Sejak hari itu, Ibu Tien dan koleganya punya kesibukan baru yakni mewujudkan sejumlah gagasan yang diyakininya turut membantu pemerintah dalam mengangkat derajat dan masrtabat serta kesejahteraan rakyatnya
28 April 2021, genap seperempat abad Ibu Tien Soeharto wafat, dalam usia 73 tahun. Beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir pada dini hari menjelang Idul Adha di RSPAD Gatot Soebroto akibat serangan jantung.
Penerima gelar Pahlawan Nasional tahun 1996 bernama lengkap Raden Ayu Hajah Siti Fatimah Hartinah Soeharto itu dimakamkan keesokan harinya di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah dengan upacara kenegaraan. Ya, Almarhumah adalah isteri Presiden RI, HM Soeharto.
Saya berkesempatan menulis dua buku tentang wanita istimewa berjuluk Ibu Utama Indonesia itu. Pertama, Ibu Tien Soeharto dan Prangko - Jejak Kepedulian Ibu Tien Soeharto terhadap Prangko (1997) dan Kedua, 50 Tahun Yayasan Harapan Kita- Melanjutkan Harapan untuk Indonesia (2018).
Kesempatan menulis buku yang pertama datang dari Menteri Parpostel Joop Ave, yang mencari penulis filateli untuk buku pelengkap penerbitan prangko seri Ibu Tien Soeharto yang bakal terbit setahun setelah Ibu Tien wafat. Boleh jadi, Direktur Utama PT Pos Indonesia, Cahyana Ahmadjayadi, saat itu teringat dengan saya yang sering mondar-mandir menemuinya kala mengurusi copywriting prangko-prangko yang akan terbit.
Jadilah saya yang diusulkan. Entah bagaimana, Pak Joop juga menyetujui. Saya hanya diberi waktu enam bulan untuk menyelesaikan buku itu.
Sebelas tahun kemudian, kesempatan menulis buku yang kedua datang dari Mbak Tutut, demikian panggilan akrab Hj. Siti Hardiyanti Rukmana, puteri sulung pasangan Pak Harto- Ibu Tien Soeharto. Lagi-lagi, boleh jadi karena kebetulan saya pernah mondar-mandir menghadap Mbak Tutut ketika bersama empat sahabat saya; Mbak Donna Sita Indria, Mas Dwitri Waluyo, Mas Bakarudin, dan Mbak Ambarwati) tengah menulis buku Pak Harto the Untold Stories.
Mungkin yang terlintas dalam pikirannya adalah nama saya, ketika sedang mencari penulis buku untuk sejarah setengah abad Yayasan Harapan Kita, salah satu peninggalan luar biasa Ibu Tien Soeharto.
Jadilah saya disetujui untuk menulis buku dimaksud. Lagi-lagi, saya hanya diberi waktu enam bulan untuk menyelesaikan buku itu.
Suatu waktu, tepatnya tahun 1981 digelar Jambore Nasional Gerakan Pramuka Indonesia di Cibubur, Jakarta Timur. Seperti kegiatan pramuka lainnya, Ibu Tien dan Pak Harto senantiasa membuka perhelatan akbar dalam rangka pembinaan karakter generasi muda itu.
Saat itu Ibu Tien menyempatkan datang ke lokasi pameran filateli yang digelar turut menyemarakkan jambore. Memang, anggota Pramuka kala itu didorong untuk juga gemar mengoleksi prangko, sebagai bagian dari nation & character building.
Terbersit dalam benak Ibu Tien sebuah gagasan. Mengapa tidak, dibangunkan sebuah museum di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang tengah dikelolanya. Museum bukan sembarang museum, tapi museum prangko, yang di dalamnya menyajikan segala hal tentang prangko, termasuk aneka ragam prangko yang pernah diterbitkan Indonesia dan dunia.
Tak hanya itu, ia mengandaikan kelak para filatelis muda ini bisa secara berkala berpameran di museum tersebut.
Ibu Tien bukan sembarang wanita. Baginya setiap gagasan yang baik bagi kemaslahatan orang banyak tak akan ragu untuk diwujudkan. Demikian pula gagasan tentang museum prangko. Tak lama kemudian, pengelola TMII bekerja sama dengan Deparpostel dan Perum Pos dan Giro (kini PT Pos Indonesia) membentuk panitia pembangunan museum.
TMII menyediakan lahan di kompleks dan pihak Deparpostel dan Perum Pos dan Giro yang membangun dan menyediakan kontennya. Selama proses pembangunannya Ibu Tien diketahui aktif memberikan saran dan petunjuknya, bahkan tak jarang turun ke lapangan untuk melakukan inspeksi.
Pada 29 September 1983 Museum Prangko Indonesia (MUPI) diresmikan oleh Presiden Soeharto. Harus diakui, tak banyak negara yang memiliki museum prangko sendiri, bahkan di Asean jejaknya baru dapat diikuti oleh Singapura pada beberapa tahun kemudian. Bagi kalangan pengumpul prangko di Indonesia kehadiran MUPI sangat berarti dan menjadi target prestise bagi mereka untuk bisa berpameran di sana.
Itulah intisari dari buku Ibu Tien Soeharto dan Prangko. Tentu saja, diuraikan pula kisah hidup puteri bangsawan Puri Makunegaran-Solo itu sejak masa remaja hingga akhir hayatnya. Dan untuk keperluan itu saya mesti melakukan riset, membaca sejumlah buku dan dokumen, serta mewawancarai berbagai pihak yang kompeten.
Hasilnya, sebuah buku setebal 68 halaman dengan kertas fancy paper dicetak full color, dikemas hardcover plus jaket berwarna merah marun. Pada sampul dimuat sekuntum melati, bunga favorit Ibu Tien bersama sekeping souvenir sheet prangko seri Ibu Tien Soeharto.
Buku ini berhasil terbit tepat waktu, dan menjadi pelengkap dari peluncuran prangko seri dimaksud pada 5 Agustus 1997. Bersama itu pula diluncurkan sampul peringatan, souvenir sheet serta sejumlah benda filateli lainnya.
Saya harus mengakui, semakin saya membaca banyak dokumen tentang Ibu Tien Soeharto, semakin saya menjadi kagum dan hormat kepadanya. Betapa tidak, seorang ibu rumah tangga yang berpendidikan tidak terlalu tinggi di tahun 1968, ya di tahun 1968, ketika itu usia beliau baru 45 tahun, telah mengembangkan sejumlah gagasan tentang bagaimana bangsanya berperadaban tinggi.
Memang, ada orang-orang di sekelilingnya yang bisa jadi menjadi pemantik gagasan-gagasan itu. Tapi, tetap saja gagasan hanya tinggal gagasan yang berlintasan di kepala seseorang, tak akan mewujud tanpa ada kemampuan dan kesungguhan untuk menurunkannya dalam bentuk kerja peradaban dengan segala dinamikanya. Ibu Tien Soeharto sedikit dari kaum wanita Indonesia yang dapat melakukannya.
Ada juga faktor suami, tapi saya melihat kekuatan diri sang ibu rumah tangga itu sendiri yang sangat menentukan. Itulah hikmah yang saya peroleh ketika menulis buku 50 Tahun Yayasan Harapan Kita (2018).
Pada 23 Agustus 1968 Ibu Tien merayakan ulang tahunnya yang ke 45, ada kemeriahan kecil di Jalan Cendana 17, tak jauh dari rumah tinggalnya di Jalan Cendana No.8 Jakarta. Hadir dalam kemeriahan itu Presiden Soeharto bersama sejumlah pejabat pemerintahan beserta istri masing-masing. Acaranya gunting pita dan syukuran. Pengguntingan pita dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu menjabat Menko Ekuin.
Ya, hari itu Ibu Tien mendapat kado ulang tahun yang istimewa. Bukan busana mewah atau perhiasan mahal, tapi organisasi yang digagasnya bersama sejumlah ibu rumah tangga resmi berdiri. Dan sebuah kantor operasional resmi digunakan. Organisasi itu diberi nama Yayasan Harapan Kita (YHK), dengan Ibu Tien sebagai ketua, Ibu Zaleha Ibnu Sutowo sebagai wakil ketua, Ibu Noeke Sri Dewanti Muhono sebagai sekretaris, dan Ibu Maemoenah Alamsyah sebagai bendahara, serta yang lainnya sebagai anggota
Meski seluruh pengurus YHK adalah kaum wanita, namun mereka tetap memberi ruang dan penghormatan kepada kaum pria, dalam hal ini para suami, untuk menjadi pembina dan pelindung yayasan. Salah satunya, Pak Harto tercatat sebagai pelidung Yayasan.
Dalam akta yayasan dimuat bahwa tujuan YHK ialah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam arti seluas-luasnya, dengan mengembangkan tiga usaha yakni: pengabdian berupa bantuan moril dan materil kepada instansi dan lembaga yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan rakyat; mendirikan bangunan dan rumah yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan, peraturan-peraturan, dan hukum negara yang berlaku.
Sejak hari itu, Ibu Tien dan koleganya punya kesibukan baru yakni mewujudkan sejumlah gagasan yang diyakininya turut membantu pemerintah dalam mengangkat derajat dan masrtabat serta kesejahteraan rakyatnya. Dimulai dengan membangun sarana yang menampung para penyandang cacat untuk dilatih sejumlah keterampilan agar bisa hidup mandiri. Gedung Swa Prasidya Purna (1969) ini berlokasi di Cempaka Putih, Jakarta.
Kerja peradaban berikutnya ialah membangun Taman Mini Indonesia Indah (1975) yang fenomenal itu, Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita (1979), Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (1985), Gedung Perpustakaan Nasional (1989), hingga Taman Anggrek Indonesia Permai (1993)serta beberapa lagi yang lain. Dalam buku itu saya mengulas semua karya- karya tersebut secara mendalam, termasuk dinamika yang terjadi selama proses pembangunan TMII.
Yang menarik, pada setiap karya tersebut, YHK menerapkan sebuah model pembangunan, dimana dari gagasan, penggalangan dana, proses pembangunan, hingga peresmiannya dilakukan sepenuhnya oleh YHK, dan selanjutnya karya itu diserahkan kepada Pemerintah. Khusus untuk TMII, Pemerintah memang menerima penyerahan tersebut namun kemudian YHK diminta mengelola, karena saat itu gagasan besar Ibu Tien tentang TMII belum sepenuhnya rampung.
Pada sisi lain, Pemerintah tidak ingin dibebani secara operasional dari TMII yang orientasinya lebih ke Social Education dengan mengutamakan tiket murah lagi terjangkau bagi orang kebanyakan.
Demikianlah, buku setebal 186 halaman itu akhirnya berhasil saya persembahkan tepat pada peringatan hari jadi ke-50 Yayasan Harapan Kita yang digelar meriah di Sasono Utomo -TMII.
Ada sebuah petikan pesan yang sangat bermakna dari Ibu Tien Soeharto kepada Mbak Tutut yang dimuat dalam buku itu. Suatu saat Mbak Tutut yang baru berusia 26 tahun tengah mengagumi karya-karya sang ibu dan bertanya: "Alhamdulillah Ibu sudah berhasil mewujudkan gagasan yang hebat ini. Apakah saya juga akan dapat melakukan hal-hal yang luar biasa suatu saat nanti?"
Mendapati pertanyaan putri sulungnya itu, setelah sedikit menjelaskan tentang kebesaran negara dan bangsanya, Ibu Tien berkata: "Wuk, menurut Ibu setiap warga negara sedapat mungkin memberikan sumbangsihnya kepada bangsa. Tidak apa-apa meski hanya setitik saja. Yang penting berguna sebagai bagian dari pembangunan bangsanya." Sebuah pesan yang menurut saya masih sangat relevan untuk saat ini dan masa datang.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews