Prabowo, Ayahnya dan (Mantan) Istrinya

Minggu, 11 November 2018 | 07:00 WIB
0
1056
Prabowo, Ayahnya dan (Mantan) Istrinya
Prabowo dan Titiek (Foto: Facebook Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Dalam sejarah Indonesia modern tak ada orang yang sedemikian ambisius menjadi Presiden selain Prabowo Soebianto. Ia sejak muda merasa ditakdirkan atau minimal menyiapkan diri menjadi penguasa di negeri ini. Ambisinya sungguh luar biasa!

Ia dan ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo memiliki kemiripan sejarah yang sama. Dari hero-zero-hero-zero lagi. Anehnya hero terakhirnya itu yang absurd! Karena bagian buruknya kita mudah melupakan titik di mana mereka jadi "zero".

Saya sampai detik ini sebagai alumnus UI, tidak habis pikir bagaimana mungkin ayahnya, dianggap sebagai begawan ekonomi Indonesia? Di mana ke-begawanan-nya? Di mana ke-ilmu-wanannya? Sependek ingatan saya, sebagai bagian dari Mafia Berkley, ia hanya perpanjangan tangan kepentingan negara asing pemilik modal yang sejak awal Orde Baru mengkapling-kapling kekayaan alam Indonesia untuk diberikan pada pihak asing. Apakah orang yang "pintar cari utangan" pantas dianggap sebagai pahlawan ekonomi?

Jangan lupa: sejak jadi Guru Besar UI, ketika ia balik lagi ke Indonesia setelah kabur ke AS setelah dianggap terlibat kudeta PRRI/Permesta. Ia tak pernah dihukum sama sekali. Lalu tiba-tiba saja sudah menjadi pemegang kendali ekonomi Indonesia.

Rumor mengatakan dia dipanggil pulang Suharto, rumor lainnya mengatakan ia jadi bagian paket bantuan dari AS untuk menolong ekonomi Indonesia yang terpuruk. Fakta yang tak terbantahkan, bahwa di akhir hidup Soemitro, hubungannya dengan Soeharto terus memburuk karena sekalipun tidak lagi di Kabinet: ia berulang kali "dianggap" terlalu ikut campur tangan dalam urusan perekonomian Indonesia.

Lalu apa hubungannya dengan Titiek? Konon ia adalah mahasiswa-nya Soemitro ketika kulian di FE-UI. Sempat tidak lulus dalam matakulian yang diampu Soemitro dan sama sekali tidak dikenali. Bahkan sampai saat pertama Titiek diajak main ke rumah oleh Prabowo, ia tidak mengenalinya. Hingga suatu saat diberitahu oleh istrinya, yang orang Menado itu bahwa Titik adalah anak Soeharto.

Konon ia sempat memperingatkan Prabowo, untuk berhati-hati karena perbedaan kultur antar keluarga. Keluarga Soemitro totally 100% bergaya hidup, berpikir dan berideologi Barat. Sedangkan Soeharto tentu saja sangat Jawa tradisional (ningrat lagi!).

Di mata Soemitro, Soeharto bukanlah intelektual, ia dianggap sebagai kombinasi antara kecerdasaan alamiah dan kekuatan instink yang tajam. Dalam konteks inilah, Soeharto (di kemudian hari) merasa selalu direndahkan oleh keluarga Soemitro.

Prabowo sendiri, diakui ayahnya sendiri, hanya namanya saja yang Jawa tentapi nyaris tidak mengenal budaya Jawa. Bahkan saat pertama, memberitahu ayahnya akan melamar Titiek ia tidak tahu kalau "prosesi lamaran" itu harus dilakukan keluarga dan bukan pribadi. Maunya Prabowo ia datang sendiri, menyampaikan langsung pada si perempuan. Pada titik inilah, sangat mudah dipahami bila pada akhirnya hubungan keduanya berakhir.

Perbedaan karakter, kultur, dan hobby. Konon saat dilamar Prabowo, Titiek masih suka pergi ke disko, sedangkan Prabowo sudah sangat serius memikirkan karier militernya. Sahibul cerita, dalam lamarannya menyadari posisinya yang "egaliter", Soemitro harus menyusuri ulang sejarah keluarganya. Ia mengaku, masih berbau "Jogja", sebagai keturunan Pangeran Diponegoro yang hijrah ke Banyumas akibat dikejar-kejar Kompeni. Pola ini kemudian ditiru banyak orang, bila kalangan bawah harus berbesanan dengan keluarga nigrat yang masih dekat dengan keluarga Kraton. Huh!

Konon, puncak sikap kritis Prabowo terjadi saat dilakukan pembelian tank dan pesawat tempur yang di mark-up oleh keluarga Cendana hingga empat kali lipat. Karena kasus ini, jauh sebelum Peristiwa 1998, ia telah bermusuhan dengan Tutut, Bambang, Tommy, dan Mamiek. Kedua-dua ini, ayah dan dan anak, Soemitro dan Prabowo mengalami masa surut hubungan antar keluarga.

Menjadi tidak jelas benar, saat peristiwa 1998 saat gerakan reformasi bergulir terdapat banyak peristiwa menyangkut Prabowo. Pertama penculikan para aktivis dan upaya kudeta yang dilakukannya secara terselubung. Belakangan, kedua kasus itu menurut keterangan Prabowo dilakukan untuk atas atas perintah Soeharto. Mana mungkin? Bila hubungannya (maupun keluarga Soemitro) dengan keluarga Cendana sudah sedemikian buruk.

Yang jelas, pada titik terendah inilah PS benar-benar sendirian. Di mata militer, ia dianggap "berlebihan mengambil inisiatif", hingga dipecat secara kemiliteran. Catat: hanya dipecat, yang dikorbankan selalu saja anak buah! Sedangkan dari pihak keluarga Cendana ia dianggap pengkhianat, yang suka menggunting dalam lipatan.

Ia kemudian kabur ke Yordania, entah berbisnis apa? Tiba-tiba pulang sedemikian kaya, membuat partai, dan nyalon presiden hingga tiga kali. Dua puluh tahun kemudian, mantan istrinya dan keluarganya membuat Partai baru, memanfaatkan kerinduan masa-masa tenang, masa-masa harga murah yang bersubsidi itu, masa-masa tidak ribut-ributpolitik yang tak menentu.

Dan tiba-tiba setelah 20 tahun, mereka satu kubu lagi? Konon ada duit Rp4.000 Trilyun yang tersimpan di Bank-bank di Swiss, yang saat ini secara diam-diam sedang diupayakan dibawa pulang oleh pemerintahan Jokowi. Dan tentu saja mereka, keluarga Cendana ini berkepentingan mempertahankannya.

Prabowo-Titiek rujuk, begitu emak-emak mengharapkan telenovela bisa hadir di dunia nyata.

Hari-hari ini apa yang dulu dikhawatirkan Soemitro terhadap Prabowo sungguh-sungguh terjadi. Ia bukan saja tidak punya unggah-ungguh politik. Ia di luar punya konsultan politik yang brengsek, yang punya jargon-jargon aneh: bikin isu bohong, anulir, lalu besok diulangi lagi. Begitu terus sekedar agar namanya selalu diingat!

Saya tidak percaya bahwa hinaan-hinaan yang dilakukan: entah itu pada wartawan, warga Boyolali, atau sikap kasar pada bawahannya (Fadli Zon punya pengalaman tentang ini) adalah bagian dari strategi politik (baca: settingan).

Hal itu adalah perilaku yang muaranya karena ia memang sama sekali tidak "Jawa". Ia jauh dari jargon Jawa ngono ya ngono, ning aja ngono. Dia itu ngono ya ngono, ning ya pancen kaya ngono. Sebagaimana jauh hari telah disadari oleh ayahnya Soemitro, dan kemudian menjadi beban ketika ia menjadi menantu Soeharto.

Sekali lagi, hanya namanya yang Jawa, hanya lambang partainya saja yang Garuda Pancasila, tapi selebihnya ia ya Barat, ya Amerika! Wajar bila ia "keminggris". Ia sebagaimana bapaknya, hanya perpanjangan tangan AS di negeri ini: hingga mudah dipahami bila isu-isu yang selalu diangkat Jokowi itu PKI dan antek aseng yang muaranya pro-China!

Ia memang bagian dari pertarungan global antara AS dan China. Dan jelas ia ada pada pihak yang mana...

Jangan-jangan asumsi emak-emak itu benar: kunci kemenangan Prabowo itu baru bisa dimulai ketika ia rujuk dengan Titiek.

Masalahnya Titiek hanya mau rujuk kalau ia sudah menang.

Ruwet!

***