Catatan Biasa Orang Biasa [16] Mang Sopyan dan Ratu Dangdut

Mang Sopyan, nama lelaki itu, bagai magnet yang menyedot perhatian pendengar untuk menikmati dongengnya pada setiap sore pukul 16.00-17.00.

Selasa, 23 Februari 2021 | 06:43 WIB
0
233
Catatan Biasa Orang Biasa [16] Mang Sopyan dan Ratu Dangdut
Mang Sopyan (Foto: Youtube.com)

Fisiknya terbilang kecil untuk ukuran rata-rata orang dewasa. Gaya rambutnya selalu rapi dengan lipatan ke kanan. Geraknya lincah dan senang bercanda. Kalau sudah berada di ruang siaran, sosok ini seperti berubah sama sekali. Lewat suaranya, lahir berbagai karakter: anak-anak, orangtua, perempuan genit, lelaki berwibawa atau nenek renta. Mereka muncul silih berganti.

Penggemarnya berdesakan setiap sore di Studio Radio Pemerintah Daerah (Sturada) Tasikmalaya, hingga meluber ke luar. Mereka ingin melihat langsung orang ini dan mendengarkan kisah yang diudarakannya. Rupanya sebagian warga tidak puas hanya mendengarkan lewat radio.

Mang Sopyan, nama lelaki itu, bagai magnet yang menyedot perhatian pendengar untuk menikmati dongengnya pada setiap sore pukul 16.00-17.00. Di rumah-rumah, warga mengerumuni radio. Mereka enggan beranjak hingga siaran usai. Terbawa hanyut dengan permainan suara Mang Sopyan.

“Euuh waktosna seep…” adalah kalimat terkenal dari Mang Sopyan di ujung dongengnya. Biasanya itu dilontarkannya, saat pendengar ingin tahu adegan cerita berikutnya. Bikin penasaran dan "gantung dengeeun".

Bertahun-tahun mantan tukang jahit di kawasan Mitrabatik tersebut, menghibur para penyuka dongeng Sunda. Entah sudah berada serial dongeng yang dikisahkannya. Mang Sopyan menjadi fenomena di dunia hiburan Tasikmalaya tahun 1980-an. Lokasi Sturada Tasikmalaya yang berada di samping timur SMPN 2, membuat saya berkesempatan pula melihat sosoknya dari dekat. Jika giliran sekolah sore dan waktunya masih ada, saya mampir ke tempat itu.

Tampaknya kotak ruang siaran radio tidak cukup untuk menampung kreativitas Mang Sopyan. Dia pun merambah dunia pertunjukkan off air dari panggung ke panggung di berbagai kota. Kehadirannya di tengah penggemarnya secara langsung itu tidak sendirian. Ada sajian musik dengan sejumlah penyanyi.

Di tengah-tengah pementasan, muncul Mang Sopyan dengan buku cerita Sunda di tangannya. Mulailah dia mendongeng persis seperti di radio. Kemudiam beberapa orang tampil memerankan karakter sesuai yang disuarakan Mang Sopyan.

Tapi untuk kebutuhan hiburan, cerita seringkali dibelokkan untuk menimbulkan kelucuan. Tidak ubahnya seperti pementasan “bobodoran”. Penonton pun berkali-kali tergelak.

Pertunjukkan dengan konsep seperti ini, boleh jadi sesuatu yang baru. Memperkaya khazanah seni pertunjukan di Pringan Timur. Meskipun suara pendongeng tersebut tidak asing lagi di telinga, namun kemasan yang ditawarkan di atas panggung, membuat penggemar memenuhi lokasi pertunjukkan yang tidak gratis itu. Berbeda jika di tempat hajatan, grup Mang Sopyan bisa dinikmati tanpa tiket.

Alun-alun

Dalam konsep tata ruang pusat pemerintahan tradisional, empat unsur pokok selalu hadir berdampingan yaitu masjid, alun-alun, pendopo dan penjara. Formasi baku yang dipengaruhi Mataram ini bisa terlihat di banyak tempat. Begitu juga dengan Tasikmalaya, walaupun agak terpisah-pisah. Masjid dan penjara berada di sebelah barat dekat pusat perbelanjaan. Terpaut ratusan meter dari situ, terdapat pendopo dan alun-alun.

Sebagaimana lazimnya, pendopo menjadi tempat tinggal bupati (rumah dinas). Kompleks ini begitu rimbun, sejumlah pohon beringin tua meneduhkan lingkungan. Di situlah Bupati Hudly Bambang Aruman berdiam. Di belakang pendopo, dipisahkan tembok benteng, berderet sejumlah rumah dinas sederhana yang antara lain dihuni pengemudi kendaraan dinas bupati. Saya sering main ke tempat itu, karena ada teman sekelas yang tinggal di sana.

Alun-alun berfungsi untuk segala macam kegiatan masyarakat. Saat pelajaran olahraga, kami seringkali menggunakannya untuk bermain sepakbola. Demikian juga dengan siswa sekolah lain, memakai lapangan tersebut. Maka mau tidak mau kami harus berbagi ruang atau mengajak pertandingan persahabatan. Dalam pertandingan persahabatan, tidak jarang pula terjadi gesekan dan muncul “permusuhan”.

Penampilan fisik alun-alun begitu sederhana. Hanya dikelilingi pagar kawat, terdapat sejumlah pohon peneduh, dan beralas tanah bercampur kerikil. Kalau terjatuh saat “mengbal” sering berdarah dan lumayan sakit. Di sisi utara alun-alun terdapat panggung permanen dari tembok, yang bagian belakangnya (semacam backdrop) terdapat relief yang menceritakan tentang sejarah Tasikmalaya.

Upacara HUT Proklamasi, pergelaran sirkus, dan ketangkasan ikan lumba-lumba, juga memanfaatkan alun-alun. Demikian juga dengan pertunjukkan musik. Saat itu belum ada tempat representatif di Tasikmalaya yang bisa digunakan untuk pertunjukan musik. Raja Dangdut Rhoma Irama dan Soneta-nya pernah manggung di alun-alun. Juga Ratu Dangdut Elvie Sukaesih sempat bergoyang di panggung tersebut. Saya ikut menonton pergelaran mereka. Lapangan berdebu itu penuh sesak.

Jika alun-alun dipakai pertunjukan musik berbayar, biasanya sekeliling lapangan tersebut ditutup dengan penghalang dari kayu multipleks atau sejenisnya setinggi dua meter. Jalan akses masuk ke sekolah saya pun ikut ditutup.

Kadang-kadang kalau malam Minggu sedang menginap di sekolah, saya sempatkan pula menonton. Tidak perlu membeli tiket. “Saya anak penjaga sekolah, tinggal di sekolah,” begitu saya bilang ke petugas jaga. Kemudian berbaur dengan penonton lainnya.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [15] Disangka Hilang di Gunung