Hari ini berdengung soal Pak Dandim yang dicopot, dan masuk sel karena status medsos istrinya. Diwartakan sang istri Dandim bikin status 'nyinyir' terkait penusukan Pak Wiranto.
[Saya tak ingin menyatakan benar/salah soal peristiwa itu. Biarlah itu menjadi urusan institusi yang berwenang].
Tapi saya tergelitik untuk merespon pendapat netizen. Banyak yang menyayangkan Pak Dandim kehilangan jabatan, akibat 'ulah' istri. Ada juga netizen yang bersedih karena Pak Dandim kehilangan peluang menjadi jenderal, dan oportuniti lainnya. Seolah dunia akan kiamat.
[Sekali lagi, saya tak ingin menyatakan benar/salah soal peristiwa itu. Biarlah itu menjadi urusan institusi yang berwenang].
Saya ingin bicara dalam prespektif lain. Soal rizki manusia. Sebagian besar kita berpendapat bahwa pangkat, jabatan, uang itu termasuk rizki. Saya kira itu tak keliru juga. Tapi sebetulnya ada rizki yang paling besar: memiliki keinginan untuk dekat dengan Allah, Tuhan seru sekalian alam.
Saya ingin berbagi kisah pribadi. Bukan kisah orang lain. Tahun 2014, pasca membuat Tabloid Obor Rakyat, jabatan sebagai Komisaris di BUMN dan grup BUMN dicopot. Setidaknya saya kehilangan income tetap hampir 100 juta per bulan. Itu pendapatan resmi. Dan banyak teman menjauh, tak lagi mau mengangkat telpon. Bahkan WA pun tak berbalas.
Cuma itu? Tidak. Saya kemudian masuk penjara. Hakim menjatuhkan vonis setahun penjara. Saya disebut mencemarkan nama baik Pak Jokowi. Saya menjalani hukuman di LP Cipinang yang penuh sesak. Makin banyak teman yang menjauh. Meskipun ada beberapa teman sejati tetap datang. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Apakah dengan kondisi itu rizki yang menjadi jatah keluarga saya berkurang? Ternyata sama sekali tidak. Anak-anak saya tetap bersekolah, bergembira, dan berlebaran seperti biasa.
Lebaran di penjara itu seru kok. Istri saya tetap bisa berleha-leha di salon --meni pedi atau sekadar facial. [Sebab dialah pemilik salon itu!]. Anak-anak jalanan yang kami urus juga tak terputus. Semua kewajiban keuangan saya pun ada 'hamba Allah' yang menutupnya. Singkat kata, kata orang Kupang: sonde ada masalah, toh ...
Ada hal lain. Dulu, dengan sederet jabatan itu, anak-anak saya sering 'bermasalah'. Semuanya. Yang paling kasat mata yakni Si Bungsu kerap dirawat di rumah sakit. Hampir setiap bulan. Para perawat di lantai 6 ruang VIP Hermina Jatinegara hapal dengan wajah kami. Setiap opname menyedot uang sekitar Rp25 juta. Tapi kini hampir tak pernah terjadi. Asma dan sakit lambungnya hilang begitu saja.
Anak kedua dulu bikin pusing karena sekolahnya. Kini kami malah heran dengan prestasinya. Yang lebih aneh, sekarang baru tahu ternyata IQ-nya 142!
Sedangkan anak sulung sempat bikin pusing tujuh keliling karena mogok sekolah. Sekarang dia semangat, dan sudah punya cita-cita jurusan dan tempat kuliah nanti. Bahkan, pekan depan Si Sulung berangkat ke Australia, mengikuti program sekolah. Alhamdulillah!
Dan semua anak itu makin taat. Hafalan Qur'an makin baik. Tak seperti dulu.
Ada lagi rizki yang lain. [Semoga ini bukan bermaksud riya', hanya ingin berbagi kisah]. Dulu saya gemar berkumpul dengan para ahli maksiat. Banyak orang di sekitar saya yang gemar melakukannya. Ada juga yang masih menjalankan salat yang lima itu, tapi 'molimo' pun jalan juga. Saya kini [setidaknya berupaya keras] menjauhi itu semua. Terus terang saya tak lagi nyaman berada di lingkungan ahli maksiat. Dulu saya menggampangkan yang wajib. Kini, Ya Rahman, saya berduka jika tertinggal yang sunah.
Jadi, kalau ada yang berpendapat bahwa rizki Pak Dandim dan keluarga akan hilang karena pencopotan jabatan, saya berani bilang: Anda 1000% keliru. Rizki setiap mahluk itu dijamin Allah. Dengan, atau tanpa jabatan di pundak.
Saya teringat pesan Guru Bakhiet dari Barabai, Kalimantan Selatan: rizki terpenting itu bukanlah harta, melainkan keinginan untuk berdekatan dengan Sang Khalik. Dan jangan lupa, pangkat dan uang, tak melulu karunia. Bisa jadi itu justru istidraj!
Udah, gitu aja.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews