Bahwa sebenarnya Twin City itu tidak membebaskan lahan, tapi konsep reklamasi, sehingga tidak perlu membebaskan lahan, terutama di kaki Surabaya.
Badan Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) bersikeras menolak untuk dibubarkan. Meski mengakui kinerjanya lamban, BPWS sudah bekerja dalam membangun di wilayah Suramadu. Hal itu ditegaskan Plt Sekretaris BPWS Sidik Wiyoto.
“Kami fokus ke Madura ketimbang Surabaya,” kata Sidik Wiyoto ketika dihubungi Radar Surabaya melalui telepon selulernya, Selasa (26/11/2018). Kabarnya, BPWS akan berubah menjadi Badan Pengembangan Wilayah Madura (BPWM).
Dikatakannya, pada 3 Februari 2016 Presiden Jokowi menggelar sidang terbatas dengan BPWS, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan juga Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM).
Dalam rapat tersebut, Presiden Joko Widodo menyetujui permintaan Walikota Surabaya Tri Rismaharini untuk dilakukan revisi Perpres 27 Tahun 2008, dengan menghapus kewenangan mengelola lahan di sisi Surabaya.
Namun hingga kini surat revisi tersebut belum juga dikirim Menpan RB yang lama (Asman Abnur) tidak juga mengirimkan revisi tersebut ke Presiden Jokowi. “Bahkan sebelum ia mengundurkan diri dua bulan yang lalu sempat mengirim surat ke Presiden Jokowi minta agar BPWS dibubarkan,” jelasnya.
Mengetahui hal tersebut, Sidik mengaku protes dan sempat beberapa kali menanyakan hal ini kepada Kemenpan RB. Ia juga menyayangkan sikap Gubernur Jatim Soekarwo saat itu yang ikut mengusulkan pembubaran BPWS.
“Alasannya apa kalau dibubarkan, toh Kemenpan RB belum pernah melakukan peninjauan ke lokasi. Kalau Pakde Karwo (Gubernur Jatim, Red) seharusnya tidak begitu, sebaiknya kita dipanggil dulu untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya,” ujarnya.
Sidik mengaku memang terkesan lambat dalam mengembangkan kaki Suramadu. Ini juga disebabkan adanya pengaruh figur tokoh kuat di Madura. “Kami mulai bekerja sekitar tahun 2016. Karena terhambat proses pembebasan lahan,” ungkapnya.
“Tahun 2015 kami minta dukungan Bupati Bangkalan saat itu Moh. Makmun Ibnu Fuad akhirnya membantu pembebasan lahan 30 hektar dari 1200 hektar yang diperlukan,” kata Sidik.
Menurutnya, Gubernur Jatim sudah pernah mengirimkan surat ke Menteri Perekonomian usulan agar Madura diperhatikan dan masuk ke dalam Program Strategi Nasional (PSN). “Kalau pembangunan Tol dan waduk bisa masuk PSN, kenapa Madura tidak,” ujarnya.
Sidik mengatakan, BPWS sudah melakukan beberapa hal seperti membangun rest area di sekitar Suramadu yang memasuki tahap ketiga. Selain itu tahun lalu pihaknya membangun sentra PKL di kawasan pintu keluar Suramadu.
“Kami juga membangun anjungan Madura. Kami yakin tahun 2019 sudah bisa difungsikan,” katanya. Sebelumnya, Walikota Risma meminta agar BPWS dibubarkan. Risma menilai, keberadaan lembaga tersebut tak memberi manfaat yang signifikan.
Sebaliknya, BPWS sempat berencana menggusur warganya dengan alasan pengembangan infrastruktur. Salah satu dampaknya ialah banjir di sekitar Jembatan Suramadu.
“Kemarin-kemarin itu mereka (warga) sudah mau menutup Jembatan Suramadu karena komplain banjir,” kata Risma seusai menjadi pembicara Urban Social Forum di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya.
Risma mengaku telah membuatkan saluran air di sekitar Jembatan Suramadu, sehingga warga pun mengurungkan niat mereka menutup jembatan itu. Risma mengaku sudah menghubungi Sekretaris Kabinet Pramono Anung untuk mewujudkan rencana pembubaran BPWS itu.
“Sudah ada komunikasi dengan beliau sejak beberapa waktu lalu,” ujarnya. Risma berharap, hal yang disampaikannya segera direspons positif oleh pemerintah pusat. “Karena kasihan masyarakat pinggiran itu,” ungkap Risma.
“Jangan sampai pembangunan itu mengorbankan masyarakat marjinal,” lanjutnya. Protes Risma itu kemudian berujung pada dicabutnya wewenang BPWS untuk mengembangkan kawasan di kaki Suramadu sisi Surabaya oleh Presiden Jokowi.
Kabag Humas BPWS Faizal Yasir Arifin mengatakan, pihaknya sebelumnya sudah berusaha mengajak komunikasi Walikota Risma, tetapi responsnya selalu negatif. Padahal, “Kami juga ingin memberikan dampak positif bagi masyarakat,” katanya.
Sekjen Komunitas Adat Madoera Tempo Doeloe (MTD) Harun Al Rasyid menyebut bahwa statement dan kebijakan Risma menunjukkan arogansi sikap pemimpin. “Statement Walikota Risma sekaligus sangat menyinggung kepentingan nasional Madura,” ujarnya.Hal itu menunjukkan keterbatasan pemahamannya sebagai seorang pemimpin yang tidak tahu secara utuh mengapa Jembatan Suramadu tersebut dibangun. “Bahkan, dia tidak sadar bahwa penduduk Surabaya mayoritas adalah masyarakat Madura,” tegas Harun Al Rasyid.
Dengan keluarnya Surabaya atas usulan Risma, menurutnya, “itu lebih baik” supaya BPWS yang nantinya akan menjadi BPW-Madura fokus untuk mengembangkan dan membangun Madura untuk kepentingan mengangkat Madura.
“Madura bisa segera lepas dari keterbekakangan, kebodohan, kemiskinan, serta akan menjadi backbone atau tulang punggung kebangkitan ekonomi regional dan nasional seperti cita-cita Pak Noer yang namanya diabadikan sebagai nama Jembatan Suramadu,” ujarnya.
Harun Al Rasyid mengakui, kegagalan BPWS selama 2 periode karena lemahnya leadership. BPWS tidak pandai mengambil hati para tokoh masyarakat dan ulama Madura. Terpenting, “BPWM tugasnya nanti tanpa mengenal lelah silatutrahmi,” katanya.
BPWM mensosialisasikan dan membangkitkan semangat para tokoh untuk membangkitkan seluruh kekuatan Madura agar keluar dari keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan dengan mengelola sebaik mungkin SDA Madura yang memiliki nilai sangat tinggi.
Sebelumnya ada konsep Twin City, kota kembar yang ada di kaki Suramadu sisi Surabaya dan Madura, yang waktu itu akan dikembangkan. Namun, rupanya Risma tidak tahu atau tidak paham seutuhnya dengan konsep Twin City tersebut.
Bahwa sebenarnya Twin City itu tidak membebaskan lahan, tapi konsep reklamasi, sehingga tidak perlu membebaskan lahan, terutama di kaki Surabaya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews