Kecemerlangan intelektual Amy yang sudah tampak sejak di sekolah menengah dan bangku kuliah, semakin menonjol setelah dia mengajar di Yale.
Kali ini tidak diulas pemikiran atau buku-bukunya, termasuk bukunya yang terbaru: POLITICAL TRIBES: Group Instinc and the Fate of Nations (2018), yang banyak menuai pujian sekaligus kritikan, dan masih terus dibahas.
Kali ini bicara yang santai saja: sosok pribadi sang ilmuwan dan pemikir hebat yang cantik itu.
Profesor Amy Lynn Chua adalah gambaran sosok keturunan migran yang sukses di Amerika. Tapi bukan sukses secara ekonomi seperti umumnya migran dari China, punya bisnis, atau jadi konglomerat. Amy lebih dikenal sebagai ilmuwan sosial kritis.
Lulus cum laude dari Harvard Law School, dan kini profesor di Yale Law School, Amy telah menjadi salah satu ilmuwan sosial yang pemikiran dan karya-karya diakui dunia.
Tentu dia bukan keturunan migran Asia pertama yang sukses dalam bidang itu. Kita mengenal misalnya sosok Yoshihiro Francis Fukuyama, ilmuwan sosial keturunan Jepang, yang kesohor lewat berbagai karyanya, terutama THE END OF HISTORY and THE LAST MAN (1992).
Pada 2011, Amy dinobatkan majalah Time sebagai satu dari "100 tokoh paling berpengaruh"; The Atlantic menyebutnya salah satu "Brave Thinkers"; dan jurnal berwibawa Foreign Policy menobatkannya sebagai satu dari "Global Thinkers".
"Ugly Kid"
Kedua orang tua Amy adalah keturunan China di Filipina sebelum bermigrasi ke Amerika sesudah Perang Dunia II. Amy lahir di Amerika 26 Oktober 1962. Sejak kecil dia berbahasa Hokien selain bahasa Inggris. Dia mengenang masa kecilnya yang sulit saat beradaptasi dengan kehidupan di Amerika.
Dia menjuluki dirinya sendiri "ugly kid" pada masa awal sekolahnya, ketika dia sering di-bully karena logatnya yang asing, dan sering mengalami hinaan rasial dari teman-teman kelasnya.
Amy Chua menikah dengan Jed Rubenfield, juga profesor di Yale Law School. Mereka memiliki dua putri cantik, Sophia dan Louisa "Lulu". Seperti orang tua mereka, Sophia lulus dari Yale, dan Lulu lulusan Harvard.
Kecemerlangan intelektual Amy yang sudah tampak sejak di sekolah menengah dan bangku kuliah, semakin menonjol setelah dia mengajar di Yale.
Dari sanalah lahirlah karya pertamanya yang fenomenal, WORLD ON FIRE: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability (2003).
Buku ini oleh The Economist ditetapkan sebagai salah satu "Best Books of 2003"; dan oleh Tony Giddens di The Guardian disebut sebagai salah satu "Top Political Reads of 2003".
Selain buku-buku serius lainnya, Amy juga juga menulis semacam memoar parenting-nya, BATTLE HYMN OF THE TIGER MOTHER (2011), yang kemudian menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Tapi tentu bagi pembaca yang mengikuti karya-karyanya, termasuk kita di Indonesia, buku terbarunya, POLITICAL TRIBAL (2018) barangkali memang paling menarik karena mengulas kecenderungan "tribalisme" dalam realita politik masa kini di dunia (Amerika era Trump), dan tampaknya juga terjadi di sini.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews