Tan Teng Kie

Dengan kata-katanya itulah, orang biasa Tan Teng Kie mengawetkan namanya, berabad-abad setelah kepergiannya.

Minggu, 14 Maret 2021 | 20:23 WIB
0
297
Tan Teng Kie
Nikolai Alexandrovich (Foto; Wikipedia.org)

Banyak puhun di tebangin

Ongkos Maskapij semuwa bayarin

Rumah orang pada di buka’inK

Kepada juraganlah di serahin

Ini petikan Syair Jalanan Kreta Api yang ditulis dengan bahasa Betawi “nyablak” oleh seorang yang tak begitu dikenal dalam sejarah kepenulisan negeri ini. Penulisnya bernama Tan Teng Kie, yang dalam satu literatur hanya disebutkan sebagai seorang pedagang yang senang menulis. 

Dalam Syair Jalanan Kreta Api ia melukiskan kisah penggusuran rumah di sepanjang jalan di Jakarta yang akan dibanguni jalur rel kereta api tapi dengan biaya ganti rugi yang ditentukan sepihak oleh penjajah Belanda.

Banyak kelanggar rumah kampungan

Tuwan tanah Tan Kang Ie punya bilangan

Eretannya beda banyak kurangan

Ada jambatan aken sebrangan 

Tan Teng Kie pernah juga menulis reportase tentang kunjungan Pangeran Nikolai Alexandrovich-- kelak menjadi Kaisar Nicholas II-- dalam “Sair dari hal Datengnya Poetra Makota Keradjaan Roes di Betawi dan Peginja”. Sang pangeran datang ke Indonesia selama sepekan pada 23 Februari hingga 1 Maret 1890. 

Dengan lugas dan jenaka, Kie menggambarkan kapal Rusia yang terlihat dari kekeran (teropong) mendekati pelabuhan, rombongan berkostum serba putih melanjutkan perjalanan ke Gambir dengan kereta api dan disambut massa yang membludak sampai-sampai para haji “sorbannya jatoh”.

Orang menonton rame sekali,

Tua muda, ada yang tuli,

Prampuan laki, Jawa, Bali,

Ampir kaarcis ta’ dapat beli.

Tan Teng Kie juga berkisah tentang perjalanan para tamu ke Garut dan Bogor untuk berburu karena “Jendralnya Rus kabar kesohor. Jendralnya pinter tembak binatang”. Di perburuan itu, sang pangeran sungguh mumpuni sehingga “Macennya dapetlah ampat biji, Jenderal di situ banyak yang puji.”

Ia menutup syairnya dengan saat-saat ketika mereka berpamitan meninggalkan Batavia setelah “Betul datangnya lapan hari, Makota Putra Rus Bestari”. Jelang keberangkatannya, kisah Tan Teng Kie,

Banyak tuan blakang turutin,

Naik kereta api pada deketin,

Sampe ke Tanjung semua ikutin,

Sekalian Nyonya nonton meliatin.

Syair 54 alinea --masing-masing empat baris-- inilah satu-satunya “laporan pandangan mata” yang sangat lengkap dari Indonesia tentang kunjungan pangeran Rusia lebih seratus tahun lalu.

Sayangnya, informasi tentang penyairnya sangat cekak. Satu-satunya kabar tentang Kie adalah ia seorang pedagang di Betawi yang gemar menuliskan kejadian-kejadian di sekelilingnya. 

Begitulah. Tan Teng Kie sesungguhnya seperti kita. Ia orang biasa, hanya seorang pedagang yang senang menulis. Di zaman tanpa internet dan media sosial itu, kesaksiannya ia tuliskan di kertas yang lalu secara kebetulan ditemukan oleh generasi berikutnya.

Ceritanya pun sampai ke kita setelah melewati ratusan tahun masa dan peradaban. 

Dengan kata-katanya itulah, orang biasa Tan Teng Kie mengawetkan namanya, berabad-abad setelah kepergiannya.

Kawan-kawan, menulislah!

Di sekitarmu begitu banyak bahan cerita yang penting dan yang remeh-temeh. Kabarkan ke saya, kami, ke semua orang. Jika itu menyenangkan, maka engkau merekahkan senyum dan tawa semua orang. Jika isinya menjengkelkan, ada ribuan manusia yang senang bertengkar dan cela-celaan.

 Menulislah -- seperti Tan Teng Kie -- sekali pun engkau bukan wartawan ... 

***

Selamat pagi para penulis.