Kompas Inside [9] Luwi Iswara, Guru Jurnalistik Kami

Sepulangnya dari Negeri Kiwi ini, Luwi berturut-turut menjadi editor Desk Kota, koordinator liputan ekonomi, editor Desk Artikel, dan terakhir penanggung jawab Desk Malam.

Sabtu, 4 Januari 2020 | 07:17 WIB
0
1071
Kompas Inside [9] Luwi Iswara, Guru Jurnalistik Kami
Luwi Iswara (Foto: pepih Nugraha)

Bertemu seorang guru ibarat menemukan cahaya terang di ujung gelapnya sebuah lorong. Mungkin pengandaian ini berlebihan, tetapi itu yang saya rasakan saat bertemu guru jurnalistik saya, Luwi Iswara, usai prosesi pemakaman rekan senior wartawan Harian Kompas, Rudy Badil, beberapa waktu lalu. 

Setiap wartawan Kompas yang diangkat menjadi karyawan Kompas-Gramedia pada kurun waktu 1987-1998 sudah pasti mengenal sosok wartawan senior yang satu ini, Luwi Ishwara. Selama kurun waktu 11 tahun itulah Luwi menjadi "kepala sekolah" untuk pendidikan khusus wartawan Kompas yang berlangsung selama setahun penuh.

Karena berlangsung satu tahun antara teori dan praktik, ada seloroh yang mengatakan semua wartawan Kompas paling tidak lulusan S1+D1. 

Karena saya baru masuk penggodokan akhir 1994 atau sepanjang tahun 1995, saya pun masih merasakan godokan Luwi selaku "kepala sekolah" (bukan hanya mengajar "day to day") kami di Palmerah Selatan, sebutan untuk kantor Redaksi Harian Kompas. Selama penyampaian teori, Luwi didampingi "Wakepsek", Rumhardjono, yang kini sudah almarhum.

Luwi lebih menekankan pada jurnalistik dasar yang harus dikuasai wartawan. Jargonnya yang paling keras adalah "straight, straight, dan straight" dalam menulis berita. Sedang dalam hal penulisan yang paling ditekankannya adalah "akurasi, akurasi, dan akurasi".

Luwi paling menekankan bahwa fakta itu suci saking tidak boleh ditmbahkan atau dikurangi. Istilah Facts are sacred atau Gods given fact atau The news that we can use, adalah istilah-istilah yang saya pulung darinya dan saya bagikan ke mana-mana saat memberi pelatihan.

Pengetahuan dan pengalaman Pak Luwi, demikian kami biasa memanggil, demikian luas, khususnya menyangkut peristiwa-peristiwa besar jurnalistik seperti kisah-kisah para pemenang Pulitzer dan apa yang mereka tulis.

Jurnalis senior kelahiran Pamanukan, Jawa Barat, 5 Juni 1938 ini berbicara bahasa Indonesia dengan logat Sunda yang kental. Sesekali istilah Sunda ke luar saat bercakap-cakap.

Dari database penulis Penerbit Buku Kompas (PBK) yang saya baca kemudian, saya menjadi paham, Luwi dibesarkan berpindah-pindah antara di Jakarta dan di Bandung di mana pendidikan dasarnya dijalani di Lagere School di Jakarta yang pada tahun terakhir pendidikan diubah menjadi Sekolah Rakyat. Luwi kemudian masuk ke Canisius College (CC) di Jakarta tahun 1953-1959. Di situ Luwi menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

Pada tiga tahun terakhir pendidikan menengahnya itu, Luwi tinggal di asrama CC karena keluarganya pindah kembali ke Bandung. Luwi kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dan lulus pada saat Orde Lama tumbang tahun 1965.

Saya tidak paham mengenai pendidikan Luwi jika tidak menemukan database ini belakangan. Tetapi saat pendidikan itu, ia memang sangat paham persoalan hukum, sebab saat ia bergabung dengan Kompas pada tahun 1967, ia bertugas sebagai wartawan di pengadilan.


Saya dan guru jurnalistik, Luwi Iswara

Harian Kompas sendiri berdiri 28 Juni 1965. Luwi kemudian merangkap meliput masalah pertahanan dan keamanan karena rekannya, wartawan hankam, Theodore Purba, mendadak meninggal dunia. Dari liputan pengadilan dan hankam, Luwi kemudian ditugaskan untuk meliput masalah-masalah Departemen Pekerjaan Umum yang waktu itu dipimpin Ir. Sutami (1928-1980).

Saat menyampaikan materi, Luwi tidak pernah menunjukkan buku yang dibahasnya. Dia melengkapi materinya berupa oret-oretan tangan dari beberapa buku. Namun saat disampaikan, ia tak lupa menyebutkan dari buku apa pendapatnya itu diambil sehingga usai pemaparannya, saya biasa biasa berburu buku yang dimaksud di Pusat Informasi Kompas yang bebas diakses oleh peserta pendidikan jurnalistik Kompas.

Luwi paham sejarah pers bahkan sejarah Pulitzer. Hal yang paling menancap dalam ingatan sampai saat ini adalah contoh jelek pemenang pulitzer yang terpaksa mengembalikan hadiahnya itu karena terbukti laporannya tentang anak bernama Jimmy yang kecanduan narkoba itu fiktif belaka.

Si wartawan yang mengarang bebas itu bernama Janet Cooke yang namanya masih saya ingat sampai sekarang. Karena menipu pembaca, maka Cooke mengembalikan hadiah Pulitzer dan namanya menjadi contoh buruk jurnalisme. "Kalian jangan seperti si Janet  Cooke ini, ya!" pesannya.

Secara khusus Luwi memang mempelajari jurnalisme, terutama setalah pada tahun 1973 dalam rangka Colombo Plan, sebuah organisasi ekonomi internasional bagi pengembangan ekonomi dan sosial di negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik, Luwi dikirim ke Wellington, Selandia Baru, untuk secara khusus mempelajari jurnalisme.

Sepulangnya dari Negeri Kiwi ini, Luwi berturut-turut menjadi editor Desk Kota, koordinator liputan ekonomi, editor Desk Artikel, dan terakhir penanggung jawab Desk Malam. Meski sudah pensiun, Luwi tetap didapuk sebagai tutor utama dalam pendidikan jurnalistik Kompas dan sering berkeliling ke daerah menemui biro-biro Kompas.

Saat saya bertugas di Surabaya sebagai wakil Kabiro Kompas tahun 2004, Luwi datang ke kantor biro sambil membawa buku We Media karangan Dan Gillmor. Dia selintas bercerita mengenai isi buku itu sambil mengingatkan, "Wartawan sekarang harus lebih siap, jangan sampai kalah sama warga biasa yang jadi citizen journlist!"

Semula saya kurang perhatian. Namun soal buku, saya penasaran. Saya kemudian mencarinya saat ada kesempatan ke Jakarta dan di PIK buku itu saya temukan. Saya meminjamnya dan membacanya hingga lumat, sampai kemudian dari buku yang saya baca itulah lahir banyak artikel mengenai blog, blogging, citizen journalism, dan media baru yang saya tulis di Harian Kompas. Untuk urusan ngeblog, saya kalah dari istri yang sudah memilikinya sejak saya bertugas di Makassar meski istri saya itu tidak membaca buku Gillmor.

Karena Luwi, karena buku yang ditunjukannya itu pula, saya terbuka pada dunia media digital yang saya yakini akan menggantikan koran cetak. Pada tahun 2008 saya ditugaskan di Kompas.com sebagai media digital/online milik KG dan pada tahun itu pula saya mulai bereksperimen dengan mendirikan blog sosial bernama Kompasiana. 

Luwi Ishwara yang menikah dengan teman sekantornya, Helen Ishwara, dan dikaruniai dua anak, Gita (1976) dan Rama (1981), menulis satu-satunya buku yang sampai sekarang menjadi panduan wartawan baik pemula maupun senior, yakni Jurnalisme Dasar.  

Sedangkan dari buku yang diperkenalkan Luwi dan karena konsentrasi mengurus blog sosial yang menampung tulisan warga, maka lahirlah beberapa buku yang saya tulis antara lain Citizen Journalism (PBK, 2012), Menulis Sosok (PBK, 2013), dan Kompasiana Etalase Warga Biasa (Gramedia Pustaka Utama, 2014).

Terima kasih, guru! Terima kasih, Pak Luwi! 

Amal Pak Luwi akan terus mengalir dan saya terbiasa menggelontorkan ilmu yang pernah saya dapatkan dari Pak Luwi kepada orang lain dalam sejumlah pelatihan jurnalistik dan menulis berita.

***

Tulisan sebelumnya: Kompas Inside [8] Joseph Widodo