Catatan Biasa Orang Biasa [20] Ujian Akhir, Galunggung Meletus

Pelaksanaan ujian lancar. Meskipun siang harinya disambut letusan lagi. Besoknya, saya lihat foto suasana ujian dengan lilin terpampang di halaman koran Pikiran Rakyat.

Minggu, 1 Agustus 2021 | 08:05 WIB
0
207
Catatan Biasa Orang Biasa [20]  Ujian Akhir, Galunggung Meletus
Gunung Galunggung saat meletus tahun 1982 (Foto: Grid.id)

Hari Senin tanggal 5 April 1982. Pagi itu saya akan berangkat sekolah. Bapa juga sudah bersiap dengan Vespa PX 150-nya. Tapi di langit barat terlihat asap hitam membumbung tinggi. Menggumpal-gumpal tidak seperti biasanya. Semakin lama semakin menjulang, semakin tebal. Pemandangan ke arah barat itu sangat jelas dari rumah saya. Masih tanda-tanya, belum jelas apa yang terjadi.

Beberapa saat kemudian sirine melengking dari Lapangan Udara Cibeureum. Suasana merangkak tegang. Bapa mencari gelombang radio Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya (Sturada). Penyiar sedang mengulang-ulang “breaking news”, yang menyebutkan Gunung Galunggung meletus pada sekitar pukul 02.00 Senin pagi. Disusul muntahan lava, abu, kerikil dan asap tebal. Masyarakat diminta untuk waspada.

Saya memutuskan berangkat ke sekolah. Karena ada jadwal ulangan. Saya berpikir, Gunung Galunggung jaraknya jauh di sebelah barat pusat kota Tasik. Apalagi tidak terdengar suara-suara menakutkan. Hanya asap saja yang mengepul terus-menerus. Ada pemandangan kontras. Di arah barat langit bertambah hitam seperti akan hujan. Sementara di timur, sinar matahari terang benderang.

Sepanjang perjalanan orang-orang berkerumun di jalanan, menyaksikan gumpalan asap. Pemandangan yang baru kali ini terjadi. Seperti biasa Bapa mengantar saya hingga Terminal Pancasila. Sisanya berjalan kaki ke sekolah yang berjarak sekitar 900 meter ke arah barat. Bapa melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju SD Angkasa, tempatnya mengajar.

Di sekolah ramai dibicarakan tentang fenomena asap tebal itu. Informasi Galunggung meletus sudah beredar. Wajah-wajah cemas menyeruak pada pagi yang suram itu. Bel tanda masuk pelajaran pertama berbunyi, tanda para siswa harus segera berbaris di lapangan basket untuk upacara rutin hari Senin.

Pak Sambas, Kepala Sekolah, bertindak sebagai Pembina upacara. Dia menyampaikan kabar tentang Galunggung. Kemudian memberi wejangan agar semua waspada dan menjaga keselamatan. Pak Sambas belum selesai bicara, tiba-tiba dari arah depan sekolah ada sedikit keributan dan terdengar kata-kata, “Galunggung bitu…. Galunggung bitu!”

Sontak saja semua siswa peserta upacara berhamburan meninggalkan lapangan. Guru-guru tidak mampu mengendalikan orang-orang yang panik itu. Sebagian siswa ada yang sempat mengambil tasnya di kelas, sebagian lagi langsung berlarian ke luar lingkungan sekolah. Saya termasuk yang sempat menyambar tas yang tergolek di meja dalam kelas. Asap terus membumbung tinggi.

Berhari-hari, siang menjadi gelap akibat hujan kerikil, debu dan pasir halus. Sekolah pun diliburkan, toko-toko dan sejumlah kantor pemerintahan tutup. Bangunan, jalanan, kendaraan dan pepohonan kotor diselimuti material letusan. Jarak pandang menjadi terbatas, mungkin sekitar 25 meter. Orang-orang beraktivitas menutup tubuhnya dengan plastik atau kertas koran. Kondisi itu juga terjadi di Garut dan Bandung.

Dibantu cahaya lilin

Dari hari ke hari, letusan Gunung Galunggung terus terjadi dan mengeluarkan suara menggelegar. Tentu saja kondisi ini menimbulkan kecemasan bagi kami yang tidak lama lagi akan menempuh ujian akhir SMP. Belajar di sekolah disesuaikan dengan keadaan. Jika terjadi perkembangan yang mengkhawatirkan, pihak sekolah mengakhiri kegiatan lebih cepat.

Dalam suasa seperti itu, kami juga tetap melakukan latihan teater, yang akan dipentaskan pada seleksi untuk acara perpisahan. Suatu malam, kami berlatih di sekolah. Ada sembilan orang yang hadir, saya, Budhi Suhastian Budhi Planner, E Suherlan, Mochammad Djohan Iqbal, Rudy Suradi, Tedy Wardiana Te War, Gun Gun Priasetia, Herdis Suharman, dan Yayan Barlian Bahrum. Ketika sedang seru-serunya adegan berlangsung, sekitar pukul 21.00 terdengar suara gemuruh diselingi dentuman.

Kami saling pandang, lalu berlari menuju tempat terbuka. Terlihat kilat menyambar-nyambar di langit barat. Api menyembur berulang-ulang, menimbulkan warna merah menyala. Kami pun sepakat membubarkan diri, pulang ke rumah masing-masing. Beruntung ada ojek yang mau mengantar pulang. Hujan kerikil, debu dan pasir halus kembali terjadi.

Sesampainya di rumah, terus menonton “pertunjukan alam” yang indah itu dari halaman rumah bersama warga lainnya hingga pukul 02.00 pagi. Kilat yang menyambar dan semburan api seperti itu, diabadikan para fotografer. Hasilnya, ada yang menghiasi halaman koran, ada pula yang dicetak dalam ukuran besar, dibingkai sedemikian rupa dan dijual.

Letusan-letusan masih terjadi. Suasana masih belum aman. Puluhan ribu warga yang berasal dari daerah sekitar Galunggung, mengungsi di berbagai tempat di dekat pusat kota Tasikmalaya. Anggota Pramuka SMPN 2 melakukan kerja sosial di sejumlah tempat pengungsian itu. Membersihkan lokasi dari sampah, mengambilkan air bersih dan mengajak bermain pengungsi anak-anak.

Tanggal 17 Mei 1982. Malam menjelang ujian akhir sekitar pukul 21.00, Galunggung kembali meletus. Berdentum. Rasanya ini lebih dahsyat dari sebelumnya. Hujan pasir dan debu berlangsung lebih lama. Suara kilat dan gemuruh terdengar, ditingkahi suara genting dan pepohonan yang dihujani kerikil dan pasir. Api memerah di barat.

Pukul 06.30 esoknya, letusan terjadi lagi. Awan tebal membumbung lagi. Di halaman rumah, pasir dan debu sudah setebal 3 cm. Orang-orang kembali panik. Saya sebetulnya ragu untuk berangkat ke sekolah. Tapi hari ini adalah hari penentuan, ujian akhir sekolah. Selain itu, tidak ada pengumuman dari pemerintah untuk mengundurkan waktu ujian.

Saya pun berangkat diantar Bapa. Suasana di sekolah benar-benar seperti malam. Lampu-lampu dinyalakan. Namun lampu di beberapa di kelas tidak cukup terang. Karena itu pihak sekolah menyediakan lilin, untuk membantu agar siswa bisa membaca soal lebih jelas.

Seharusnya ujian dimulai pukul 08.00. Akan tetapi karena persoalan teknis seperti itu, ujian baru dimulai satu jam kemudian. Pelaksanaan ujian lancar. Meskipun siang harinya disambut letusan lagi. Besoknya, saya lihat foto suasana ujian dengan lilin terpampang di halaman koran Pikiran Rakyat.

***