Pak Harto [3] Bila Perlu Menginap di Rumah Penduduk

Disadari atau tidak itulah yang menjadi salah satu kunci keberhasilan Pak Harto ketika memenangkan hati rakyat pada Pemilu 1971.

Senin, 1 Februari 2021 | 06:39 WIB
0
255
Pak Harto [3] Bila Perlu Menginap di Rumah Penduduk
Soeharto (Foto: tribunnews.com)

Akhirnya buku itu selesai juga saya tulis. Saya bersepakat dengan penerbitnya, Yayasan Harapan Kita, untuk bisa diterbitkan pada Maret 2013.

Jangan bayangkan buku itu penuh teks lazimnya buku-buku umum. Sebagai gantinya saya justru menampilkan kembali foto-foto incognito Pak Harto yang ada dalam album itu. Meski demikian, foto-foto itu kini sudah bisa bercerita dalam alur yang jelas. Itu karena saya lengkapi dengan narasi informasi yang didapatkan dari berbagai sumber, utamanya dari hasil ekspedisi napak tilas. Nampak sekali benang merah dari perjalanan diam-diam Pak Harto.

Dalam buku itu saya juga membuat pertanggungjawaban ilmiah, analisis temuan, catatan perjalanan , maupun hikmah dari pelaksanaan incognito.

Saya memilih ukuran coffee table book dengan format horisontal untuk buku ini, agar lebih enak menikmati foto demi foto yang tersaji. Buku berisi 30 bab dengan ketebalan halaman 277 halaman. Sebagian besar fotonya ditampilkan sesuai aslinya, dengan memperkuat nada sephia. Kertas yang saya pilih artpaper agar foto terlihat lebih cemerlang. Tak lupa saya masukkan peta perjalanan incognito yang membentang dari Jakarta hingga Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa.

Saya bersyukur ada banyak orang baik hati di dunia ini. Kabar gembira datang dari Pak Try Sutrisno, mantan wakil presiden RI yang juga pernah menjadi ajudan Pak Harto. Beliau berkenan menuliskan kata pengantar untuk buku ini, yang berisi kenangannya selama mengikuti incognito pada masa-masa berikutnya.

Mas Sukardi Rinakit, peneliti senior di Sugeng Saryadi Syndicate berkenan membuat pengantar yang menyoroti penggunaan lebih banyak gambar dan sedikit kata-kata dalam menjelaskan sebuah hasil penelitian.

Pak Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan terkemuka turut memberikan sambutannya dengan menyoroti incognito sebagai fakta yang patut dicatat dalam sejarah bangsa Indonesia, demikian pula Ibu Koos Arumdani dari PEWARIS membahas kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia pada saat Pak Harto memulai pemerintahannya sekaligus memulai Incognito.

Saya memperoleh kehormatan. Mas Arissetyanto Nugroho, rektor Universitas Mercu Buana-Jakarta, berkenan menyunting naskah buku ini. Ketelitiannya tentang data maupun bahasa luar biasa.

Dan yang mengejutkan, Mbak Tutut turun gunung untuk menuliskan sekapur sirih buku ini. Beliau bertutur tentang bagaimana suasana kesibukan di dalam rumahnya menjelang sang ayah melakukan incognito. "Seperti pergi berangkat perang," demikian tulisnya. Sebagaimana dikisahkannya, Ibu Tien- sang Ibunda selalu membekali perjalanan incognito Pak Harto dengan makanan kesukaannya yakni sambal goreng teri, yang masih bisa dinikmati dalam beberapa hari kemudian.

Sebuah acara peluncuran digelar di Gedung Granadi Jakarta pada 5 Juni 2013. Rupanya Yayasan Harapan Kita sebagai penerbit mengundang sejumlah tokoh yang pada masa lalu cukup dekat dengan Pak Harto. Setelah sambutan dari Mbak Tutut, para hadirin siap mendengarkan diskusi tentang isi buku ini.

Beruntung di panggung saya tidak sendiri. Ada Mas Atmaji Sumarkijo, seorang penulis sejarah yang bertindak sebagai moderator, ada Bang Effendi Gazali yang membahas dari incognito dari sisi komunikasi politik, Bapak BJ. Sumarlin yang berkisah tentang suasana di sidang kabinet setelah Pak Harto kembali dari incognito, dan Pak Edi Nalapraya yang mencoba mengenang kembali masa-masa indah itu. Panitia memberi kejutan untuk Pak Edi.

Sebuah foto yang diambil dari album incognito diperbesar dan dibingkai bagus, gambarnya Pak Harto tengah menuliskan dokumen dengan beralaskan punggung seseorang, siapa lagi kalau bukan Pak Edi Nalapraya yang menyediakan dirinya sebagai meja. Betapa terharu Pak Edi menerima cinderamata itu.

Apa sebenarnya yang saya sampaikan dalam buku Incognito Pak Harto-Perjalanan Diam-diam Seorng Presiden Menemui Rakyatnya? Pada diskusi itu saya meringkasnya sebagai berikut: Pertama, incognito merupakan tradisi para pemimpin bangsa, terutama para pemimpin Islam untuk bertemu dengan rakyatnya secara sembunyi-sembunyi bahkan konon dengan menyamar.

Di tangan Pak Harto tradisi kepemimpinan itu dikembangkan menjadi instrumen manajemen modern dalam memastikan perencanaan berjalan sebagaimana diharapkan. Memang, seperti tertulis dalam album foto itu, pelaksanaan Incognito dilakukan Pak Harto untuk memeriksa proyek-proyek pembangunan yang baru beberapa bulan digulirkan oleh pemerintahannya.

Kedua, pada masa itu teknologi komunikasi belum berkembang, incognito menjadi instrumen yang ampuh bagi komunikasi politik seorang pemimpin agar dapat berinteraksi dengan rakyatnya. Pertemuan secara informal dilakukan untuk menyerap aspirasi, mendengar keluh kesah mereka, serta turut merasakan denyut kehidupan di lapisan bawah dan lingkaran terjauh dari sistem kekuasaannya.

Diketahui sejak itu, Pak Harto secara berkala mengagendakan incognito dengan lokasi yang berbeda-beda, tak hanya di Pulau Jawa tetapi juga pulau-pulau lainnya. Sekitar tahun pertengahan 1980-an kegiatan ini sudah tak banyak dilakukan, mengingat usia Pak Harto yang sudah tak muda lagi. Sebagai gantinya, kita mengenal komunikasi sambungrasa yang dilakukan Pak Harto dengan masyarakat, yang digelar secara informal dalam format Kelompencapir (Kelompok pendengar pembaca dan pemirsa).

Ketiga, Praktik incognito yang dilakukan Pak Harto ternyata mengendap dalam ingatan kolektif dan menjadi legenda pada masyarakat yang pernah dikunjungi. Cerita kehadiran Pak Harto di kampung pada tahun 1970 itu masih terus dituturkan dari generasi ke generasi.

Saya bahkan menjumpai sebuah keluarga yang masih menyimpan balai (ranjang besi) dengan rapi tempat Pak Harto tidur selama menginap di rumahnya. Pesantren Tremas yang menjuluki bangunan madrasah sumbangan Pak Harto seusai incognito dengan sebutan Madrasah SUPER, bukan karena bangunannya yang kokoh tapi sebuah kepanjangan dari Sumbangan Persiden (maksudnya Sumbangan dari Presiden Soeharto). Masih banyak kisah yang saya peroleh selama napak tilas itu.

Keempat, Setiap sampai di suatu lokasi, Pak Harto justru menghindari bertemu dengan pejabat setempat. Sebagai gantinya ia memilih menyambangi para ulama, tokoh masyarakat, atau sahabatnya pada masa perjuangan kemerdekaan.

Ini menciptakan jaring-jaring relasi yang kuat antara Pak Harto dan rakyatnya, bahkan sekaligus membantah bahwa Pak Harto baru mendekat dengan tokoh Islam pada masa akhir kepemimpinannya. Sejumlah ulama yang pernah dikunjungi Pak Harto mengaku sejak itu mereka terus berkomunikasi, sering diundang ke Jakarta, hingga Pak Harto wafat.

Kelima, Pak Harto tak hanya datang bertandang, beliau tak segan menginap di rumah penduduk, menikmati makan siang di warung pinggir jalan, dan membawakan hiburan bagi penduduk setempat. Apa bentuknya? Nonton bareng "film misbar". Sesuatu yang sangat mewah bagi penduduk desa pada masa itu.

Keenam, Alih-alih memanfaatkan daya tarik retorika dengan gaya orator (komunikasi massal), Pak Harto yang kurang piawai dalam berpidato lebih memilih bentuk komunikasi kelompok dan komunikasi personal dengan incognitonya. Sebagai konsekuensi bukan rakyat yang berkumpul mendatangi pemimpinnya, sebagai gantinya pemimpin yang mendatangi rakyatnya. Disadari atau tidak itulah yang menjadi salah satu kunci keberhasilan Pak Harto ketika memenangkan hati rakyat pada Pemilu 1971.

Hal yang tak kalah pentingnya bagi saya, penerbitan buku ini sekaligus menegaskan bahwa kita bisa menulis buku dari bahan apa saja, termasuk dari sebuah album foto. Tabik.

(Tamat)

Mahpudi

***

Tulisan sebelumnya: Pak Harto [2] Blusukan Ala Presiden yang Diam-diam