Cinta antara Wiji Thukul dan Si Pon

Minggu, 17 Maret 2019 | 19:32 WIB
0
557
Cinta antara Wiji Thukul dan Si Pon
Wiji Thukul dan Si Pon (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Photo yang menyertai tulisan ini, menurut saya paling epic dari sekian banyak photo Wiji Thukul dan Si Pon. Dan saya senang memajangnya, dalam sebuah repro digital yang gede di tempat saya suka menghabiskan kata-kata.

Itu yang membuat saya tega berkata bahwa ‘Istirahatlah Kata-kata’ bukan film yang bagus, meski tetap harus dihargai sebagai upaya warga.

Pose photo Wiji Thukul dan Si Pon itu, selalu memberikan pijar kebahagiaan di hati (setidaknya saya). Agak mirip dengan pose pasangan Bung Hatta dan Ibu Rahmi pada jaman dulu kala perang Kemerdekaan Indonesia. Cinta yang merekah, dan menggairahkan.

Sang buruh muda, waktu itu masa-masa bayi Nganti Wani mungkin. Thukul juga sedang mekar-mekarnya dibakar gelora semangat. Apalagi saya tahu ada Halim Hade di belakangnya, sebagai ideolognya.

Selalu ingat, bagaimana mereka pacaran, kemudian ketika Thukul melamar Si Pon, pernikahan mereka, hingga kemudian tahun lalu ketika ketemu Si Pon di Jagalan. Saya masih ingat, Jokowi bilang, “Saya akan mencarinya, hidup atau mati, anaknya Wiji Thukul adalah teman saya...”

Saya tidak tahu siapa yang dimaksudkan, tetapi sebagai Walikota Solo, Jokowi mengenal setiap jengkal dan wajah Solo. Tentu janji Jokowi bukan sesuatu yang mudah, ketika masa lalu masih jadi pertarungan, sementara kita ingin segera meraih masa depan.

Dan teman-teman saya sering tak sabar, sekaligus ceroboh. Dengan mengancam-ancam golput, atau sama sekali tak percaya pada apa yang disebut titian serambut dibelah tujuh.

Demikianlah politik, dengan konformisme yang acap menjengkelkan.

Saya ingat pertemuan terakhir antara Wiji Thukul dan Si Pon di Yogya. Pertemuan yang aneh di sebuah penginapan thek-dung sekitar Malioboro. Si Pon menceritakan dengan gundah, di tengah mereka bercinta. Ia lihat di salah satu sudut kamar terpasang kamera video. Dan ia jengah ketika seorang lelaki bule menanyainya cem-macem, dari soal poligami hingga rangsangan syahwat.

Terngiang di telinganya, Thukul menanyakan bagaimana kalau meninggalkannya. Sejak itu pula, Wiji Thukul hilang-lang!

Saya tak pernah berani menanyakan pada Si Pon, soal kelanjutan dari pertemuan terakhirnya itu. Seperempat abad lebih, ia menderita. Seperempat abad lebih ia adalah bagian tak terpisahkan dari dosa dan derita Wiji Thukul. Alangkah kurangajar jika saya menanyakannya semena-mena.

Tapi saya juga bahagia mendengar Nganti Wani dan Fajar Merah tumbuh dari degup jantung ibunya. Anak-anak yang berani dan berdarah, sebagaimana Si Pon ibunya hingga kini.

Tuhan beserta kalian!

***