Kiai Mutamakkin [1] Corak Islam di Nusantara Abad 20

Keberangkatan Kiai Mutamakkin untuk haji, dan kemudian "ngaji" di Yaman, bukanlah peristiwa "magis," melainkan hal yang lumrah pada zaman itu.

Sabtu, 21 Agustus 2021 | 08:22 WIB
0
229
Kiai Mutamakkin [1] Corak Islam di Nusantara Abad 20
Buku tentang Kyai Mutamakkin (Foto: atorcator.com)

Bulan Sura punya makna yang khusus bagi komunitas Muslim di Nusantara, termasuk Jawa. Banyak ritual slametan dan haul yang berlangsung pada bulan ini, antara lain haulnya seorang wali yang amat populer di kawasan Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya, yaitu Kyai Mutamakkin. Atau dikenal di daerah sebagai: Mbah Mutamakkin.

Haul beliau diperingati pada tanggal 10 Sura (Muharram). Catatan ini akan membahas sosok penting yang menjadi tokoh sentral dalam karya sastra Jawa yang terkenal itu: Serat Cebolek.

Sebelum melanjutkan, saya harus menyebut sebuah karya penting mengenai sosok ini yang ditulis oleh kawan saya yang berasal dari Kajen, Pati, yaitu Zainul Milal Bizawie. Skripsi dia yang kemudian terbit sebagai buku dengan judul "Syekh Mutamakkin: Perlawanan Kultural Agama Rakyat" (2014) merupkan kajian terbaik hingga saat ini mengenai sosok Kiai Mutamakkin. Yang ingin membaca lebih jauh kiprah dan pemikiran beliau, silahkan membaca buku ini.

Baik, saya akan masuk ke pokok masalah.

Dalam tulisan yang beredar umum, diterangkan bahwa Kiai Mutamakkin hidup dalam rentang waktu antara 1645-1740 M. Dengan demikian, kita bisa mengatakan, beliau hidup dalam rentang waktu antara abad 17 dan 18. Menurut saya, cara terbaik memahami sosok Kiai Mutamakkin adalah dengan melihat zaman ketika beliau hidup. Abad 17 dan 18 adalah fase dalam sejarah Nusantara dengan karakternya sendiri yg khas. Saya tidak akan menyebutkan secara detil semua karakter itu, tetapi sejumlah ciri menonjol yg menandai era itu bisa disebutkan di sini.

Pertama, abad 16 dan 17 adalah era ketika tradisi pengetahuan Islam mulai muncul dan berkembang di kawasan Nusantara. Yang saya sebut dengan "tradisi pegetahuan" di sini adalah munculnya komunitas pengetahuan yang mulai membaca, mengkaji, dan menulis tentang ilmu-ilmu keislaman, baik dala bahasa Arab, Melayu, atau lainnya.

Beberapa ulama penting dari Nusantara yang hidup pada zaman ini telah menulis banyak kitab, baik dalam bahasa Arab, Melayu, atau bahasa-bahasa lokal yang lain. Contoh terbaik yang bisa disebut adalah dua nama ini: Syekh Abdurrauf Singkel (w. 1693) dan Syekh Yusuf Makassar (w. 1699). Kedua ulama ini bisa disebut sebagai pengarang yang lumayan produktif. Syekh Abdurrauf, misalnya, menulis "Tarjuman al-Mustafid," kitab tafsir pertama yang utuh di Nusantara yang didasarkan kepada Tafsir Baidlawi.

Ciri kedua, hubungan yang rapat dan lekat antara Hijaz (Mekah/Madinah) dan kawasan Nusantara. Syekh Abdurrauf Singkel, misalnya, menghabiskan sekitar 19 tahun untuk belajar di Hijaz, terutama pada seorang ulama besar di Madinah, Ibrahim al-Kurani (w. 1690), yang merupakan murid dari ulama besar bernama Ahmad al-Qushahi (w. 1661). Kedua tokoh ini, terutama al-Kurani, dikenal sebagai mursyid tarekat Naqshabandiyah dan Syattariyah.

Ibrahim al-Kurani sendiri menulis kitab berjudul "Ithaf al-Dhaki" sebagai komentar (syarah) atas risalah pendek mengenai ajaran martabat tujuh karya Ahmad bin Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1620) berjudul "al-Tuhfah al-Mursalah." Sebelum abad ke-19, jika nama Tuhfah disebut, maksudnya adalah ya kitabnya al-Burhanpuri ini. Saking populernya.

Sekarang, keadaan berubah. Tuhfah yang dikenal santri saat ini adalah kitab fiqh karya Ibn Hajar al-Haitami (w. 1566). Memudarnya kepopuleran Tuhfah-kitab-tasawuf, digantikan oleh Tuhfah-kitab-fiqh, jelas menandai perubahan corak dan kultur pengetahuan Islam di Indonesia. Ini wilayah riset menarik yang, setahu saya, belum pernah digarap.

