Daripada capek nonton kepalsuan elite politik, atau yang sok pakar, Lek Damis mampu menjadi katup pelepas, sebuah outlet atau katarsis.
Youtube adalah salah satu platform medsos yang banyak diakses netizen Indonesia. Penghasilan youtuber Indonesia, sangat mengiurkan. Dalam sebulan, Baim Wong, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, apalagi Atta Halilintar, konon mendapat puluhan milyar rupiah.
Maka kita akan terheran-heran, apa yang menarik, bermutu, berkualitas, hingga konten youtube yang ‘cuma kek gitu’ bisa ditonton ratusan ribu bahkan jutaan, dan dengan subscriber yang juga sangat dahsyat?
Di Indonesia, menurut data Kemenkominfo (2019), ada 230 juta handphone (meski penggunanya mungkin tak sebesar itu), dan 160 juta pengguna internet aktif. Youtube adalah platform medsos terbesar kedua di Indonesia (dengan 93 juta pengguna), setelah facebook (130 juta, terbesar ke-4 di dunia).
Fenomena youtube Indonesia sekarang, muncul akun Lek Damis yang ‘penomenal’. Upload pertama bulan Juni 2020 lalu. Tetapi kini subscribernya sudah mencapai 145 ribu lebih, dan ditonton oleh 18,69 juta.
Isinya? Lek Damis orang desa dari Cepu, Blora, Jawa Tengah, menjadi vloger untuk kehidupan kesehariannya. Segala aktivitasnya, ia jadikan konten video. Ketemu dengan teman lama, beli sayuran, nraktir tetangga selingkungan jajan bakso, nyorot anaknya yang mau pasang antena TV, beli gado-gado di tetangga, dan seterusnya.
Nilai apa yang didapatkan netizen, melihat konten semacam itu? Kegembiraan, kebahagiaan, penghiburan. Sesuatu yang sesungguhnya tidak susah dirumuskan, tetapi sulit dipahami mereka yang terjebak dalam konvensi, norma, apalagi dogma. Analisis dengan teori-teori jadul, analog, akan mentah di situ. Maka sering muncul istilah; matinya kepakaran, the end of history, generasi instan, dan seterusnya.
Demikianlah. Medsos memang memberi ruang pada sesiapa, secara lebih demokratis, egaliter. Sistem algoritma untuk ukuran nilai di media online, memang beda jalur dengan media konvensional. Jangan bandingkan dengan misalnya media-media konvensional yang sering salah disebut sebagai media mainstream (apalagi media cetak seperti koran, majalah, lebih-lebih buku).
Dulu mungkin, sebagai ukuran nilai. Sekarang tidak. Seperti kata Joel Steyn yang sering saya kutip; semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat.
Fenomena Lek Damis, bukan barang baru sesungguhnya. Sebelumnya ada Ucup Klaten dengan Mbah Minto. Bedanya, Mbah Minto adalah karakter yang berada dalam objektifikasi Ucup, sebagai youtuber. Sementara, Lek Damis adalah subjek pelakunya. Ia bertindak sebagai vloger itu sendiri.
Awal-awalnya, tampak dengan jelas, ada tim di belakang layar yang sering disebut ‘tim super’ itu. Apalagi kini, kayaknya sudah pakai gimbal dan external gun-mic untuk handphone-nya. Meski sebagai subjek, tetapi tampak bagaimana ada disain di belakangnya, bagaimana mengeksploitasi ke-ndeso-an Lek Damis sebagai point of view.
Jika dalam tulisan human-interest ada rumus ‘orang besar dalam kejadian kecil’, atau sebaliknya ‘orang kecil dalam kejadian besar’, Lek Damis berada dalam rumus yang kedua. Dengan setting sosialnya yang tanpa rekayasa, ia muncul sebagai karakter yang dituntut oleh karakter medianya, tetapi dalam versi Lek Damis yang otentik; orang desa yang cablak, cewawakan, dengan bahasa apa-adanya, terbuka, spontan, kadang 'rusuh'.
Tidak harus pura-pura manis dengan jilbab, atau tutur kata terstruktur, runtut. Semua itu dibungkus dalam contradictio in terminis; Menggunakan gimmick, idiom netizen, yang mesti selalu update atau conecting the people, menyapa dan aktif berkomentar.
Anda, yang capek dalam kehidupan keseharian, akan bisa ketawa bahagia atau ngakak, melihat Lek Damis menyapa penontonnya dengan sebutan gaes, minta disabkreb, laik dan syer. Dia juga bisa nge-preng suaminya sendiri, atau belagak bikin program Q&A (Question n Answer) kayak program TV.
Tapi, Anda juga bisa request Lek Damis bagaimana dia mereview umbah-umbah pakaian, bukan di-loundry. Lek Damis, kini juga berani menantang Ria Richis, selebritis youtube, untuk ngevlog model dia. Disambi masak, umbah-umbah, atau momong cucu.
Sebetulnya, orang desa berlagak kota atau modern, orang miskin berlagak kaya, dulu banyak dilakukan teman atau tetangga kita. Bukannya sok, tetapi itu cara mengejek diri-sendiri. Lek Damis, tidak menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi vloger (atau youtuber), generasi milenial, netizen, tetapi dengan caranya sendiri. Dan itu lucu.
Cara katarsis dan menghibur banyak orang (senasib) dalam kekalahannya. Seperti model-model dagelan Basiyo dulu. Sebuah perlawanan simbolik dalam sistem komunikasi yang satu arah, dengan kemutlakan-kemutlakannya.
Kini medsos bukan hanya mengakomodasi sesiapa, para anonim, melainkan juga mengkomodifikasikannya dalam teknologi encoding. Dan jangan lupa, dari jutaan rupiah yang didapat Lek Damis, artinya juga hampir sejumlah itu pula yang diberikan Lek Damis pada perusahaan youtube. Penghasilan dia bulan ini, antara Rp 54 juta s.d Rp 435 juta (berdasar penghitungan dasbor youtube stats & analytics ter-update). Dia sudah bisa merenovasi rumah orangtuanya dari itu.
Daripada capek nonton kepalsuan elite politik, atau yang sok pakar, Lek Damis mampu menjadi katup pelepas, sebuah outlet atau katarsis. Lebih-lebih di masa pandemi yang underprresure ini. Wajah Lek Damis yang ndesit itu, kini ditonton di seluruh dunia, dengan dukungan iklan-iklan internasional.
Padal, jaman dulu, untuk bisa tampil di TVRI, atau Indosiar, misalnya, harus cantik dan cakep. Sementara Lek Damis ini, dibanding Tante Erni, lebih hot mana? Lihat wajah Lek Damis, yang suka ngaku sebagai Manohara dan Soimah itu.
| @sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews