Mendobrak Budaya Patriarki di Pesantren

Masriyah Amva selalu menekankan kepada santri lelaki dan perempuan bahwa mereka setara. Sama-sama dianugerahi Tuhan kemampuan yang sama.

Kamis, 22 April 2021 | 08:51 WIB
0
331
Mendobrak Budaya Patriarki di Pesantren
Nyai Masriyah Amva (Foto: dok. Pribadi)

Ya Allah, hari ini kuangkat Engkau sebagai kekasih sebagaimana lelaki menjadikan-Mu sebagai kekasih.” 

Nyai Masriyah Amva pernah terpuruk ketika suaminya, KH Muhammad, berpulang pada 2007.

Seperti perempuan pada umumnya dia merasa separuh jiwanya hilang, masa depannya suram. Hingga pada suatu waktu ego dan kesadarannya bangkit. Perempuan kelahiran Cirebon, 13 Oktober 1961 itu tak ingin bernasib seperti perempuan lain pada umumnya.  

Dia melihat bila suami kehilangan isteri pada umumnya tetap tegar perkasa. Masriyah pun insyaf bahwa mereka bisa begitu karena bersandar pada kekuatan sang Khalik. Dirinya pun harus bersikap serupa. Tak ada yang patut menjadi sandaran hidup kecuali sang Pencipta itu sendiri.

“Ya Allah, hari ini kuangkat Engkau sebagai kekasih sebagaimana lelaki menjadikan-Mu sebagai kekasih,” kata Masriyah Amva mengutip salah satu coretan puisinya saat ditemui tim Blak-blakan detikcom, Jumat (9/4/2021). 

Perlahan dia membangun kepercayaan diri untuk langsung memimpin pesantren yang didirikan bersama almarhum suaminya. Tak langsung mulus tentu.

Para santri, yang dititipkan orangtua mereka karena cuma melihat sosok kharismatik Kiai Muhammad, satu persatu ada yang pergi. 

Para alumni, pengurus pesantren yang semuanya lelaki pun memandang Masriyah sebelah mata. Apalagi ketika alumnus Pesantren Al-Muayyad Solo, Pesantren Al-Badi'iyyah Pati, dan Pesantren Dar al-Lughah wa Da'wah di Bangil, Jawa Timur itu mulai menanamkan nilai-nilai kemandirian kepada para santrinya. 

“Yang membunuh saya itu bukan hanya budaya, doktrin agama, tapi justru banyak dari sesama perempuan. Dalam waktu yang sangat lama saya tidak diakui dan diterima oleh para alumni. Mereka memandang saya sebelah mata,” tutur Masriyah Amva yang kini telah menerbitkan lebih dari 20 buku puisi, motivasi dan ketuhanan. 

Tapi dia cuek. Menutup mata dan telinga seraya terus mengajarkan apa yang diyakininya benar bagi kemajuan para santri dan satriwatinya.

Masriyah Amva selalu menekankan kepada santri lelaki dan perempuan bahwa mereka setara. Sama-sama dianugerahi Tuhan kemampuan yang sama. 

Perlahan jumlah santrinya kembali bahkan terus bertambah hingga mencapai 1.700 orang. Bila sebelumnya proposal bantuan yang diajukan berkali-kali ditolak, bertahun kemudian banyak pihak mengulurkan bantuan tanpa dia harus mengajukan proposal.  

Masriyah Amva menjelma bak Kartini masa kini. Tak cuma mengurusi pesantren, dia juga aktif di bidang pemberdayaan masyarakat, seperti organisasi pendampingan perempuan Mawar Balqis, kajian keagamaan Fahmina Institute, serta Muslimat Fatayat NU.

Eksistensi dan prestasinya sebagai pemimpin pesantren di tengah budaya patriaki perlahan diakui banyak pihak. Dua penghargaan, Albiruni Award untuk bidang dakwah melalui seni dan budaya pada 2012, dan SK Trimurti Award sebagai tokoh gender dan pluralis pada 2014 adalah buktinya.

***