Perjalanan kapal antara Nusantara dan tanah Arab pada abad-abad itu bukanlah hal yg bisa dilakukan oleh sembarang orang. Hanya kaum bangsawan yang memiliki ongkos yang memadai yang bisa melakukannya. Jika bukan berasal dari keluarga bangsawan, minimal ada keluarga bangsawan kaya yang bersedia menjadi "financier" atau penanggung dana perjalanan.

Inilah yang menjelaskan kenapa hanya orang-orang dari kalangan bangsawan atau dekat keluarga kerajaan yang bisa belajar di Hijaz pada era itu. Ini terjadi pada dua ulama besar Nusantara yang namanya sudah saya singgung sebelumnya.

Dalam cerita populer yang berkembang di masyarakat Kajen, Kiai Mutamakkin digambarkan sebagai seorang putera bupati Tuban. Ayahnya bernama Sumohadinegara (jelas, ini nama ningrat atau bangsawan). Nama asli Kiai Mutamakkin sendiri adalah Sumohadiwijaya.

Dalam narasi lokal yang saya dengar waktu kecil dulu di daerah Kajen, Kiai Mutamakkin dikisahkan pernah melaksanakan haji dengan menunggang jin. Meskipun ini hanya "mitos lokal", tetapi bahwa Kiai Mutamakkin pernah pergi ke Hijaz untuk melaksanakan haji, sangat masuk akal. Sudah pasti beliau naik kapal layar, alat transportasi yang sudah amat umum pada abad-abad itu untuk menghubungkan kawasan Nusantara dengan tanah Arab.

Kita jangan membayangkan abad-abad itu dengan "bias modern", seolah-olah kawasan-kawasan yang terpisah ribuan kilometer, apalagi oleh laut, tidak mungkin terhubung satu dari yang lain, saling terisolasi, gara-gara belum ada pesawat terbang seperti zaman ini. Aktivitas pelayaran antara kawasan Arab dan Nusantara sudah ramai sekali pada zaman ketika Kiai Mutamakkin hidup.

Yang hendak mengetahui bagaimana corak hubungan antara Jazirah Arab dan Asia Tenggara, dan peradaban seperti apa yang muncul dari sana, saya persilahkan membaca studi yang "keren" sekali dari Kirti N. Chaudhuri dalam bukunya: "Asia Before Europe" (1990).
Mereka yang hendak pergi ke Hijaz, tidak mengalami kesukaran asal ada ongkos.

Saya bayangkan, pada zaman itu sudah ada sejumlah orang yang sudah mulai melakukan pekerjaan mirip "biro travel" seperti sekarang. Dengan kata lain, keberangkatan Kiai Mutamakkin ke Hijaz untuk haji pada zaman itu, bukanlah hal yang aneh dan mustahil. Beliau tidak perlu naik "jin" untuk melakukan "rihlah" atau perjalanan ke tanah Arab.

Kiai Mutamakkin berasal dari keluarga bangsawan Tuban. Kita tahu, Tuban adalah salah satu pelabuhan penting sejak era Majapahit hingga saat Kerajaan Demak berdiri (peran Tuban merosot setelah kerajaan Jawa berpindah ke pedalaman sejak era Pajang, Mataram, dan seterusnya).

Sebagai anak seorang bupati, sudah tentu Kiai Mutamakkin muda memiliki semua hal yang memungkinkannya untuk berangkat ke Mekah. Ayahnya sudah pasti punya pengaruh atas jaringan para pelaut dan pedagang yang biasa wira-wiri antara tanah Jawa dan Arab pada saat itu.

Yang mau saya katakan, keberangkatan Kiai Mutamakkin untuk haji, dan kemudian "ngaji" di Yaman, bukanlah peristiwa "magis," melainkan hal yang lumrah pada zaman itu.

Ciri ketiga, biasanya aktivitas haji pada era itu tidak berhenti sebagai kegiatan ritual belaka. Sebagian orang yang haji akan tinggal lama di Mekah, kemudian berkeliling ke wilayah-wilayah lain di Timur Tengah, entah untuk dagang atau "ngaji". Tradisi haji yang diteruskan dengan ngaji, adalah praktek yang lazim pada era itu. Ulama-ulama masyhur dari Nusantara yang mewariskan karya-karya besar, menempuh trayektori ini: haji-terus-ngaji.

Kita jangan berpikir tentang zaman itu dengan sudut pandang sekarang. Zaman ketika Kiai Mutamakkin hidup adalah era "pra-paspor/visa". Siapapun bisa berangkat dan tinggal selama mungkin di Mekah dan Madinah, atau di negeri manapun, asal ada ongkos. Tak ada persyaratan visa sama sekali.

Geografi tradisional sebelum lahirnya negara-bangsa modern adalah "fluid geography," kawasan yang cair. Orang bisa pergi ke bagian manapun di dunia, tanpa terkendala rezim paspor/visa. Ini berbeda dengan geografi modern yang cenderung "rigid," kaku. Kita, saat ini, harus melintasi birokrasi berlapis-lapis untuk pergi, berkunjung, apalagi tinggal di negeri lain.

Meski alat transportasi sudah sangat maju saat ini (hanya dalam waktu delapan jam, seorang Muslim dari kawasan Melayu bisa "cling" sampai di Jeddah!), tetapi "birokrasi perjalanan" saat ini jauh lebih rumit dan repot dibandingkan dengan zaman Kiai Mutamakkin.

Dalam riwayat yang kita dengar di daerah Kajen dan sekitarnya, Kiai Mutamakkin dikisahkan pernah berguru kepada ulama dari Yaman bernama Muhammad Zain al-Mizjaji. Nama ini disebut juga dalam Serat Centhini yang memuat riwayat pengadilan atas Kiai Mutamakkin di Keraton Kartasura (pada zaman Pakubuwono II).

Dalam serat itu, ia disebut: Seh Jen. Siapa sosok ini, tidak terlalu jelas. Melalui penelusuran saya, tidak ditemukan data yang terang mengenai Seh Jen dari Yaman ini (saya cek melalui sejumlah kitab tarajum, antara lain Abjad al-'Ulum karya al-Qanuji dan al-Nafas al-Yamani karya ulama Yaman dari abad ke-19, Abdurrahman al-Ahdal). Milal Bizawie, penulis buku tentang Kiai Mutamakkin itu, juga sampai kepada kesimpulan serupa.

Yang jelas adalah bahwa Seh Jen ini adalah putera dari ulama besar bernama Muhammad Baqi al-Mizjaji yang merupakan guru dari Syekh Yusuf Makassar. Seh Jen juga memiliki seorang putera yang terkenal: Syekh Abdul Khaliq al-Mizjaji. Yang terakhir ini adalah salah satu dari guru Syekh Abdurrahman al-Ahdal, pengarang kitab al-Nafas al-Yamani yang sudah saya sebut di depan.

Dengan kata lain, identitas mengenai ayah dan putera Seh Jen kita ketahui dengan cukup baik; tetapi mengenai dirinya sendiri, kita tidak memiliki data yang terang. Dengan data ini, kita juga menjadi tahu bahwa nama yang tepat dari guru Kiai Mutamakkin adalah Zain ibn Muhammad al-Mizjaji, bukan Muhammad Zain Mizjaji sebagaimana kita jumpai dalam beberapa tulisan yang beredar selama ini.

Lepas dari siapa Seh Jen ini, kita patut bertanya: Apakah mungkin Kiai Mutamakkin belajar kepada sosok ini? Jawabannya jelas: ya. Seperti saya katakan sebelumnya, tradisi "haji-terus-ngaji" sudah amat umum terjadi jauh sebelum era Kiai Mutamakkin.

Pertanyaan berikutnya: Di mana Kiai Mutamakkin belajar pada sosok ini; di Mekah atau di Yaman? Sangat mungkin bahwa beliau belajar dengan Seh Jen ini di Yaman, mengikuti sosok lain dari Nusantara, yaitu Syekh Yusuf Makasar. Salah satu tarekat yang menonjol di Yaman pada era itu adalah dua: Naqshabandiyyah dan Syattariyyah. Dengan demikian, kita bisa berasumsi bahwa Kiai Mutamakkin berbaiat pada mursyid dua tarekat itu.

Hal serupa juga terjadi pada Syekh Yusuf Makassar. Bahkan pada kasus Syekh Yusuf, kita tahu, dia juga berbai'at pada mursyid tarekat lain, yaitu Khalwatiyyah. Beliau bahkan lebih dikenal sebagai muryid tarekat ini di Nusantara.

Ciri keempat dan terakhir adalah bahwa Kiai Mutamakkin hidup ketika ajaran tentang martabat tujuh yang bersumber dari tasawuf Ibn Arabi, masih cukup populer di kawasan Nusantara, antara lain berkat pengaruh Syekh Abdurrauf Singkel. Sangat mungkin sekali bahwa Kiai Mutamakkin mengetahui, bahkan mempelajari, serta mengamalkan ajaran ini. Dalam kisah yang populer di masyarakat Kajen, Kiai Mutamakkin dikenal sebagai sosok yang amat menggemari kisah Bima dan Dewa Ruci yang bersumber dari Serat Dewa Ruci. Dalam Serat Cebolek, hal ini dengan gamblang juga disinggung.

Serat Dewa Ruci jelas akan dengan mudah diapresiasi oleh mereka yang memahami dan mengakrabi ajaran-ajaran Ibn Arabi, terutama yang telah mengalami transformasi dan ditubuhkan menjadi ajaran martabat tujuh.

Bahwa Kiai Mutamakkin menggemari kisah Dewa Ruci dan Bima (alias Werkudara) ini juga menunjukkan banyak hal. Pertama, beliau memiliki apresiasi yang tinggi pada khazanah pewayangan. Dan ini tidak mengherankan; ia adalah keturunan bangsawan Jawa dari Tuban yang sudah pasti akrab dengan, dan menggemari kisah-kisah pewayangan. Kedua, Kiai Mutamakkin hanya meneruskan "tradisi pengetahuan" yang sudah ada sebelumnya yang hendak saya sebut sengan "tradisi Singkel".

(Bersambung)

***