Kang T. Bachtiar: Sang Penulis, Sang Guru Bumi

Seorang Bachtiar adalah bahwa dia bukan sebatas penulis, bukan sebatas intelektual publik. Dia seorang yang menjadikan ilmu bumi (geografi) menjadi milik publik.

Jumat, 22 November 2019 | 04:31 WIB
0
490
Kang T. Bachtiar: Sang Penulis, Sang Guru Bumi
Buku T Bachtiar (Foto: Budhiana.id)

Minggu pagi yang cerah, saya gunakan waktu untuk membaca buku “Toponimi: Susur Galur Nama Tempat di Jawa Barat.  Penulisnya Kang Titi Bachtiar. Kang Bachtiar mengirim buku ini kepada saya pekan lalu ke kantor. Toponimi adalah telaah mengenai asal-usul penamaan sebuah tempat.

Membaca buku ini perasaan saya mendua: gembira dan sedih.

Gembira karena saya mendapat tambahan informasi tentang nama-naa tempat yang justru sehari-hari saya lewati. Misalnya, setiap hari saya lewati Jalan Buahbatu. Selama ini saya menyangka bahwa buah batu adalah kelapa. Namun dalam buku ini, Kang Bachtiar memastikan bahwa buah batu adalah pinang atau jambè dalam Bahasa Sunda. Jadi dahulu kawasan buah batu adalah tempat tumbuhnya pohon Jambe.

Nyaris setiap saat, saya juga melewati kawasan Cicadas, Dari buku ini juga saya paham bahwa kawasan yang sekarang namanya Cicadas itu dulu adalah daerah endapan abu dan awan panas akibat letusan Gunung Sunda. Gunung ini terbentuk sepanjang 250.000-105.00 tahun lalu. Gunung ini meletus berkali-kali. Ada tiga fase letusan gunung raksas ini yaitu fase plinian, freatomagmatik, dan ignimbrit.

Pada fase pertama, material yang dimuntahkan sebanyak 1,96 m kubik. Fase kedua, 1,71.  Nah…fase ketiga, 66 km kubik!! Material fase ketiga ini yang kemudian membendung Sungai Citarum sehingga terbentuklah danau purba Bandung. Material ini pula yang kemudian menutupi wilayah Cicadas sekarang. Ya karena abu dan awan panas itu kemudian menjadi cadas. Cicadas sendiri sekarang merupakan daerah padat, dan pernah dinobatkan sebagai daerah terpadat di duni. Kehidupan di sana memang keras seperti cadas.

Info-info lain dari buku ini adalah soal nama Cijawura, Bojongloa, Burangrang, Bugel, Cikapayang, Cikawao, Kalipucang, dan lain-lain. Kang Bachtiar juga memaparkan bahwa manusia menamakan daerahnya berdasarkan alam yang dilihatnya. Ada penamaan berdasarkan ronabumi, seperti kawasan Gentong di Kabupaten Tasikmalaya, misalnya. Nenek moyang kita melihat bentuk tanjakan itu seperti gentong. Lalu ada Jalan Sukajadi. Banyak orang salah sangka seolah-olah jalan itu berarti “suka dan menjadi”. Padahal, “jadi” dalam bahasa Sansakerta, juga adalah gentong. Ronabumi kawasan Sukajadi memang seperti gentong.

Nenek moyang kita dahulu menamakan sebuah kawasan berdasarkan gejala alam, nama tumbuhan, nama hewan atau peristiwa. Kang Bachtiar menjelaskan semuanya secara ringan dan menarik.

Nah, membaca buku ini juga saya merasa sedih. Bagaimana tidak, banyak tumbuhan dan hewan yang sudah tidak kita kenali lagi.

Ada yang tahu hewan anawadak? Pastinya jarang, termasuk saya.

Anawadak adalah itik gunung. Dalam bahasa Sunda, anawadak adalah hahayaman, ngaran manuk ranca, leuwih leutik batan kuntul. Dalam bahasa latin, anawadak disebut anas superciliosa. Tapi Anawadak adalah sebuah kawasan di Sumedang yang sekarang bernama Tanjungsari. Memang di kawasan itu dahulu ada situ tempat anawadak hidup. Adalah Daendels yang memindahkan ibukota Prakanmuncang ke Anawadak, dan berganti nama jadi Tanjung Sari. Nah tentu kita sedih, karena anawadak sudah tidak terlihat lagi, karena situ sudah musnah.

Di Cekungan Bandung, sedikitnya ada 181 jenis tumbuhan, mulai dari apus, calengka, kiara hingga caringin. Juga sedikitnya ada 60 jeni nama hewan mulai dari tongo, sieur, banteng hingga gajah. Berapa banyak yang masih kita kenal? Keragaman hayati kita semakin hari semakin berkurang, akibatnya kualitas manusia semakin hari semakin menurun. Terlebi lagi, pemerintah seringkali serampangan mengganti nama sebuah kawasan, tanpa pertimbangan toponimi.

Begitulah, pagi ini kang Bachtiar membuat saya gembira sekaligus sedih. Kopi pagi saya terasa manis campur pahit.

Tapi yang saya kagumi dari seorang Bachtiar adalah bahwa dia bukan sebatas penulis, bukan sebatas intelektual publik. Dia seorang yang menjadikan ilmu bumi (geografi) menjadi milik publik. Penulis aktif di Pikiran Rakyat ini juga mengorganisasikan kelompok masyarakat untuk jalan-jalan mengenali bumi.

Aktivitas yang dia bentuk bernama Geotrek membawa warga kota untuk mengenali bumi. Dulu Bachtiar berpartner dengan geolog Budi Brahmatyo, kini almarhum. Budi menceritakan apa yang ada di dalam bumi (geologi), Bachtiar menceritakan apa yang ada di atas bumi (geografi dan budaya akibat terjadinya peristiwa geologi).

Kang Bachatiar adalah almumni geografi Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (IKIP), yang sekarang berubah menjadi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Lulusan IKIP sejatinya menjadi guru, seperti ibu saya yang jadi guru selepas lulus dari sini. Kang Bachtiar, juga mengajar di Uninus. Tapi dia mengajar lebih luas lagi: mengajar untuk publik. Dan tidak cuma mengajar, tapi juga mengajak. Ya mengajak untuk memiliki dan merawat bumi.

Terimakasih kiriman bukunya Kang Bachtiar, terus mencerahkan kami semua…

***

Keterangan: Tulisan telah tayang sebelumnya di personal blog Budhiana Kartawijaya.