Berkat selera seni Ojong, maka Kompas juga kuat dalam liputan-liputan budayanya pada awal 70-an.
Lebih dari 600 lukisan dimiliki surat kabar harian Kompas. Sebagian besar merupakan koleksi-koleksi langka karya para maestro lukis Indonesia, dan terutama lukisan Bali yang menurut budayawan Soedjatmoko, tiada duanya dalam hal kualitas.
Sebut saja para maestro lukis Indonesia. Dari pelukis besar Affandi, Basuki Abdullah, Sudjojono, Hendra Gunawan, Trubus, Dullah, Rustamadji, Otto Jaya, Nyoman Lempad, Rudolph Bonnet, Soenarto Pr, Muchtar Apin, sampai kartika Affandi, Djajeng Asmoro….. ada dalam koleksi lukisan Kompas.
“Semuanya itu hasil perburuan pak Ojong…,” kata Ipong Purnomosidi, seorang pelukis yang juga pernah menjadi kurator di Bentara Budaya Jakarta, galeri seni pentas dan budaya milik surat kabar terbesar di Indonesia ini. Pak Ojong yang dimaksud Ipong, adalah PK Ojong atau Petrus Kanisius Ojong salah satu pendiri surat kabar Kompas, di samping Jakob Oetama. Kalau saja masih hidup, PK Ojong alias Auwyong Peng Koen hari ini (25/7) genap berusia 100 tahun.
“Budayawan Soedjatmoko pernah mengatakan pada pak Jakob Oetama, koleksi lukisan Bali milik Kompas ini tingkatnya adalah lukisan-lukisan para master yang tiada duanya, dari Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ketut Kobot…. Dan master-master lainnya,” ungkap Ipong Purnomosidi pula.
Master-master Bali yang lukisannya dimiliki Kompas, menurut Ika pengurus Bentara Budaya Jakarta (BBJ), antara lain adalah Ketut Regig, Nyoman Mandera, Ketut Gelgel, I Made Poleng, Ketut Nama, Made Gatera, Made Subalon, Wayan Turun, Wayan Djuldjul, Anak Agung Gede Raka, Anak Agung Raka Puja, Sutjiarmi, Nyoman Kasta, Made Wianta, Made Dedok….
Jumlah seluruh lukisan milik Kompas, menurut Ika, seluruhnya mencapai 635 buah. Disimpan dengan baik, bersama koleksi-koleksi seni hasil buruan Ojong dan keur masternya, GM Sudarta (alm) karikaturis Kompas, di sebuah ruang bawah tanah bertemperatur dingin di Bentara Jakarta.
Ojong mempunyai cara sendiri dalam hal membeli koleksi-koleksinya, yang kemudian menjadi koleksi milik harian Kompas. Tidak cukup beli, habis perkara. “Akan tetapi juga dengan memberi bantuan alat lukis pada pelukis-pelukisnya…,” tutur Ipong Purnomosidi.
Bahkan monumen megah, Gedung Bentara Budaya Jakarta di Palmerah yang berupa rumah tradisional cagar budaya, Rumah penuh ukiran halus gaya Kudus Jawa Tengah yang bahkan sudah tiada sebagus itu di tempat asalnya, juga hasil perburuan Ojong serta kuratornya alm GM Sudarta.
“Saya sengaja mendatangkan orang-orang dari Kudus untuk membersihkannya setahun sekali Rumah Kudus itu, dengan cara mereka,” tutur GM Sudarta pada saya, ketika Oom Pasikom ini masih hidup. Dan setiap tahun, Rumah Kayu yang berukir indah milik Kompas itu dibersihkan pakai kuas, dengan cairan tembakau, agar kayu jati kuno serta ukiran halus khas Kudus itu tetap bersinar.
Rumah tradisional Kudus ini, awalnya dulu dibangun oleh keluarga Haji Ridwan Noor pada awal abad ke-20 dan sempat didiami selama tiga generasi oleh segenap ahli warisnya, tak jauh dari Mesjid terkenal di Kudus Kulon. Dan sekitar 46 keluarga pewarisnya telah menghibahkan kepada Kompas pada tahun 80-an untuk memugarnya, dan membawa rumah indah tersebut dengan truk-truk kontainer. Dibedah satu-satu, dan kemudian dirakit di Palmerah oleh para ahli warisnya.
Adapun lukisan-lukisan para maestro ini pernah dipamerkan Kompas saat memperingati Hari Ulang Tahun surat kabar ini yang ke-10 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat dari 25 Juni-30 Juni 1975. Lebih dari 100 lukisan milik Kompas waktu itu digelar di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, bersama 250 Foto Terbaik Kompas pilihan fotografer top Kompas, Kartono Ryadi.Belum genap sebulan waktu itu, saya diangkat menjadi wartawan Kompas pada 1975. Teman-teman senior memelonco saya untuk mewawancara Pak Ojong, inisiator pameran seni di TIM tersebut.
“Ini adalah salah satu upaya Kompas agar lebih banyak memberi informasi (tentang seni) kepada masyarakat,” kata PK Ojong waktu itu. Tidak lupa, ketika usai saya wawancara dia bertanya: “Saudara dari mana?” Saya bilang, dari Kompas. PK Ojong senyum kecut, belum kenal saya anak baru, dikira wartawan dari media lain.
Meski demikian, pameran yang dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri SH waktu itu, menarik minat banyak undangan selebritas politik. Tidak kurang dari mantan diplomat era awal kemerdekaan seperti Moh Roem (tokoh perundingan Indonesia dan Belanda, Roem Royen), Prof Soenarjo, ataupun sastrawan terkenal Sutan Takdir Alisjahbana dari era Pujangga Baru, pun hadir dalam pameran tersebut.
Jiwa Seni yang mula dibawa PK Ojong itu pun, juga tercermin di wajah surat kabarnya. Sejak awal, selain dikenal sebagai koran politik, internasional dan ekonomi, olahraga. Berkat selera seni Ojong, maka Kompas juga kuat dalam liputan-liputan budayanya pada awal 70-an.
Jimmy S Harianto, wartawan Kompas 1975-2012, tinggal di Jakarta
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews