24 Desember. Hari-hari menjelang akhir tahun, di musim penghujan pula, entah mengapa, aneka kenangan selalu datang menggenang. Datang menyergap tak diundang. Datang menyelusup ke kegembiraan menyambut liburan Natal dan Tahun Baru.
Pada 24 Desember 1980, pukul sepuluh pagi, ayah saya meninggal dunia. Saya masih kelas satu sekolah dasar. Sudah 41 tahun berlalu, dan saya masih mengingat sore itu, ketika seseorang datang ke Mambi dan mengabarkan jika ayah saya meninggal pukul 10 pagi tadi, di Malabo – 30 kilometer dari rumah. Lalu tengah malam, jazadnya pun tiba dalam keranda yang dipikul orang-orang baik dari kampung sebelah. Keranda itu dipikul bergantian, dari kampung ke kampung, sampai ke Mambi.
Ayah saya meninggal dalam perjalanan. Usianya 40 tahun, tubuhnya besar tapi ringkih dihempas penyakit paru bertahun-tahun lamanya. Angin gununglah mungkin yang membuatnya tetap bersemangat berpergian: ke Mamasa, Tabulahan, atau bahkan hendak ke Toraja, kampung halamannya seperti saat menjelang kematiannya.
Dari Mambi, pagi-pagi benar ia pergi berkuda dengan kakak saya. Menjelang Malabo, tempat ia akan bersua dengan mobil – ini kampung terakhir yang dijejak mobil saat itu – penyakitnya kambuh lalu beristirahat di rumah seorang kerabat. Dua hari kemudian, pada 24 Desember, ayah saya berpulang.
41 tahun berlalu, dan saya masih mengingat ayah saya, tubuh besarnya, suaranya, kumis dan misainya. Dan satu yang melekat benar: kenangan pada sebatang tongkat dengan cincin tanduk rusa.
Tongkat itu entah di mana kini. Di masa hidupnya, ayahku merautnya dengan ketelitian seorang empu. Batangnya ia pilih dari kayu hitam --benar-benar hitam-- dengan bilur coklat berlekuk yang menambah perbawanya. Pada pangkal atas, ia tambahkan gagang dari bahan yang istimewa: tanduk rusa jantan hasil buruannya sendiri. Pada ujung tongkat yang mengecil, pada bagian yang menjejak tanah, ada lingkar putih seperti cincin, juga dari tanduk rusa.
Mendiang ayahku meraut tongkat itu untuknya sendiri, dengan cita rasanya sendiri. Sebagai orang Toraja, ia memang terampil mengukir --ia punya pisau ukir-- kegiatan yang konon ditekuni semua anak kecil pada masanya di Madandan, kampung halaman ayahku.
Sepeninggalnya, tongkat dengan lingkar cincin tanduk rusa itu diserahkan ibuku ke seorang kerabat ayahku di Madandan dalam sebuah kunjungan ke Toraja. Sejak itu, saya tak pernah lagi melihatnya. Tongkat itu hanya tegak dalam kenanganku, dengan bayangan tubuh besar ayahku bertelekan pada gagangnya.
**
24 Desember. Enam tahun sepeninggal ayahku, saya pindah ke Toraja. Awalnya di Makale, lalu ke Rantepao. Saya tinggal menumpang di kediaman paman saya, adik kandung ayahku. Ia seorang pastor Katolik yang bersahaja. Maka saya bersekolah di SMP Katolik -- setahun di Makale, setahun di Rantepao – mengikuti lokasi tugas paman pastor.
Di hari-hari menjelang Natal 25 Desember, sudut ruang kerja om pastor -- begitu saya memanggilnya -- berhiaskan pohon natal sederhana dari pokok kayu cemara. Pada malam hari, cahaya dan kerlap-kerlip lampunya berpendar menembus kaca jendela besar dan terlihat dari kamar saya di seberangnya.
Saya kerap memasuki ruangan itu dan memperhatikan dengan cermat: indah nian pohon natal ini. Di bawah pohon ada diorama kecil peristiwa kelahiran Yesus di palungan makanan ternak di kandang domba.
Pada dedaunannya yang menjuntai-juntai itu, bergelantungan bola-bola kristal, boneka salju, pinguin, dan sinterklas dengan kereta yang ditarik menjangan. Juga sejumlah boneka malaikat kecil bersayap dan kabel hijau dengan bohlam warna warni seukuran cabe rawit yang dililitkan pada pucuk-pucuk dedaunannya.
Saya sempat khawatir, jangan-jangan malaikat kecil berwajah bayi itu akan kesetrum kabel hijau yang melilit pohon?
**
24 Desember. Entah mengapa dua kenangan itu selalu datang menyergap. Mungkin karena Jakarta yang begitu basah oleh hujan saban hari. Atau karena saudara-saudaraku kaum Nasrani yang tengah berbahagia menyambut Hari Natal di tengah pandemi.
Selamat merayakan Hari Natal saudara-saudaraku umat Kristiani. Semoga damai beserta kita semua.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews