Di berbagai belahan dunia kita selalu mendengar percikan kecil segelintir orang yang mengabdikan dirinya untuk orang lain, mereka menjadi super hero di masanya.
Tiga puluh delapan tahun yang lalu dunia kehilangan seorang Santo, pelaku kebajikan yang heroik dari pemuka agama ialah Uskup Agung San Salvador, Oscar Arnulfo Romero, meninggal ditembak oleh Rezim Militer yang otoriter di Amerika. Ia berjuang untuk demokrasi dan kebebasan, serta keberpihakannya kepada kaum tertindas (mustadl'afin).
Begitu pula jauh sebelum itu, 1392 tahun lalu, seorang cucunda Nabi, Husein bin Ali dikenal sebagai tokoh pejuang keadilan kemanusiaan, pembelaannya kepada kaum tertindas diakui semua golongan. Jika Fir'aun (orang yang mengaku sebagai Tuhan) hanya melucuti pakaian kerudung syar'i, tetapi di Karbala para wanita diperlakukan lebih dari itu. Mereka dirantai, diseret dan sambil dicemooh. Imam Husein pembelanya.
Di negeri kita Indonesia, kita mengenal Brandal Lokajaya sebelum berubah menjadi Sunan Kalijaga, ia adalah perampok yang harta rampasannya dibagikan ke fakir miskin. Paling dekat kita kenal Soekarno sebagai inspirator pemimpin-pemimpin dunia lainnya, seperti Khomeini di Iran, Faishal di Saudi, dll
Di tahun 1950-an dan 1960-an misalnya, Bung Karno dikenal bukan sekadar pemimpin politik terkemuka Indonesia, tapi juga bangsa-bangsa di kawasan Afrika dan Asia. Kepeloporan Bung Karno dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dimanifestasikan dengan menggelar Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Lebih dekatnya lagi, adalah sosok Gus Dur, orang mengenal Gus Dur sebagai "Bapak Bangsa", "Bapak Tionghoa", "Sang Zahid", "Pembela Kaum Tertindas", "Tokoh Moderat", entah apa bahasa yang disematkan, yang terpenting Gus Dur adalah sosok pembela kaum lemah.
Dulu ketika MUI menyatakan keturunan Rasulullah itu tidak ada, Gus Dur berada di garda terdepan pembela Habaib, ketika Tionghoa didiskriminasi, Gus Dur pula terdepan membela, bahkan ketika Inul Daratista dibully, Gus Dur juga membela, atas nama kemanusiaan.
Ingat Gus Dur, kita selalu ingat bahtera besarnya Nahdlatul Ulama. Gus Dur bersama koleganya, Gus Mus, Kyai Ma'ruf Amin membuka pintu pembaharu di tubuh NU, membuka gerbang dialektika yang lebih progresif bersama kawan-kawannya.
Terutama Kiai Ma'ruf Amin, sosok pakar Fiqh terampil, yang mengedepankan kepentingan umat, terutama kaum Mustadl'afin.
Kiai Ma'ruf hanya sosok Kiai kampung, tak beda jauh dengan Ajengan Ilyas Ruhiat di pelosok kabupaten Tasikmalaya sana, tidak beda jauh dengan sosok Tuan Guru Ijay di pelosok Martapura sana, tidak beda jauh dengan sosok Ungku Saliah dari Pariaman, tidak beda jauh dengan Abu Usman Kuta Krueng, Aceh, Kiai Ma'ruf hanya sosok Kiai kampung yang mengajarkan tafsir Jalalain di tengah masyarakat Tanara dan Banten.
Melihat Kiai Ma'ruf, tak jauh seperti Ustadz-Ustadz yang mengajarkan kita Alif-Ba'-Ta'. Ia hanya sosok biasa, tapi sangat luar biasa. Keberpihakan beliau terhadap ekonomi ke-ummat-an, atau ekonomi kerakyatan sangat diakui oleh masyarakat.
Perlu dicatat, Kiai Ma'ruf salah satu sosok yang ikut membidani lahirnya bank-bank Syariah, kita hanya mengenal beliau sebagai sosok Ulama saja, karena beliau menjabat sebagai ketua MUI dan Rais 'Aam PBNU, di luar itu semua Kiai Ma'ruf adalah ekonom rakyat kecil, dibuktikan dengan membangun Bank Wakaf Mikro, dan gagasan lainnya tentang pemberdayaan dan kemitraan.
Tujuan Kiai Ma'ruf ingin memperjuangkan pemerataan ekonomi, dengan konsep keadilan sosial dalam Pancasila.
Sudah sejak lama Kiai Ma'ruf memiliki ide yang sangat brilian dan progresif ini, beliau menyadari bahwa pentingnya membangun ekonomi kerakyatan yang berbasis terhadap pelaku ekonomi mikro. Ini lah yang menjadi poin penting bahwa, Kiai Ma'ruf adalah pembela kaum tertindas.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews