Selamat Jalan, Max Margono…

Max memang berjiwa besar karena ia santai saja menjadi anggota Desk Penyunting biasa, hingga dimutasikan ke posisi yang baru.

Sabtu, 21 Mei 2022 | 06:57 WIB
0
293
Selamat Jalan, Max Margono…
Max Margono (Foto: Iwan Set)

Pagi ini, saya membaca pesan WhatsApp bahwa Max Margono meninggal dunia, ingatan saya langsung tertarik ke belakang ke awal tahun 1980-an, ketika saya pertama kali mengenalnya di kantor perwakilan Harian Kompas di Jalan Basuki Rahmat, Surabaya. (Kini, Gramedia Expo)

Saya sudah lupa untuk keperluan apa saya berada di Surabaya. Akan tetapi, sebagai wartawan baru Harian Kompas saya tidak pernah lupa sosok dan pribadi Max Margono yang saat itu menjadi kepala perwakilan Harian Kompas di Jawa Timur.

Max yang di Harian Kompas menggunakan inisial mm, sangat ramah, terbuka, hangat, peduli dan jenaka. Walaupun pada saat itu saya belum lama bergabung dengan Harian Kompas, alias masih sangat hijau, tetapi Max memperlakukan saya seperti sudah mengenal saya sangat lama, sangat akrab.

Semula saya agak sungkan menyapanya, tetapi Sulastri yang di Harian Kompas menggunakan inisial tri, yang pada saat itu adalah koresponden baru untuk wilayah Madiun, meyakinkan saya bahwa Max orangnya sangat baik dan asyik.

Dan, benar apa yang dikatakan Lastri, Max orangnya sangat asyik. Dalam waktu yang singkat di kantor Surabaya itu, saya merasa seperti telah mengenalnya lama. Ia sama sekali tidak keberatan ketika saya memanggilnya, Max tanpa embel-embel mas atau pak. 

Max tidak pernah berubah. Selama saya bekerja di Harian Kompas dan bergaul dengannya, Max adalah Max yang sama yang saya kenal dulu. Bahkan, juga setelah memasuki masa purnabakti.

Dan, pada akhir tahun 1990-an, saya juga mengenal Max sebagai orang yang berjiwa besar. Ia tidak peduli dengan office politics, ia menjalani hidupnya dengan mengalir begitu saja.

Pada waktu itu, saya dimutasi dari Kepala Desk Politik ke Desk Penyunting, Desk yang menjadi pintu gerbang terakhir sebelum Harian Kompas turun ke percetakan. Max saat itu adalah Wakil Kepala Desk Penyunting, dan saya ditugaskan untuk menggantikannya.

Permasalahannya, per tanggal 1 saya sudah bergabung dengan Desk Penyunting, padahal surat pergantiannya baru resmi berlaku pada tanggal 7. Jadi dengan kata lain, secara de facto ada dua wakil Kepala Desk Penyunting, tetapi secara de jure tercatat yang menjadi Wakil Kepala Desk Penyunting masih Max. Setelah tanggal 7, Max menjadi anggota Desk Penyunting biasa.

Suasananya serba salah, dan sungguh tidak nyaman. Saya sangat dekat dengan Max, karena itu saya berusaha keras untuk tidak menyinggung perasaannya.

Saya memilih untuk bekerja sebagai anggota Desk Penyunting biasa hingga surat pergantiannya berlaku. Pada masa itu, naskah berita masih ditulis di atas kertas, dan koreksi naskah dilakukan dengan spidol. Bagi korektor (sekarang penyelaras bahasa), penyuntingan naskah dilakukan dengan spidol berwarna merah.

Penyuntingan korektor itu bisa dianulir oleh anggota Desk Penyunting dengan spidol hijau. Kata akhir diputuskan oleh Kepala atau Wakil Kepala Desk Penyunting dengan spidol biru.

Oleh karena, saya memutuskan untuk bekerja sebagai anggota Desk Penyunting, maka saya menggunakan spidol hijau. Namun, ketika melihat saya menggunakan spidol hijau, Max menegur saya, sudahlah Jim, kamu pakai spidol biru saja. Kenapa harus menunggu surat pergantian berlaku, apa sih bedanya antara sekarang dan satu minggu lagi, kata Max sambal tertawa lebar.

Spontan saya tertawa dan mengatakan, ”Wah Max, kamu juga berjiwa besar.”

Dan, Max memang berjiwa besar karena ia santai saja menjadi anggota Desk Penyunting biasa, hingga dimutasikan ke posisi yang baru.

Pagi ini, Max meninggalkan kita, dan saya yakin Max akan mendapatkan tempat yang terbaik di sana.

Selamat jalan…

***