Keberanian Buya Syafii

Terimakasih, Buya, atas segala teladan. Seorang cendekiawan yang berani menyampaikan kejujuran melihat persoalan, di tengah marak keberanian orang-orang menyampaikan ketidakjujurannya.

Minggu, 29 Mei 2022 | 06:04 WIB
0
264
Keberanian Buya Syafii
Syafii Ma'arif (Foto: mediaindonesia.com)

Buya Syafii Maarif (1935 – 2022), seorang cendekiawan dan johan budiman. Teladan paling meresap darinya, ialah kejujuran dan keberanian. Karena ia tanpa pretensi pribadi, tanpa tendensi atau pamrih primordial, maka ia berani. Engkau wafat menjelang ulang tahun ke-87, pada 31 Mei mendatang.

Nasihat yang paling mengesankan, soal medsos yang akan dikuasai oleh mereka yang berani asal njeplak. Kita harus berani pula tapi tidak untuk asal njeplak. Kita harus berani ngomong, karena jika tidak, mereka yang akan menguasai wacana. Mereka (dan kita), itu sebuah garis yang tegas.

Baca Juga: Buya

Nasihat berbeda justeru datang dari kaum yang lebih muda, soal hoax dan ujaran kebencian; Diamkan saja. Sing waras ngalah. Gusti ora sare. Karena membicarakan mereka, sama dengan membuat top up, justeru mempopulerkan mereka.

Saya lebih sepakat pendapat Buya. Membicarakan mereka terus akibatnya mempopulerkan mereka, itu mengandaikan dunia dipenuhi mereka. Padal tidak. Ada sisi masyarakat yang berbeda, yang bisa mengerti duduk persoalan setelah terinformasi, dan baru kemudian bisa menilai secara proporsional.

Di samping tentu, apa yang disampaikan oleh Adolf Hitler, benar adanya. Kebohongan yang diciptakan terus-menerus, akan (dirasa) menjadi kebenaran. Apalagi tanpa wacana pembanding. Tanpa ada ajakan untuk melihat persoalan lebih cermat dan proporsional.

Lebih apalagi, justeru karena masih banyak yang mudah terprovokasi. Maka provokator aktif lebih berbahaya daripada provokator pasif, kebalikan dari dalil yang mengkampanyekan rokok: Perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif. Karena itu merokoklah!

Buya Syafii seorang pemberani, tanpa beban. Justeru karena ia benar-benar mengatakan apa yang (setelah mengajinya) diyakini lebih adil. Ia tidak dalam rangka merekayasa pernyataan-pernyataannya. Ia tidak tricky, sebagaimana orang-orang yang mengritik karena ingin menggantikan yang dikritik, atau agar dagangannya dibeli.

Baca Juga: Syafii Ma'arif dan Isu Perbudakan Spiritual

Pertemuan terakhir dengan Buya, sekira sebulan lalu di rumahnya. Ketika itu saya dimintai tolong menghubungi beliau untuk acara ‘moderasi beragama’. Beliau sudah sakit-sakitan. Waktu itu pas omnicron. Kami berdiri berbatas pintu berkaca. Buya, dengan masker, mengatakan lagi mengiolasi diri, tak berani bertemu dengan banyak orang.

Mengingat kau dari rumah, naik sepeda, mengajak makan soto terenak di jalan Godean itu bersama teman-teman. Terimakasih Buya, untuk bunga kecombrangnya duluuuuu, ketika engkau memangkasinya sendiri di kebun Hafiz putra tunggalmu. Dan saya berani menikmati sayur kecombrang, lebih karena berharap mendapat sawab dari Buya, untuk berani dan tidak partisan.

Terimakasih, Buya, atas segala teladan. Seorang cendekiawan yang berani menyampaikan kejujuran melihat persoalan, di tengah marak keberanian orang-orang menyampaikan ketidakjujurannya.

Sunardian Wirodono

***