Kesan saya tak lepas dari pertanyaan saat kami kongkow di dekat air mancur Gedung Transmedia. Dian bercerita salah satu efek kemo itu biasanya selain rasa mual, rambut pada rontok.
“Hai payudara kanannya Dian, apa yang sudah kamu lakukan selama 26 tahun mendampingi dia?” Kira-kira kamu bakal jawab apa?
Radian Nyi Sukmasari (Dian) pernah menutup status di facebooknya demikian pada 14 Juni 2019. Sebuah perenungan diri, sekaligus peneguhan hati. Sadrah. Juga berusaha menghadapi penderitaannya dengan enjoy. Dan 16 hari kemudian Dian menulis, “Hey Cancer, you can take my right breast but you can’t take my soul.”
Saya baru tahu kalau gadis kelahiran Jakarta 23 Juli 1991 itu mengidap kanker payudara ketika melihat buku “Tubuhku Panglimaku” di mejanya. Buku itu ditulis Endri Kurniawati, teman semasa di Tempo, yang penyintas kanker payudara. “Gue juga lagi nyicil nulis nih, kang,” ujarmya.
Di kesempatan lain, kami sempat berbincang ringan soal penerbit yang pas untuk menerbitkan bukunya. Dian juga menyebut beberapa alternatif judul hingga desain covernya. Saat itu saya memang sedang memegang rubrik resensi buku, jadi punya beberapa kenalan penerbit yang mungkin tertarik dengan kisah Dian.
Singkat cerita, di tengah kesibukannya sebagai editor kesehatan di Haibunda, di tengah sergapan rasa nyeri yang tak terperi, dan terkadang rasa mual setelah menjalani kemo, Dian selesai menuliskan pengalamannya. Dia mengirimkan naskah “Beauty and The Breast” via imel, dan meminta saya untuk membaca dan menyuntingnya.
Jujur, saya tak berani menyuntingnya. Dia sudah menuliskan kisahnya dengan sangat renyah, mengalir, dan cuek. Dia tidak berusaha menggunakan kalimat-kalimat puitis nan mendayu-dayu. Juga tak ada kesan dia sedang mendramatisasi, apalagi minta dikasihani. Untuk yang satu ini dia paling anti. “Kasih gue motivasi, bukan belas kasihan,” ujarnya suati ketika.
Perjuangan Dian melawan kanker cukup panjang. Sejak Desember 2017, dia didiagnosis kanker payudara stadium III B. Pada 3 Mei 2018 Dian menjalani mastektomi atau operasi pengangkatan payudara. Setelah menjalani kemoterapi hampir setahun, kondisinya sempat membaik.
Saya mengenal alumnus program studi jurnalistik, FISIP UI 2013 itu sejak masih di kanal Detikhealth yang dikomandani Nurvita Indarini. Setelah empat tahun, dia bersama Nurvita merintis HaiBunda.
Di tengah kondisi tubuh yang tak lagi prima, Dian berusaha terlihat tangguh. Jauh sebelum ada work from home (WFH) karena pagebluk, dia sudah diminta bekerja dari rumah. Meski terlihat pucat, dan geraknya tak lagi lincah, kerap kali dia muncul di kantor.
Meski secara fisik melelahkan, hadir di antara sesama teman mungkin menjadi kebahagiaan tersendiri buat dia. Setiap kali bertemu dan berbincang ringan, biasanya ada satu permintaan khusus dari Dian. “Kang, lu punya stok cerita lucu dan porno apa lagi?”. Lalu kami tertawa.
Kesan dan citra saya itu tak lepas dari pertanyaan yang terlontar saat kami kongkow di dekat air mancur Gedung Transmedia. Dian bercerita salah satu efek kemo itu biasanya selain rasa mual, rambut pada rontok.
“Termasuk rambut di bagian yang satu itu?” tanya saya. Dian tertawa geli. “Kepo banget sih lu….” Setengah berseloroh saya sarankan agar dia mengungkapkan hal itu di bukunya. “Gue pertimbangkan,” ujarnya. “Dasar omes lu.”
Pada 11 Januari 2020, terbetik kabar bila bukunya telah selesai cetak. Judulnya ditambahi anak kalimat, “when the breast meets the beast.” Pada 20 Mei 2020, menjelang duhur, kabar duka datang: Dian berpulang di Malang.
Allahummaghfir lahaa warhamhaa wa ‘asfihaa wa fu’anhaa wakrim nudzulahaa wawasi…
Selamat jalan Beauty and The Breast...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews