Bukan yang Didengar, Pak Sarpin Hanya Mau Cerita yang Dia Lihat dan Alami

Meski bekerja sebagai pembersih gereja, Sarifin tetap mencari masjid untuk menunaikan salat.

Rabu, 11 Maret 2020 | 16:21 WIB
0
298
Bukan yang Didengar, Pak Sarpin Hanya Mau Cerita yang Dia Lihat dan Alami
Sarpin (Foto: Dok. pribadi)

Layaknya pekerja ulet kebanyakan, Sarpin (71 tahun), tak punya banyak kosa kata untuk menjelaskan detail pekerjaannya.Sarpin mengaku hanya mau menceritakan apa yang dia lihat atau alami, bukan yang dia dengar.

“Kalau cerita yang kita dengar, pasti banyak salahnya.”

Jujur, selalu berprasangka baik, dan menghindari “cerita kosong”, diakui Pak Sarpin membuatnya tetap bugar serta punya ingatan panjang. Hingga kini.

Ini pulalah yang menjelaskan, kenapa Pria kelahiran Purwokerto masih mengingat detail; nama para tetangga, para majikan, serta alamat detail 5 tempat kerja di Manado, Balikpapan, Jakarta, Bandung, dan terakhir di Batam.

“Saya ini tak punya ijazah Mas! Kalau 32 tahun. dipercaya jadi OB di Otorita, karena saya takut bohong.” ujarnya kepada Tribun, di Kompleks Pantai Gading, Bengkong Laut, Kelurahan Tanjung Buntung, Kecamatan Bengkong, Kota Batam, Kepulauan Riau, Senin (8/3/2020) pagi.

Meski saban pagi buta, siang, hingga sore keliling menyapu bahu jalan komplek, jarang warga yang tahu identitas asli Sarpin.

Warga Kompleks Pantai Gading, mengenal Sarpin, dengan nama Pak De’.

Bukan lagi OB, di pemukiman yang bertetangga dengan Golden Prawn ini, Sarpin bekerja sebagai “cleaning services” ruas jalan di 2 RW dan 6 RT.

Sejak purnabakti sebagai OB di Badan Pengusahaan (BP) Batam, 3 tahun terakhir, Sarpin mengaku tak tahan berdiam diri di rumahnya.

“Rumah saya di Punggur sana. Di sini, hanya datang menyapu jalan kompleks, dan diberi kamar sama Pak RW di BPL Pantai Gading.”

BPL adalah singkatan dari Badan Pengelola Lingkungan. Hampir tiap komplek atau pemukiman di Kota Batam, memiliki BPL.

Ini semacam sekretariat organisasi warga setempat. BPL biasanya dikelola pengurus ORW, RT yang secara berkala dipilih secara demokratis.

Nah, pada sebuah kamar di sekretariat BPL inilah, Pak De Sarpin dan seorang koleganya menginap, 5 hari-lima malam.

“Kalau hari Minggu saya biasanya pulang ke Punggur, jenguk istri, anak dan cucu.”

Hampir 25 tahun dia bermukim di Punggur, tak jauh dari Pelabuhan Ferry cepat dan kawasan industri Kabil.

Sebelum di Punggur, Sarpin tinggal di sebuah pondok kecil di kawasan Seraya, Lubuk Baja.

Sarpin datang ke Batam, tahun 1985.

Itu berarti 35 tahun silam.

Kala itu, pusat peradaban (civic center) Batam masih di kawasan Sekupang, Batu Aji, Batu Ampar, dan Nagoya.

“Batam center masih rawa,” kenangnya.

Kedatangannya ke Batam, karena diajak majikan lamanya saat kerja di Jakarta.

“Saya lama ikut sama Pastor GPBI, mulai dari Manado, Balikpapan, Jakarta, sampai Batam ini,” ujar pria yang mengaku susah menghilangkan logat Cilacap dan Jawa Ngapak-ngapak-nya.

Kalaulah, katanya dia bisa kerja 32 tahun dan pensiun baik-baik sebagai “office boy” di Badan Otorita Batam, itu karena dia selalu menjaga kepercayaan sang pemberi kerja.

“Kalau saya disuruh kerja jam 6 pagi, yah saya harus masuk jam 6 pagi,” ujar Sarpin.

Tribun melihat langsung bagaimana dia menunaikan amanah itu.

Saban pulang salat jamaah subuh di Masjid Kompleks Pantai Gading, dia akan punya waktu untuk “jalan pagi” dan mengisahkan hidup masa lalunya. sambil jalan pagi.

Penulis sempat mengajaknya keliling kompleks dan sarapan nasi lemang dan pecel di sebuah kedai.

“Ndak boleh pak, jam 6 saya susah harus nyapu lagi. Ini hari Minggu, teman saya yang satu ke gereja, jadi saya sendiri. Maaf ya, lain kali.” ujarnya.

Sarpin termasuk pria dengan sedikit cerita pengabdian. Tahun 2020 ini umurnya 71 tahun. Sekitar 75% usianya dihabiskan untuk menjaga kebersihan di empat kota Indonesia.

sikap dan pesannya pun sederhana namanya; “Tolong jaga kebersihan”, itu jawabannya saat ditanya apa pesannya kepada warga Batam.

Sarpin mengaku, saat kerja sebagai juru sapu, pembuat minuman, atau juru beli-beli keperluan mendesak karyawan OB, dia banyak berinteraksi dengan Pak Mustafa Wijaya, mantan Kepala BP Batam.

“Saya masuk kerja di Otorita saat Pak Mustafa masih pimpro Jembatan Barelang II,” ujarnya.

Mustafa Wijaya, sendiri menjadi pegawai BP Batam sejak tahun 1982.

Jabatan Pelaksana Tugas Ketua Otorita Batam disandangnya sejak 28 April 2005 selama setahun dan sejak 8 Juni 2006 menjadi Ketua BP Batam.

Sebelumnya alumnus ITB ini adalah Direktur Perencanaan Otorita Batam (1989-1992) dan Pimpro Jembatan 2 Barelang Otorita Batam (1993-1997).

Dia juga mengenang bagaimana sibuk ya dia jika Kepala BP Batam paling populis, BJ Habibie berkantor di Batam.

“Wah, semua pegawai tambah tegang, karena pak Habibie itu selalu kerja cepat, jalannya saja cepat dan lincah.”

BJ Habibie mulai merangkap kepala BP Batam tahun 1978 hingga Maret 1998.

Inilah periode emas dimana Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal di Batam melambung bak meteor.

Saat periode “sibuk dan jaya-jayanya” Batam itulah Sarpin bujang meniti hidup di Batam.

“Dulu itu, Otorita kuasa besar. Sekarang katanya, saya dengar cerita, banyak rebutan tanah sama pemko ya. saya tahunya kerja saja,” katanya menjawab apa perbedaan Batam dulu dan Batam sekarang.

Sarpin memang hanya banyak menceritakan apa yang dia lihat atau alami, bukan yang dia dengar.

“Kalau cerita yang kita dengar, pasti banyak salahnya.”

prinsip hidup ini dia terapkan karena dia sudah yatim saat masih umur 13 tahun, dan jadi piatu setahun kemudian.

Di usia 13 tahun, ayahnya meninggal karena jatuh dari pohon.

Ibu pun kawin lagi; saat ke dukun, untuk melahirkan adik tirinya, samg ibu kecelakaan. “meninggal dua-duanya..”

Tinggal sama kakak, yang baru hamil 5 bulan u/ kemenakan pertamanya, Sarifin tak kuat.

“Isinnn (malu).”

Akhirnya, di usia 15 tahun, diapun menyabung hidup ke Jakarta.

Di usia 17 tahun, dia ke Bandung. Disana dia Kerja jadi tukang rumput di losmen Jl Panghegar, Bandung.

Atasannya dia ingat betul disapa Ndoro Kakung, dari Solo dan istrinya Ibu Hajjah Aisyah. “yang bos namanya saya ndak tahu, hanya selalu panggil Ndoro Kakung.”

Ke Manado, kerja di Pasar Lagowan, Manado serabutan.

Lalu ikut seorang pendeta Gereja GPBI asal Madiun.

Lalu, Sarpin pun ke Kapuas, Kalimantan.

Oleh atasannya dia terus diajak ikut karena dianggap jujur dan jarang memgeluh, sang pendeta mengikuttkan Sarifin ke Kalimantan Tengah, dan tinggal di Jl Mahakam.

“Saya masih ingat rumah Pak pendeta itu di Jl Jawa Nomor 5, sekiyar 2,3 km dari gereja.”

Meski kerja jadi pembersih gereja, Sarifin tetap mencari masjid untuk menunaikan salat.” Ya, saya tanya ke teman, dimana Musallah.. Timggalkan salat itu, bikin banyak susah, kalau jamaah semua pekerjaan jadi gampang dan bikin capek.”

Thamzil Thahir

***