Selamat Jalan Ria Irawan

Ria mempersiapkan sebuah buku. Bagaimana ia berdamai dengan sel kanker. Ia ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk orang-orang yang menderita kanker.

Senin, 6 Januari 2020 | 20:39 WIB
0
347
Selamat Jalan Ria Irawan
Aku dan Ria Irawan (Foto: dokumentasi pribadi)

Bukan aku yang memberinya semangat. Tapi dia... Ria Irawan. Di rumahnya di kawasan Cilandak, Ria lebih banyak bercerita bagaimana hidup harus lebih bermakna bagi orang lain. Ia seperti mengabaikan sel kanker yang berada di tubuhnya. Tujuan menemuinya pun menjadi nomor dua.

Ia menjerang air, kemudian menyeduh kopi yang aku bawa. Aku minum kopi. Dia minum air putih, kemudian mencampur aroma terapi. Jari-jari tangannya seperti memiliki sensor dengan hidung. Ia tahu wewangian apa yang cocok untuk merelease pikiran buruk.

“Setiap pikiran buruk yang singgah di kepala, harus segera dikeluarkan. Jangan dibiarkan tinggal,” katanya sambil menyorongkan ramuan yang baru saja diracik. Aku mengikuti instruksinya.

Di tengah mereguk kopi, aku memang menerima telepon yang mengabarkan sahabat kami kritis. Ia menderita kanker kulit. Kabar itu begitu mengganggu hingga Ria berusaha memulihkan galau di hatiku.

“Aku mau menemani sahabatmu itu. Yang bisa dilakukan adalah memberinya kebahagiaan yang mungkin belum diraih, tak usah memberi harapan-harapan kosong karena ia sendiri tahu tidak akan terwujud,” ujar Ria.

Saya mengenal Ria Irawan ketika kami sama-sama terlibat dalam Kongres Satupena, perkumpulan para penulis. Sejak itu kami sering berkomunikasi. Apalagi ia menjadi salah satu narasumber yang harus menyampaikan testimoni untuk buku kenangan almarhum Sophan Sophiaan.

Sekalipun tak mengenal Ria di masa menjadi bintang, saya yakin, ia akan mengulurkan persahabatan dengan cara yang sama. Saya merasakan ketulusan hatinya.

Ria mempersiapkan sebuah buku. Bagaimana ia berdamai dengan sel kanker. Ia ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk orang-orang yang menderita kanker. Ia ingin lebih banyak orang yang bisa tetap bahagia bersama sel kanker.

Kami tak melulu bicara tentang kanker, tapi juga soal komunitas “Kebaya, Kopi, dan Buku”. Ia menyebutnya “Kain, Kopi, dan Teh”. Ia mendengar komunitas itu justru dari orang lain, lalu aku melengkapi informasinya.

Ternyata... Ria tak hanya concern pada pergulatannya dengan sel kanker. Ia juga melakukan pemberdayaan masyarakat. Salah satu yang dilakukan adalah mengajari kaum perempuan memiliki penghasilan sendiri. Bagaimana mengubah daun singkong menjadi keripik. Kami berjanji akan melakukannya bersama-sama.

Ria... beristirahatlah dalam damai. Ceritamu biarlah tetap menjadi cerita kita. Namun semangatmu... biarlah menjadi inspirasi buat siapa pun yang pernah mengenalmu. Selamat jalan teman... 

Kristin Samah

***