Kita sudah punya pengalaman buruk dengan Malaysia. Barangkali dengan Filipina dan China pun bisa terjadi bila kita tidak pernah peduli dengan pulau-pulau terluar milik kita, milik NKRI.
Beberapa tahun lalu saya pernah ditugasi kantor untuk meliput jalannya perubahan konstitusi, yaitu amandemen Undang-undang Dasar 1945 di Gedung Majelis Senayan. Konstitusi mengatakan, yang berhak mengubah UUD 1945 itu adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Tiba-tiba saja UUD 1945 yang biasa dihapal Preambule-nya itu menjadi bahan menarik, menjadi berita yang “seksi” berkah meledaknya reformasi. Saya yang sewaktu SMP dulu sempat hapal Mukadimah konstitusi itu, “terpaksa” harus menghapal pasal demi pasal, bab demi bab, khususnya terkait bab dan pasal-pasal yang hendak diubah.
Saya kemudian teringat saat-saat pembahasan terhadap amandemen itu akan dilakukan. Tidak sedikit elemen bangsa menyampaikan aspirasinya kepada anggota MPR. Aspirasi yang masuk tentu saja terbagi dua, yakni yang pro dan anti perubahan UUD 1945. Mereka yang pro mangajukan usul hal-hal mana saja atau pasal-pasal mana saja yang harus diubah, ditambahkan atau harus dihilangkan.
Akan tetapi yang tidak kalah menariknya waktu itu, ada golongan masyarakat yang tidak ingin UUD 1945 diubah sedikit pun. Konstitusi harus dibiarkan seperti aslinya dan seperti apa adanya, begitu alasan mereka. “UUD 1945 adalah harga mati,” demikian alasan mereka.
Saat itu, tentu saja aspirasi ini seperti melawan arus deras yang menghendaki adanya perubahan terhadap UUD 1945. Asal tahu saja, sejarah manapun akan mencatat, melawan arus di tengah euforia berarti siap untuk tidak populer dan menyerahkan diri untuk dihujat habis-habisan.
Kalau saya mengikuti jalan pikiran mereka, kelompok warga yang menghendaki keaslian konstitusi, perubahan terhadap UUD 1945 bisa menyasar kepada goyahnya NKRI alias Negara Kesatuan Rerpublik Indonesia yang juga mereka terakan sebagai “harga mati”, sebagaimana halnya UUD 1945. “NKRI adalah harga mati,” demikian suatu saat terlontar dari beberapa orang di antara mereka baik yang terbaca di koran maupun langsung terdengar di Gedung Bundar.
Baca Juga: Indonesiaku [1] Mulailah dengan Bertanya pada Diri Sendiri
Dulu, saat mereka meneriakkan “NKRI harga mati”, juga disikapi dengan nyinyir di saat orang seperti Prof Amien Rais sudah melangkah lebih maju dengan gagagasan Negara Federal-nya, sementara Prof Ryaas Rasyid jauh-jauh hari sudah khatam dengan konsep Otonomi Daerah-Nya.
Saya ingat kalimat yang diterima para “generasi tua dan konvensional” yang tidak menghendaki amandemen UUD 1945 dengan mengatakan: “Pak, tidak ada yang bersifat ‘harga mati’ selama itu bikinan manusia!” Ada benarnya, hanya Qalam Ilahi saja yang tidak boleh diubah satu huruf pun.
Tetapi belakangan saya semakin memaklumi teriakan mereka mengenai NKRI sebagai “harga mati”. Lho, memangnya kenapa?
Begini ceritanya….
Beberapa waktu lalu kantor tempat saya bekerja kedatangan seorang tamu. Dia adalah dr Elly Lasut, Bupati Talaud. Talaud adalah salah satu kabupaten di Indonesia yang berada di utara Sulawesi Utara. Saya menyimak betul ceritanya mengenai Pulau Miangas dan Marore, pulau-pulau terluar yang berada di ujung paling utara Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan Filipina.Dalam salah satu penggalan ceritanya, Bupati Lasut menceritakan bagaimana saudara-saudara kita warga Miangas jika menghadapi ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah daerah setempat selalu menggertak dengan cara mengibarkan Bendera Filipina. Cara ini sungguh menyakitkan, bukan?
Ada lagi, waktu Presiden BJ Habibie dengan legawa meletakkan jabatannya selaku Presiden RI dengan alasan tidak memiliki mandat konstitusi yang cukup selepas Presiden Soeharto menyatakan “berhenti”, sebagai tanda kecewa Saudara-saudara kita di Makassar mengibarkan bendera “Sulawesi Merdeka”. Ini juga tak kalah menyakitkannya.
Data georgrafis memang tidak bisa dipungkiri. Sebagai contoh, ada tiga pulau di Kabupaten Talaud, yakni Miangas, Marore, dan Marampit yang jarak ketiga pulau itu lebih dekat dengan Filipina (Selatan) ketimbang ibukota kabupaten di wilayah RI.
Karena lebih dekat ke Filipina, secara sosial dan budaya masyarakat setempat merasa lebih memiliki kedekatan dengan Filipina ketimbang Indonesia. Sebut saja, kebutuhan sehari-hari dan sarana telekomunikasi terpenuhi dari negeri Filipina. Bahkan bahasa yang dipergunakan sehari-hari pun Bahasa Tagalog.
Beberapa waktu lalu beredar peta pariwisata yang dikeluarkan pemerintah Filipina yang memasukkan Pulau Miangas, Marore, dan Marampit ke wilayah Filipina. Betapa tidak pekanya tetangga kita itu, bukan? Jauh-jauh sebelumnya, Pulau Natuna di utara Kepulauan Riau yang kaya gas dimasukkan ke dalam peta terbaru pemerintah komunis China. Ini lebih kurang ajar lagi, bukan?
Lantas, haruskah kita diam saja sebagai pemilik sah NKRI? Apakah tidak tertutup kemungkinan “Sipadan-Ligitan” berikutnya akan jatuh lagi ke negara-negara tetangga yang punya niatan tidak baik terhadap NKRI?
Jika kita tarik lebih tinggi lagi, saat ini 14 provinsi di wilayah NKRI, 40 kabupatennya berbatasan langsung (baik darat maupun laut) dengan 11 negara tetangga. Negara-negara tetangga itu adalah Malaysia, Papua Niugini, Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, China, dan Australia.
Kita sudah punya pengalaman buruk dengan Malaysia. Barangkali dengan Filipina dan China pun bisa terjadi bila kita tidak pernah peduli dengan pulau-pulau terluar milik kita, milik NKRI.
Sekarang saya menjadi paham mengapa ada elemen warga masyarakat yang masih meneriakkan NKRI sebagai “harga mati”.
Menurut Anda?
***
Tulisan sebelumnya: Indonesiaku [15] Terapkan Wajib Militer Biar Mental Tak Gampang “Ngeper”
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews