Baim Wong dan Netizen Julid

Apalagi selebriti zaman now. Harus pintar membawa diri dan merapat ke lingkaran pergaulan elit penguasa. Ini bukan rahasia lagi.

Selasa, 23 Juni 2020 | 22:13 WIB
0
608
Baim Wong dan Netizen Julid
Baim Wong (Foto: industry.co.id)

Akhirnya latah juga bahas ini.

Apa yang dialami BW (Baim Wong) ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi. Mudik 2018 yang lalu bertepatan dengan Pilkada serentak. Saat itu, saking senangnya bisa pulang dan menggunakan hak pilih, saya posting di IG. Lengkap dengan jari kelingking berwarna ungu. Tak lupa dengan semangat membara akan perubahan kepemimpinan di Pemilu selanjutnya. Masih ingat tagar #2019ganti titik-titik itu, kan? 

Postingan itu menuai 1.000-an likes. Banyak komentar mendukung, tapi nggak kalah banyak yang menghujat.

"Oalah Mbak, selama ini kukira Mbak Icha netral. Ternyata ngomongin politik juga. Sayang selama ini postingannya bagus-bagus Unfollow, deh."

"2019 masih jauh, Mbak. Kok mimpi ganti presiden. Auto unfoll, ah."

Ada juga yang bersikap bijak.

"Aspirasi politik itu hak semua orang. Sampaikan aja, Mbak. Saya banyak mengambil manfaat kebaikan dari postingan Mbak selama ini."

Dapat puluhan komentar nyinyir aku langsung gemetar, kemudian jadi lapar. Aku memang selemah itu.

Selain komentar julid, ternyata hari itu saya juga kehilangan dua ratusan followers! Tambah laper kujadinya...

Padahal untuk orang biasa seperti saya, mengumpulkan follower satu demi satu itu nggak gampang. Konsisten posting resep dan hal-hal positif lain. IG memang saya jadikan ajang branding saya sebagai calon penulis dan home cook. Qodarullah, dari konsistensi berbagi resep di IG itulah saya dilirik oleh editor Gramedia, yang kemudian menghasilkan buku Kelana Rasa Mancanegara. Alhamdulillah.

Dari kejadian itu, saya jadi paham. Bahwa audiens IG saya belum sepenuhnya siap menerima perbedaan politik. Maka saya lebih hati-hati. Cukup posting yang aman-aman aja; makanan, plesiran, atau cerita keseharian.

Kalaupun terpaksa banget ngomongin politik, saya akan tulis dengan sangat "discreet", biar nggak terlalu kentara. Nggak main tagar yang aneh-aneh lagi. Nanti diserbu netizen julid, aku gemetar lagi.

Namun, tak seperti BW, postinganku yang cukup kontroversial itu masih ada, lengkap, tanpa kuedit apapun. Komentarnya pun tak ada yang kuhapus.

Jadi dalam hal ini aku masih sedikit lebih ksatria dibandingkan BW.

Bayangin, Gaess. Selebgram dan Youtuber yang follower-nya belasan juta aja sampe keder begitu digeruduk netizen. Sampai akhirnya bagian komentar dia tutup.

Ya maklum, cari makannya kan dari jempol netizen, ya.

Apalagi selebriti zaman now. Harus pintar membawa diri dan merapat ke lingkaran pergaulan elit penguasa. Ini bukan rahasia lagi.

Kehilangan followers untuk orang yang hidup dari platform digital adalah suatu hal yang menakutkan. Kebayang kemaren itu berapa ribu yang unfollow BW. Untung aja aku nggak latah ikut-ikutan unfollow. Lha wong dari awal memang nggak pernah follow. Wkwk.

Banyak pelajaran moral yang bisa kita ambil dari ucapan BW untuk sang presiden terbaik pilihannya.

Bahwa memuja seseorang itu jangan berlebihan. Apalagi yang dipuja "hanya" seorang politikus. Golongan orang yang rentan berpindah prinsip. Orang yang hobi obral janji, tapi jarang ditepati. Awalnya gencar kampanye untuk satu kubu, kemudian pindah kubu tanpa malu-malu. Tanpa perlu menjelaskan pada para pendukungnya.

Kalau mau ngefans, ya biasa aja. Nggak usah lebay. Nanti malah kompak diserang K**r*n dan C*b**g.

Ya Allah, tolongin Baim, Ya Allah...

Satu lagi.

Orang Indonesia ki pancen nggumunan. Gampang terpesona dengan fenomena selebriti.

Belum lama BW dipuja-puji karena menyumbangkan 15 M duitnya untuk membantu penanganan Covid-19. Sampai dibanding-bandingkan dengan konser BPIP yang penuh skandal ternyata kena zonk oleh buruh bangunan. Begitu BW menunjukkan aslinya, kebaikannya itu seketika lenyap tak berbekas.

Bintang Emon harus hati-hati. Sekarang dia dikagumi dan dibela (termasuk oleh saya). Tapi kalau nanti, seandainya...
Bintang Emon berbalik ngefans sama Lord Luhut, atau sohiban sama Gibran Rakabuming Raka, bisa ambyar dia.
Semoga nggak deh, ya.

Cukup Baim jadi pelajaran. Jadi orang jangan gampang kagum. Apalagi kalau kita cuma kenal dari pencitraan di medsos.
Catatan untuk diriku sendiri juga ini...

***