Sederhana, Sehat dan Bahagia

Bagi kami kesederhanaan, kebersahajaan, dan menerima hidup dengan sukacita itu jalan kebahagiaan. Bukan materi atau kedudukan semata.

Rabu, 26 Januari 2022 | 06:18 WIB
0
265
Sederhana, Sehat dan Bahagia
Kebahagiaan (Foto: IDN Times)

Pagi tadi, di tengah keramaian, seorang kolega menyapa saya, "Pagi, Vika.. sehat-sehat kan?"

Saya pun menjawab sapaan pagi itu dengan ceria, "Sehat dong... Njenengan sehat-sehat sekeluarga?" Kolega saya pun mengiyakan dengan tak kalah ceria.

Lalu bagai disambar geledek, terdengar suara menggelegar seorang kolega lain, "Yang penting itu bukan cuma sehat, tapi bahagia. Sehat tapi nggak bahagia buat apa...." blablabla, kolega itu terus berkata-kata dalam tangga nada minor yang menimbulkan kesan horor.

Saya dan kolega ceria segera berpandang-pandangan, seolah berkata: salah kita apa ya....?

Saya serta merta jengkel, menyibukkan diri dengan hp saya. Mengacuhkan keramaian di sekitar saya. Mau dikira sombong, peduli amat...! Saya mendadak merasa lelah.

Saya pun chat sahabat saya. Menceritakan kejadian ini. Saya tetap tidak tahu letak salah saya dan kolega ceria. Kami tidak menyindir, dan setahu saya, baik saya dan kolega ceria tak punya masalah pribadi dengan kolega menggelegar itu.

Kebetulan badan saya masih sedikit demam efek vaksin Moderna 2 hari lalu. Mungkin saya jadi julid karenanya. Mengetik pesan ke sahabat: kalo dia menyindir saya nggak bahagia, seberapa spiritual pemahaman dia tentang bahagia. Seberapa rasional dia, kalau dia mengagungkan rasionalitas.

Kalau dia berpegang dengan nilai budaya kita, seberapa paham dia tentang konsep kebahagian menurut local wisdom. Kalau dia relijius, penting banget teriak-teriak begitu....?

Sahabat saya menjawab. Bisa jadi dia melihat kebahagiaan kita dalam konsep dia. Tentu kita terligat tidak bahagia: janda, nggak punya suami untuk dipamerkan, nggak kaya, bukan pejabat, nggak relijius pula...

Saya memberi emo tertawa. Tawa getir, kata kami bersamaan. Tenang, ketik saya, dalam konsep kita dia tak bahagia. Garing, galak, bahkan terlihat jauh lebih tua dari orang seumurnya.

Kalo gitu jangan dipikir, ketik sahabat saya. Toh kebahagiaan versi dia tidak terlalu mengganggu kita. Mediocre, u know, ketik teman saya lagi, kebanyakan orang di negeri kita memahami kebahagiaan dengan indikator basic needs. Piramida terbawah Maslow.

Saya tergelak, tepat saat itu saya mendengar sayup-sayup cerita kolega galak dan beberapa kolega. Mereka sedang kagum dengan seorang kolega lain yang ambil kredit rumah bercicilan 10 juta sebulan. "Pasti si 10 juta itu segera dipuji-puji," ketik sahabat saya kemudian.

Jelas, tambah saya. "Ini mereka membahas betapa besar pendapatan bulanan dia. Mana mobilnya Pajero...."

Sahabat saya langsung mengetik, oh mediocre...

"Cerita-cerita seperti itu selalu menarik mereka. Tapi bukan bagaimana cara mencapai sukses atau kekayaan yang jadi fokus. Sebatas apa yang mereka miliki. Baik dengan iri maupun senang."

Sedih ya, tambah teman. "Kolegaku dosen, seorang profesor doktor, bahkan masih perlu memasang foto profil di depan rumah dan dua mobil glowing yang berjejer."

"Bagaimana kita bisa dipahami mereka," tambah saya. Topik yang menyenangkan kita, tak menyenangkan bagi mereka. Saya pun bercerita kejadian beberapa waktu lalu. Saat itu saya bercerita di depan kolega-kolega kisah yang saya anggap mengharukan. Ternyata tidak ada yang haru. Hanya saya.

Ceritanya saya menghadiri pertemuan Paguyuban Tenaga Pembersih Sampah. Mereka dengan riang gembira membahas rencana piknik bareng. Mereka berhasil mengumpulkan uang kas sebanyak 2.5 juta.

Saya mulai terharu, saya tahu persis upah mereka yang UMR. Itupun hampir semuanya punya kredit koperasi sehingga banyak potongan. Menyisihkan uang segitu pasti lama dan bukan perkara ringan.

Keinginan mereka pun sederhana. Menyewa bis dan piknik ke pantai-pantai di Gunung Kidul serta obyek wisata bukit sunset, meski tiket masuknya mahal. Saya terharu lagi saat mereka menawari saya ikut, mumpung ada bis. Mereka bersusah payah mengumpulkan uang, dan masih kurang, tetapi rela menawari saya ikut. Tenggorokan saya langsung tercekat ingin menangis.

Sahabat saya pun terharu. Demikian juga teman-teman grup dolan saya. Bagi kami kesederhanaan, kebersahajaan, dan menerima hidup dengan sukacita itu jalan kebahagiaan. Bukan materi atau kedudukan semata. 

Entahlah. Bisa jadi saya terlalu julid hari ini. Efek demam dari moderna. Dan kolega galak, bisa jadi juga sedang sensi efek demam moderna.

#vkd