Tommy Suryopratomo

Tommy, wartawan olahraga itu kini harus menapaki ladang diplomasi di Singapura. Selamat bertugas Your Excellency Suryopratomo….

Minggu, 4 Oktober 2020 | 07:34 WIB
0
325
Tommy Suryopratomo
Suryopratomo melambaikan tangan (Foto: Dok. Kompas)

Ketika masih calon wartawan dan magang di Desk Olahraga Kompas, cawar muda ini pernah membuat redaktur olahraganya tergagap. Sang cawar menyodorkan sebuah tulisan feature tentang petenis cilik bercelana pendek dengan raket kegedean tengah melakukan pukulan servis di sebuah turnamen sirkuit tenis nasional.

Tulisan di harian Kompas yang disodorkan cawar itu adalah tulisan sang redaktur olahraga di hadapannya ketika si redaktur masih wartawan olahraga. ”Ramalan Mas terwujud, Yayuk sekarang menjadi petenis top,” ujar Suryopratomo, cawar muda itu, kepada sang redaktur olahraga pada 1987.

Yayuk yang dimaksud Tommy, panggilan akrab cawar lulusan Institut Pertanian Bogor itu, adalah petenis Yayuk Basuki. Saat Tommy menjadi cawar, Yayuk sudah menapaki jenjang petenis peringkat dunia. Si redaktur sendiri malah lupa pernah menulis bahwa petenis cilik bercelana pendek itu bakal menjadi petenis kelas dunia.

Ketika masih cawar pun, Tommy tidak seperti cawar yang lain, yang magang dengan blangko kosong. Tommy rupanya sudah penuh persiapan untuk menghadapi tempat magang barunya di Desk Olahraga Kompas. Ia bahkan sudah tahu tulisan redakturnya, yang bahkan si redaktur sendiri lupa kapan ia menulis artikel tersebut.

”Kalau disuruh mengulang waktu, saya mau kembali ke desk olahraga,” kata Suryopratomo bulan lalu ketika namanya yang masuk daftar calon Duta Besar Indonesia untuk Singapura tengah diajukan ke sidang Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Ia kemudian dilantik Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Senin (14/9/2020) pagi.

Delapan tahun sebagai wartawan olahraga Kompas, menurut Tommy, benar-benar mematangkan dirinya menjadi wartawan. ”Kesempatan untuk menulis opini,” kata Tommy pula.

Pengalaman di desk olahraga membuatnya lebih mudah bekerja di desk lain di Kompas setelah itu. ”Narasumber desk ekonomi bisa saya kenal karena saya di desk olahraga,” kata Tommy pula, ”Saya kenal sama Pak Bob Hasan karena liputan atletik dan pertemanan bahkan terjalin dengannya sampai beliau meninggal,” katanya.

Ketika kemudian diangkat menjadi wartawan Kompas pada 1987, Suryopratomo tidak langsung menjadi wartawan olahraga. Ia meliput bidang-bidang lain terlebih dahulu. Tulisan pertamanya yang dimuat di Kompas adalah news analysis tentang Jakarta yang berjudul ”Sulitnya Mengelola Dana Terbatas”. Tulisan itu satu di antara tiga tulisan tentang Jakarta dalam rangka ulang tahun ke-460 Jakarta yang terbit di halaman VII pada Rabu, 24 Juni 1987.

”Saya masuk desk olahraga mulai Olimpiade Seoul 1988,” tutur Tommy, mengenang perjalanannya menjadi wartawan olahraga pada tahun kedua ia di Kompas. Waktu itu, sebenarnya Tommy ditempatkan di desk internasional. Atas permintaan desk olahraga, Tommy diminta membantu liputan selama Olimpiade 1988.

”Saya ditarik dari desk inter untuk membantu desk olahraga karena teman-teman desk olahraga harus berangkat liputan ke Seoul,” ujar Tommy.

Semenjak itu, Tommy tidak pernah kembali lagi ke Desk Internasional. Ketika kemudian ia menjadi wartawan olahraga, saat itu sedang ramai-ramainya Liga Italia menjelang Piala Dunia 1990.

”Televisi masih terbatas liputannya sehingga harus pakai parabola,” katanya. ”Saya bisa lebih detail membuat liputan Liga Eropa karena di rumah saya ada parabola,” kata Tommy.

Jadi, ia bukan hanya mengandalkan berita teleks, melainkan juga mengikuti pertandingan di lapangan melalui parabola. Berita teleks waktu itu menjadi sumber utama berita internasional Kompas, termasuk juga pertandingan-pertandingan olahraga dari berbagai belahan dunia. Maklumlah, belum zamannya hasil pertandingan olahraga bisa diperoleh real time seperti zaman internet sekarang ini.

”Olahraga itu akan lebih hidup kalau liputannya mengungkapkan fakta di lapangan. Banyak wartawan olahraga yang datang terlambat dan hanya mengambil hasil akhir pertandingan. Mereka kehilangan momen dan detail,” tutur Tommy.

Sejak liputan Sirkuit Tenis dan Renang Kelompok Umur pada 1990-an, Tommy mengaku selalu datang pagi. Ia takut tidak ada di lapangan ketika seniornya TD Asmadi yang juga wartawan Kompas atau senior lainnya tiba-tiba hadir di lapangan.

”Dengan hadir langsung, kita bisa menulis laporan olahraga lebih hidup. Itulah kekuatan Kompas, wartawannya bisa detail membuat liputan karena selalu ada pada saat pertandingan,” tutur Tommy pula.

Kekuatan lain liputan olahraga (1990-an) Kompas adalah unsur humanis dari atlet. ”Saya pertama kali di olahraga dulu disuruh oleh Irving Noor (rekan wartawan seniornya) membuat profil (pebulu tangkis) Susi Susanti yang saat itu belum terkenal, petenis Yayuk Basuki, dan petinju Ellyas Pical menjelang pertandingan dilakukan,” kata Tommy.

Liputan lengkap seperti itu, kata Tommy, waktu itu menjadi trade mark Kompas dan selalu diikuti oleh koran lain. ”Kompas selalu menjadi trend-setter,” katanya.

Sepak bola

Standar wartawan olahraga di manapun setidaknya pernah menulis ulasan dan meliput olahraga paling populer di dunia, yakni sepak bola. Dan, Suryopratomo dikenal sebagai wartawan Kompas dari liputan-liputannya tentang sepak bola, termasuk di kalangan sesama wartawan olahraga.

”Pak Jakob Oetama pernah bilang, bekerja karena hobi itu pasti akan lebih menyenangkan. Itulah yang saya rasakan ketika mulai pegang liputan sepak bola,” kata Tommy Suryopratomo.

Tommy mengaku, sepak bola adalah hobi dia. Maka, ketika diminta meliput bidang itu, tidak terlalu sulit untuk masuk ke dunia tersebut.

Baca juga: Berburu Joko Tjandra, Berujung Tes Swab PCR

”Ketika saya mulai pegang liputan sepak bola, saat itu tengah hangat kasus (tidak senonoh)-nya Elly Idris,” tuturnya. ”Sebagai wartawan baru saya tidak paham larangan-larangan. Saya merasa semua boleh dilakukan, boleh diliput. Elly Idris melakukan gerakan (seksual terhadap diri sendiri) kepada pelatih kepalanya, Bertje Matulapelwa.”

”Sebetulnya kejadiannya berlangsung beberapa hari sebelum saya meliput sepak bola di Senayan. Lalu, saya cari tahu duduk persoalannya dan saya kejar sampai tuntas. Kebetulan waktu itu sedang puasa. Gara-gara liputan saya itu, Elly Idris akhirnya dihukum,” lanjut Tommy.

Tidak cukup sampai di situ. Tommy yang mengikuti prinsip cover both sides yang dianut Kompas kemudian mewawancarai Elly Idris setelah ia dihukum. Padahal, Elly memendam rasa kesal kepadanya. Elly tahu, ia dihukum gara-gara tulisan Tommy.

Wartawan-wartawan olahraga yang lebih senior kemudian melihat Tommy sebagai wartawan yang berani karena keputusannya mewawancarai Elly Idris.

Kasus lain yang juga cukup ramai di dunia olahraga waktu itu adalah soal pengaturan skor, bahkan pengaturan siapa yang bakal juara liga Galatama atau Liga Sepak Bola Utama.

Waktu itu, tutur Tommy, ia juga meliput skenario untuk menjadikan klub Pelita Jaya juara. Skenario ini, jika benar, merugikan klub Galatama yang lain, yakni Krama Yudha Tiga Berlian (KTB). Elly Idris yang pernah ia tulis kasusnya saat itu bermain untuk Pelita Jaya.


Suryopratomo bersama Arbain, Agus dan Eko (Foto: dok. Kompas)

”Kasus yang saya angkat, penggunaan pemain tidak sah yang jadi lawan klub KTB. Saya lupa klubnya. Kalau tidak salah, Lampung Putra,” ujar Tommy. ”Oleh pengurus Galatama, Lampung Putra yang memakai pemain tidak sah dianggap bersalah dan dikurangi nilai kemenangannya. Anehnya, KTB juga tidak diberikan kemenangan. Hasilnya, Pelita Jaya juara dengan skandal,” kata Tommy pula.

Setelah kasus liputan Elly Idris serta skandal pengaturan skor agar Pelita Jaya juara, Tommy dicap sebagai wartawan yang tidak bisa diatur. ”Semua jadi segan. Sejak itu, setiap tulisan saya jadi perhatian,” katanya.

Pernah dua kali meliput Piala Dunia, dua kali Piala Eropa, serta satu kali di Amerika Latin, Copa America, lengkaplah perjalanan Tommy Suryopratomo sebagai wartawan olahraga peliput sepak bola yang lengkap menyaksikan seluruh panggung dunia.

”Total, dari 1989 sampai 1992, saya puas meliput sepak bola. Tiga tahun istirahat di desk ekonomi, balik lagi ke olahraga 1995-1998 sebagai redaktur olahraga. Sungguh puas di olahraga,” kata Tommy pula.

Dari liputan dunia olahraga, kemudian kecantol di sepak bola, rupanya bukan terminal akhir. Tommy kemudian menjadi redaktur ekonomi lalu redaktur pelaksana, bahkan kemudian sampai di jenjang tertinggi sebagai pemimpin redaksi harian Kompas, sampai kemudian mengundurkan diri. Ia lalu bergabung dengan kelompok Media Grup, sebagai salah satu pucuk pimpinan di MetroTV.

Kalau kemudian sekarang menjadi duta besar di Singapura, Suryopratomo rupanya meneruskan perjalanan sukses para seniornya di media, di antaranya almarhum Sabam Siagian yang pernah menjadi dubes di Australia serta seniornya di Kompas, mendiang August Parengkuan, sebagai dubes di Roma.

Tommy, wartawan olahraga itu kini harus menapaki ladang diplomasi di Singapura. Selamat bertugas Your Excellency Suryopratomo….

Jimmy S Harianto, Wartawan Kompas 1975-2012, Mantan Redaktur Olahraga 1987-1993, Tinggal di Jakarta

***

Catatan: Tulisan sudah dimuat sebelumnya di Kompas.id, 16 September 2020