Jenderal Jadi Menteri Agama, Why Not?

Pokoknya dia tidak memecah belah umat, mengedepankan ajaran agama yang moderat, dan tentunya tidak korupsi. Baik untuk pribadi maupun sekedar menguntungkan kelompok asalnya.

Kamis, 24 Oktober 2019 | 07:14 WIB
0
700
Jenderal Jadi Menteri Agama, Why Not?
Fahrul Razi (Foto: Kompas.com)

Tak sampai satu jam Kabinet Indonesia Maju diumumkan Presiden Jokowi, seorang teman mengirim pesan bernada sumpah serapah. Ia antara lain menyebut Jokowi seolah lupa kacang pada kulitnya.

“Muhammadiyah yang anyep dirangkul, giliran NU dan PBNU dibiarkan seolah tanpa jasa sama sekali,” tulisnya. “La, Kementerian Agama itu kan jatahnya NU, kok malah dikasih ke tentara,” sambungnya. Keterlaluan!

Saya mafhum. Maksudnya mungkin terkait posisi mantan Menteri Pendidikan Prof Muhajir Effendy yang ‘naik pangkat’ menjadi Menko PMK. Di Muhammadiyah dia adalah Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan.

Sementara dari NU ada Prof Mahfud MD yang menjadi Menko Polhukam. Belum lagi KH Ma’ruf Amin yang menjadi wapres. Bukankah Jusuf Kalla pernah membandingkan posisi wapres setara dengan 10 kursi menteri.

Ketidakpuasan itu rupanya berlanjut. Kali ini Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas yang mengungkapkan kekecewaannya. Lewat pernyataan tertulis ke media, dia mengklaim banyak kiai protes ke pihaknya karena Presiden Joko Widodo memilih Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Para kiai, kata Robikin, tak bisa mengerti cara pikir Jokowi yang memilih menag bukan dari kalangan agamawan, melainkan militer.

Dia sepertinya belum mendapatkan informasi yang lengkap. Jenderal Fachrul adalah Pengurus Besar Matlaul Anwar, organisasi yang dibentuk para kiai di Banten pada 10 Juli 1916. Jadi, mantan wakil panglima TNI itu itu masih Islam, Sunni, Syafi'I, dan Aceh!

Baca Juga: ”Perang Dingin” Itu Masih Berlangsung

Dalam sejarahnya, pos Kementerian Agama bukan monopoli NU, Muhammadiyah, Masyumi, bahkan tentara pun pernah memimpinnya. Pada 1978, Presiden Soeharto menunjuk Alamsjah Ratu Prawiranegara sebagai Menteri Agama. Sebelumnya Alamsyah pernah menjadi Sekretaris Negara, Duta Besar di Belanda, 1972-1975, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung, 1975-1977.

Karena merasa bukan kiai, ia sempat mempertanyakan keputusan Soeharto tersebut. Tapi Soeharto menjawabnya dengan menjelaskan salah satu tugas utamanya sebagai Menag adalah, menjelaskan kepada umat beragama, umat Islam khususnya, mengenai Pancasila.

“Agar mereka tidak lagi bersikap apriori. Selama ini Pancasila [seolah] tidak jelas bagi umat Islam...,” tulis Alamsyah dalam autobiografinya, Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu terbitan 1995.

Alamsyah lalu menerjemahkan tugas itu dengan berkeliling pesantren. Dia menjelaskan bahwa Pancasila adalah buah karya dan hadiah umat islam kepada bangsa Indonesia. Salah satu tokoh yang berperan dalam perumusan Pancasila adalah dari NU, Kiai Haji Wachid Hasjim. Juga ada tokoh dari Muhammadiyah, yakni Ki Bagus Hadikusumo.

“Orang yang mengatakan Pancasila itu haram, bertentangan dengan Islam, orang-orang itu semua adalah bodoh, orang yang tidak mengerti sejarah,” cetus Alamsyah.

Penjelasannya ini yang membuat Kiai Haji As’ad Samsul Arifin dari Situbondo kemudian menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Juga Muktamar Muhammadiyah pada 1984 di Solo menetapkan Pancasila sebagai azas organisasi.

Baca Juga: Kabinet Bagus

Tugas lainnya adalah soal aliran kepercayaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kala itu ada keresahan seolah aliran kepercayaan menjadi agama tersendiri selain Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Salah satu indikasinya, aliran ini juga mendapatkan slot acara tersendiri di TVRI.

Tapi saat menghadap Soeharto, dia langsung mendapatkan jawaban tegas yang menentramkan. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah semacam kebudayaan. Jadi bukan masalah atau persoalan keagamaan, karena merupakan bagian dari kebudayaan. Tempatnya adalah di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Tarmizi Taher (Foto: Tempo.co)

Dalam cabinet 1993–1998, Soeharto kembali mengangkat figur berlatar tentara sebagai Menteri Agama. Kali ini Tarmizi Taher, seorang dokter sekaligus Laksamana Muda TNI Angkatan Laut.

Di masa kepemimpinannya, Tarmizi membuat dua terobosan srategis terkait penyelenggaran ibadah haji. Dia mencetuskan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan pembentukan Dana Abadi Umat.

Bagaimana dengan Fachrul?
Saat mengumumkan susunan kabinet, Presiden Jokowi menyebut setidaknya ada empat tugas utama menteri agama, yakni penanggulangan radikalisme, ekonomi umat, industri halal, dan haji.

Berkaca dari sukses Alamsyah dan Tarmizi, jenderal menjadi menteri agama tidak masalah. Why not? Pokoknya dia tidak memecah belah umat, mengedepankan ajaran agama yang moderat, dan tentunya tidak korupsi. Baik untuk pribadi maupun sekedar menguntungkan kelompok asalnya.

***