Pak Syaf

Masa pensiun adalah sebuah kesempatan untuk membentuk hidup yang paripurna. Hidup yang bermanfaat untuk umat. Untuk orang banyak.

Jumat, 18 Maret 2022 | 12:58 WIB
0
200
Pak Syaf
Saya dan Pak Syafruddin (Foto: dok. Pribadi)

Masih ingat Bapak bersama saya ini? Seorang jenderal polisi, mantan menteri, dan pernah memimpin kontingen Indonesia di Asian Games ketika Indonesia mencetak sejarah dengan menempati peringkat empat? 

Ya. Komisaris Jenderal Pol Syafruddin, mantan Menteri PANRB, mantan Wakapolri. Hari ini saya bersamanya di satu pulau kecil berpenduduk sekitar 2.000-an orang di teluk Jakarta: Pulau Untung Jawa. 

Di pulau ini, di atas lahan miliknya, ia baru saja menuntaskan pembangunan sebuah masjid besar yang apik dan resik, Masjid At-Tawaf. Masjid ini dibangun hanya dalam hitungan bulan, dengan bahan-bahan bangunan, dari kerangka baja, ubin, atap, bata, dan lain-lain diangkut dengan kapal dari daratan besar Jakarta.

Masjid At-Tawaf akhirnya rampung dan diresmikan hari ini, langsung oleh sang penggagas sekaligus pemilik lahannya: Pak Syafruddin. Tak heran jika kedatangannya hari ini menimbulkan keriuhan kecil di pulau itu. Dua pekan menjelang Ramadan, jumatan pertama digelar di masjidnya itu. 

Dan pembangunan masjid di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu hanyalah salah satu sumbangsihnya bagi umat di negeri ini.

Pak Syaf adalah seorang tokoh yang bisa melangkah keluar dari gelanggang kekuasaan dengan begitu legawa dan kepala tegak. Ia undur diri dari kekuasaan yang centang-perenang, dan kini menikmati hari-harinya mengurus khalayak. Membaur dengan umat yang terserak. 

Februari lalu misalnya, Pak Syaf bertandang ke pondok-pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dari Pesantren Tebuireng, Gontor, Tremas sampai Al-Hikmah Benda. Sebulan kemudian, ia beranjangsana ke pesantren-pesantren di Banten. 

Kunjungan-kunjungannya amat berbeda dengan para politisi yang datang setiap menjelang Pemilu, berharap limpahan suara dari pesantren dengan ribuan santri, atau para kiai dengan banyak pengikut. Tidak. Pak Syaf bukan politisi.

Ia datang bertamu, sekadar berbagi kabar, bantuan, atau memenuhi undangan. Ia begitu akrab dengan para kiai dan kalangan pesantren.

Pada November tahun lalu, Pak Syaf bahkan mengajak serta puluhan kiai dari Jawa, Sumatra, Sulawesi, sampai Madura berkunjung ke Kairo, Mesir, bertemu dengan pimpinan Al-Azhar, dan bersilaturahmi dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di sana.

Salah satu misinya ke Mesir adalah menemukan jalan keluar bagi penyetaraan kurikulum pendidikan pondok-pondok pesantren di Indonesia.

Pak Syaf kini begitu menikmati perannya sebagai pemimpin Dewan Masjid Indonesia. Belakangan ia begitu aktif sebagai Ketua Yayasan Indonesia Mengaji. 

Yayasan Indonesia Mengaji didirikannya dengan tujuan yang jelas: mengentaskan umat Islam Indonesia dari buta huruf Al-Quran.

“Dari 220-an juta penduduk Indonesia beragama Islam, sekitar 65 persen di antaranya tidak bisa membaca Al-Quran. Besar sekali,” katanya di setiap kesempatan.

Yayasan itu kemudian mendorong pembentukan pusat-pusat pengajian yang mengajarkan baca Al-Quran di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Ia juga mencetak ratusan ribu kitab Al-Quran dan terjemahannya untuk dibagikan ke masjid-masjid atau langsung ke masyarakat.

Tak banyak tokoh yang pada masa purnabaktinya, justru lebih sibuk ketimbang saat-saat memegang jabatan seperti Pak Syaf. Moncer dalam karir di kepolisian, dari Kapolda sampai Wakapolri berpangkat Komisaris Jenderal, lalu menjadi Menteri, dan kini pensiun dari jabatan di pemerintahan, hari-hari Pak Syaf malah kian berisi. 

Di masa pensiun ia tak tertarik masuk partai politik. Ia memilih jalan sepi tapi luas: mengurus pendidikan dan mengentaskan buta huruf Al-Quran di kalangan umat Islam.

Mungkin karena itu, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung sampai memberikan gelar Doktor Kehormatan. Bukan sebagai jenderal polisi, bukan pula sebagai menteri, tapi sebagai tokoh Islam moderat.

Sementara dari luar, Pak Syaf menerima kepercayaan Liga Dunia Islam untuk memimpin pembangunan Museum Internasional Sejarah Nabi Muhammad SAW dan Peradaban Islam yang kini sedang dibangun di Jakarta. Saya sendiri pernah mendampinginya dalam perjalanan ke Arab Saudi dan menyaksikan betapa lapang penerimaan para tokoh agama di negeri itu untuknya. 

Begitulah. Bagi Pak Syaf, masa purnabakti bukanlah perbatasan antara bekerja dan tidak bekerja, atau menjadi pejabat dan bukan pejabat, bukan pula batas antara kebesaran yang nyata dan bayang-bayang.

Masa pensiun adalah sebuah kesempatan untuk membentuk hidup yang paripurna. Hidup yang bermanfaat untuk umat. Untuk orang banyak. Seperti hari ini, saat ia menyelesaikan satu kerja besar yang jauh dari sorak sorai: membangun masjid besar di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Panjang umur Pak Syaf.

***