In Memoriam Syarwan Hamid

Syarwan Hamid adalah "the right man on the right place at the right time". Dan selanjutnya adalah sejarah.

Kamis, 25 Maret 2021 | 11:05 WIB
0
289
In Memoriam Syarwan Hamid
Syarwan Hamid (Foto: Kompas.com)

Fondasi utama era reformasi adalah reformasi politik, reformasi pemerintahan, dan reformasi konstitusi.

Yang pertama berkenaan dengan reformasi UU kepartaian, pemilu, dan susunan kedudukan MPR/DPR/DPRD yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi.

Yang kedua berkenaan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang luas. Dan yang ketiga berkenaan dengan amandemen konstitusi.

Tidak bisa disangkal, Pak Syarwan Hamid berperan besar atas dua fondasi yang pertama, sebagai Menteri Dalam Negeri saat itu. Beliaulah yang membentuk Tim Tujuh, untuk mempersiapkan rancangan UU Politik yang baru.

Tim Tujuh itu dipimpin oleh Prof DR Ryaas Rasyid, Rektor Institut Ilmu Pemerintahan saat itu, suatu perguruan tinggi kedinasan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Saya adalah salah satu anggotanya.

Beberapa kali kami mempresentasikan pasal demi pasal RUU tersebut kepada Pak Syarwan, sebagai filter terakhir sebelum dipresentasikan ke Presiden Habibie. Tentu dengan harap-harap cemas, apakah konsep yang sangat progresif dan demokratis itu akan bisa diterima oleh beliau.

Tapi setiap kali kami mendapat surprised. Bukan hanya tidak ada protes dari beliau, termasuk konsep awal bahwa tidak ada lagi kursi yang tidak dipilih (kursi ABRI) di parlemen, tapi malah mendukung dan mendorong agar diselesaikan secepatnya. Tiga bulan harus selesai. Alhamdulillah tiga RUU selesai dalam tiga bulan.

Demikian pula tentang RUU Otonomi Daerah dan juga Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah. Setelah reformasi politik, reformasi pemerintahan perlu dilakukan agar pemerintah bisa lebih lentur menghadapi berbagai tuntutan politik yang sekian lama tersendat, yang merupakan konsekuensi dari reformasi politik.

Sentralisasi kekuasaan dan pemerintahan tidak akan mampu mengendalikannya. Itu adalah pelajaran yang bisa kita petik dengan terpecahnya Uni Sovyet setelah kebijakan Glasnost dan Perestroika oleh Gorbachev.

Pak Syarwan merupakan figur kunci saat itu. Kalau rancangan itu ditolak oleh beliau, RUU itu tidak akan ke mana-mana.

Padahal konsep RUU tersebut mengubah hubungan pusat dan daerah secara mendasar, termasuk juga pembagian keuangan, dengan prinsip money follows functions. Ketika kewenangan diserahkan ke daerah, uangnya pun harus diberikan ke daerah.

Tentu juga termasuk dana bagi hasil atas berbagai sumber keuangan yang ada di daerah.

Tapi Pak Syarwan, yang jenderal bintang tiga, justru sangat mengerti dan mendukung. Dan menyampaikannya kepada Presiden Habibie untuk mendapatkan persetujuan. Dan Presiden Habibie juga sependapat, kemudian mengirimnya ke DPR untuk dibahas. 

Kita bisa berspekulasi bahwa mungkin karena Pak Syarwan orang Riau, yang mengerti benar soal ketidakadilan pusat dan daerah. Mungkin karena situasi menghendaki demikian dan dia hanya mengikuti angin sejarah.

Baca Juga: Kisah Syarwan Hamid dan Dua Jenderal Purnawirawan Lainnya

Mungkin juga beliau adalah salah satu jenderal yang progresif yang mendapat kesempatan untuk memperlihatkan pikirannya pada saat yang krusial. 

Yang jelas, beliau adalah the right man on the right place at the right time. Dan selanjutnya adalah sejarah.

Selamat jalan Pak Syarwan. Semoga Allah SWT memberi kemuliaan di sisiNya.

Andi Mallarangeng

***

Foto: nusantarakini.com