Flasch Fiction: Cinta Satu Malam

Lelaki itu lalu bangkit, mematikan rokok yang tinggal setengah di asbak. Meraih belati tajam dari laci meja kecil.

Jumat, 30 Oktober 2020 | 07:44 WIB
0
222
Flasch Fiction:  Cinta Satu Malam
Cinta Satu Malam

Baginya, cinta adalah nonsens.

Tak ada artinya. Dan Sia-sia.

Entahlah, lelaki itu selalu menganggap cinta adalah sebentuk sakit yang familiar. Ia jadi terbiasa memaknai setiap desir rasa yang menghentak batin tersebut sebagai sesuatu yang memang sudah seharusnya. Lazim. Wajar tanpa syarat. Dan seperih apapun luka perpisahan yang ia alami tak akan membuatnya limbung, hilang kendali atau melakukan langkah ekstrim :  berteriak lantang sekeras-kerasnya hingga segala beban dihatinya lenyap seketika.

“Aku tidak semelankolis itu,” ucapnya dalam hati. Ia lalu tersenyum getir lalu mengisap rokoknya dalam-dalam. Asapnya rimbun mengepul mengelilingi wajahnya dengan rahang mengeras.

Ia tahu bagaimana cara menikmati luka dengan menanggulanginya oleh luka yang lain. Setidaknya itu membuat batinnya lebih baik. Dan terhormat.

Perempuan itu sudah membuatku menderita bertahun-tahun, gumamnya lirih.

Meninggalkannya adalah sebuah kekeliruan besar. Yang justru membuatnya rentan dari segala kesakitan. Kebal dari segala kesunyian dan tegar menghadapi hempasan badai. Sekuat apapun.

Sosok di tempat tidur itu menggeliat. Wajahnya terlihat cantik diremang lampu kamar.

“Kok belum tidur, sayang?” tanyanya manja.

Lelaki itu menghela nafas panjang,

“Sebentar saya ke situ”, sahutnya pelan.

Perempuan itu mendesah dan kembali memejamkan mata.

Lelaki itu lalu bangkit, mematikan rokok yang tinggal setengah di asbak. Meraih belati tajam dari laci meja kecil.

“Cukup satu malam saja, perempuan kelima. Mari nikmati kesakitanmu. Kesakitan kita”, ucapnya pilu.

***