. Dalam khasanah lama dekonstruksi atas resiprositas komunikasi ini dipahami sebagai pengubahan dari komunikasi timbal balik (two way traffic communication) menjadi komunikasi satu arah (one way traffic communication).

Kroker & Kook menyodorkan dialektika ”tiga momen” dalam memahami lahirnya budaya serial yakni: momen kemenangan (triumph), kemarahan tanpa daya (impotent indignation), dan keterpesonaan (fascination). Ada saatnya ketika menyaksikan acara televisi kita menyadari bahwa diri kita ternyata lebih cerdas dari elit media (triumph), sayangnya upaya untuk mengunjuk diri bahwa kita lebih cerdas ternyata tak berhasil dilakukan. Kita sebagai pemirsa akhirnya tak berdaya, komunikasi kehilangan resiprositasnya.

Pada situasi inilah muncul kemarahan tanpa daya (impotent indignation); Kita tak diijinkan bicara sementara elit media yang angkat bicara ternyata tidak mengatakan apa-apa. Berikutnya, kejengkelan dan kegondokan yang tanpa daya ini membuat kita terpesona atas keterjebakan diri kita sebagai orang lain dalam unit pemirsa televisi (fascination).

Televisi sebagai Teknologi Posmodern

Televisi lahir pada titik putus sejarah antara surutnya abad sosiologi dan pasangnya era komunikasi. Televisi berada di garis perbatasan dari pergeseran besar antara ”matinya masyarakat” dan ”gemilangnya kehampaan”. Dengan meletakkan televisi di tengah-tengah pusaran peradaban posmodern, kita hendak menyatakan bahwa televisi adalah wujud hakiki teknologi posmodern.

Sebagai teknologi posmodern televisi membangun dirinya sebagai simbol-simbol dan mengeliminasi norma-norma. Televisi tidak melakukan sosialisasi tapi sebaliknya mengembangkan sekadar penandaan. Televisi melakukan eksteriorisasi pikiran, membangkitkan semiurgy radikal lewat simulasi, dan bukannya melakukan rasionalisasi malah meningkatkan efek titilasi (penggairahan dan perangsangan). Televisi menggunakan kekuasaannya sebagai alat penggoda dan pembujuk bukan sebagai alat pemaksa.

Televisi merupakan simbol bangkitnya ideologi teknisisme. Dalam hal ini televisi melakukan tiga cara untuk menghadirkan dan menegakkan ideologi teknisisme.

Pertama, televisi melakukan makar atas sosialitas kita. Televisi mensubstitusi kehadiran solidaritas antarmanusia dalam masyarakat asli dengan imaji-imaji sosial yang elektronis. Apa yang ditampakkan televisi kita sangka sebagai realitas sosial padahal semua itu tak lain sebagai imaji-imaji semu elektronis yang tak lebih dari antimateri sosialitas kita. Apa akibatnya pada pemirsa? Pemirsa berubah menjadi mahluk antilingkungan yang menyusun diri secara elektronik dan dilegitimasi sebagai masyarakat elektronik. Pemirsa tak lebih dari rakyat dari kerajaan voyeur (sebuah masyarakat mata tak bertubuh).

Kedua, televisi menjalankan makar psikologis. Makar ini dilakukan secara mengesankan lewat pembentukan suasana hati (mood). Pembentukan suasana hati dapat terjadi karena teknologi televisi menciptakan kaitan yang menentukan antara simulacrum dan biologis dengan menciptakan koneksi saraf sosial dan suasana psikologis pemirsa. Koneksi saraf sosial inilah yang mendorong-dorong individu untuk memiliki suasana hati yang telah ditentukan. Akibatnya, keberadaan diri pemirsa tak lagi ”mengada yang eksistensial’ tapi ”mengada yang serial”, mengada karena dicantolkan pada rangkaian struktural pemirsa televisi.

Ketiga, televisi melakukan kolonisasi lewat teknologi. Televisi menjadi sebuah model istimewa tentang bagaimana kita dipekerjakan kembali lewat kekuatan teknologi. Sebagai alat kolonisasi, televisi melakukan formasi budaya melalui penciptaan imaji-imaji oleh elit media. Patut diketahui bahwa formasi budaya yang dibangunnya tak lebih dari bentuk rangsangan elektronis yang terumuskan sebagai tanggapan atas polling dan rating yang tak kenal henti dari nebula kegelapan pemusnah materi sosial yakni televisi itu sendiri.

Formasi budaya dilakukan lewat hipersimulasi yakni pengalaman bermedia, penggelaran komunikasi, penganyaman acara demi acara, pemirsa dikemas ke arah kecenderungan besar, suasana-suasana hati atau mood yang didengus-denguskan oleh elit media terhadap pemirsa yang hadir dalam bentuk blip-blip digital.

Hipersimulasi dapat terselenggara berkat penggunaan signifikasi bahasa. Metafora dan metonomia merupakan gramatikal budaya posmodern yang diadopsi menjadi bahasa standar televisi.

Akhirnya kolonisasi teknologis dikukuhkan dengan pengakuan televisi sebagai bagian dari masyarakat informasi. Dimana informasi dijadikan sarana likuidasi sosial, pemusnah memori, dan pensubstitusi simulacrum (representasi seseorang atau sesuatu hal).

Hiburan adalah Ideologi Dominan

Dalam khasanah teori komunikasi massa konvensional terdapat empat fungsi media massa: informasi, edukasi, persuasi, dan hiburan. Namun ketika televisi berada di tengah pusaran arus Posmodern yang tersisa tinggalah hiburan. Hiburan menjelma menjadi ideologi dalam budaya televisi. Televisi adalah mesin konsumsi kapitalisme mutakhir yang sejajar dengan mesin produksi kapitalisme primitif abad ke tujuh belas.

Munculnya televisi sebagai mesin konsumsi kapitalisme disebabkan oleh kuatnya fungsi hiburan dalam penayangan acara-acara televisi. Kaum elit media menginvestasikan habis-habisan kapital mereka untuk membangun kerajaan hiburan dalam televisi. Pada kondisi seperti ini jadilah televisi sebagai mesin konsumsi, persis seperti mesin uap yang berubah menjadi mesin produksi penghasil tekstil dan produksi massa di era modern.

Mesin konsumsi bekerja dalam masyarakat ’pertunjukan” yakni masyarakat yang menjadikan tontonan sebagai modal yang mengakumulasikan imaji-imaji. Dengan cara demikian maka hiburan diterima sebagai ideolect televisi. Sifat menghibur ini sesuai dengan perilaku televisi sebagai pembangun suasana hati sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu. Hiburan menjadi bentuk sejati dari upaya pembangunan suasana hati. Pemirsa diombang ambing antara kutub ”kecemasan teramat sangat” dan ”optimisme yang luar biasa.”

Baca Juga: TVRI Sebagai Televisi Apa?

Televisi menjadi mesin konsumsi diakibatkan oleh peran televisi sebagai wahana gaya hidup. Dalam hal ini, fungsi edukasi dan alih informasi dari televisi mendapatkan bentuk baru yakni sebagai penyampai gaya hidup. Iklan yang ditayangkan tak lagi mengacu kepada faktor demografi tapi mengacu kepada target-target nilai dan gaya hidup.

Tentang bagaimana televisi menjelma menjadi wahana gaya hidup Arnold Mitchell dalam bukunya The Nine American Styles (1984) mengungkapkan: "masyarakat kelas dimusnahkan menjadi masyarakat massa, kemudian masyarakat massa diurai menjadi blip-blip televisi."

Dari sudut pandang pemirsa yang lapar imaji, produk televisi adalah pertunjukan gaya hidup. Sedangkan dari sudut pandang para pengiklan dan pembuat program acara sesungguhnya produk televisi adalah pemirsa itu sendiri.

***

Mahpudi