Memahami Najwa Shihab

Sekalipun demikian percayalah ia bukanlah pembenci Jokowi. Ia tetaplah kawan yang sedang membuat sisi berimbang dalam dirinya. Ia juga bosan terus menerus jadi pembela Jokowi.

Minggu, 29 September 2019 | 16:47 WIB
0
885
Memahami Najwa Shihab
Najwa Shihab (Foto: kapanlagi.com)

Penting ya? Ya ada gunanya sih, agar para pendukung Jakowi itu bisa membedakan bagaimana bereaksi secara kritis dan berimbang. Agar jangan sampai kerjanya gampang curiga, suka menuduh, dan setiap hari hanya menambah musuh saja.

Saat seseorang yang dulu dianggap sebagai pendukung Jokowi, seolah-olah balik badan menentangnya. Atau minimal justru seolah menjadi batu sandungan baru Jokowi. Saking cintanya dengan Jokowi, sehingga ia harus dijaga all out laksana pasien kritis yang masuk perawatan gawat darurat. Hawong Jokowi-nya saja malah santai tetap momong cucu, sepedaan di Kebon Raya, sambil sesekali jajan ke pasar kok.

Dalam konteks Najwa Shihab, walau saya bukan fans club sejak jauh hari, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk memahami bagaimana dia bekerja dan membangun citra dirinya (baca: repositioning). Saya dedah satu persatu, ya. Sing sabar to...

Pertama, memahami Najwa Shihab mula-mula adalah seorang produk jurnalis bergaya Amerika. Di mana sikap kritis itu tak ada bedanya dengan kasar, mengungkap itu nyaris sama dengan menjebak, mempromosikan itu tak jauh beda dengan menjerumuskan.

Dalam konteks ini, sebenarnya Najwa tak ada bedanya dengan anchor-ancor TV lain seperti Rossie Silalahi, Tina Talisha, Desi Anwar, Ira Kusno, Grace Natalie atau siapa pun yang wira-wiri di layar telepisi. Mereka adalah bagian besar dari gelombang "girl power", yang mendapat habitat paling tepat di dunia mass media.

Cirinya juga sama: berwajah cantik, eye cathcing, bermata tajam, dan gaya bicara sangat cowboy. Dan sebagaimana kita menonton film Hollywood, tampak hebat saat kita menontonnya, tapi sesungguhnya hanya hiburan semata. Tak ada pesan apa-apa, yang kita terima bila tidak bisa kita katakan sekedar tambah tahu, tapi sebenarnya tidak makin paham dan justru makin penasaran dan ketagihan".

Itulah candu media massa gaya Amerika. Ini menjelaskan kenapa butuh sequel yang terus menerus, padahal berita ya tinggal berita, analisis yang sebatas mampu. Jangan harap ada pembacaan yang lebih dari pada itu. Ini entertain bung, bukan focus group discussion, apalagi ruang perenungan....

Kedua, mereka ini adalah produk anak-beranak demokrasi dan kapitalisme, yang menurunkan cucu bernama jurnalisme liberal. Apa-apa yang berkonotasi liberal itu paling provokatif sekaligus antisipatif, bila melihat segala sesuatu yang mengancam peri-kehidupannya. Sedemikian menganggap diri penting, hingga Trias Politica yangs udah berusia belasan abad dianggap tak sempurna tanpa ditambahi hal ini.

Jurnalisme liberal dianggap penting sebagai penyeimbang, pengawal, dan penjaga kaum eksekutif, legislatif, dan yudikatif bekerja. Masalahnya, jadi absurd karena watak kapitalisme di dalamnya. Ia bisa jadi alat propaganda, kuda tunggangan, sekaligus penyusup di banyak tempat. Propaganada itu istilah yang terlalu fasis, tapi kira-kira kalau zaman sekarang lebih tepat sebagai marketing yang ekspansif.

Jokowi harus diakui adalah produk yang dibesarkan oleh gaya marketing seperti itu. Yang menurut saya tak ada tandingnya sejak NKRI berdiri, bagaimana ia dibranding sejak awal. Jadi pahamilah, saat media keluar masuk, seolah naik turun membela dan mencela Jokowi itu sesungguhnya kalau mau berpikir positif hanya membuat posisi mereka sebagai media berimbang. Yang sialnya, dalam konteks Jokowi positif maupun negatif apa pun yang diberitakan tentang dirinya,Ia selalu dapat mengambil sisi yang menguntungkan baginya.

Karena apa? Karena ia adalah antitesis dari jurnalisme gaya Amerika itu sendiri: tak banyak cakap kata orang Melayu. Ia memilih kerja, kerja, kerja. Ia mengendalikan situasi dengan tidak banyak bicara...

Ketiga, keberadaan dan keberanian figur-figur seperti Najwa Shihab seperti ini cuma memberikan dua pilihan: berujung atau tanpa ujung. Dalam kasus Grace Natalie, ia berujung berani keluar dan membuat partai baru. Dalam kasus Ira Kusno, ia hanya sesekali tampil untuk menjaga sisi legendaris dan mistis dirinya. Yang lain ada yang jadi peragawati setengah telanjang, instruktur senam, buka warung, makelar kondominium, apa saja yang bisa tetap membuat dirinya eksis dan tetap tampil di media.

Lalu Najwa? Ia tetap berdiri di kaki yang sama, walau berujung "bercerai" dengan Metro TV yang membesarkan namanya. Karena sebagaimana nilai hubungan kerja di hari ini yang sangat keji: kalau pun kamu setia, yang lain akan merasa bosan! Dan sebaliknya. Loyalitas itu pret!

Di sinilah inti masalahnya. Ketika masih di dalam Metro TV, bagaimana pun kerjanya ada pengawas dan pengendali. Tapi ketika, ia menjadi independen, atau katakanlah bergabung dengan TV baru. Bukan saja ia merasa lebih "valuable", karena ia bisa memiliki nilai tawar dan kuasa yang lebih tinggi. Dalam konteks inilah, ia juga sadar berkeharusan membawa nilai-nilai baru, gaya baru, dan terutama pendekatan baru untuk menjaga dirinya agar tetap eksis.

Apa yang disebut re-branding. Ia paham situasi: sebagaimana juga saya memandang Jokowi. Apa pun kata orang di luar sana, nyaris mustahil menggoyang Jokowi, apalagi menjatuhkannya. Karena apa? Yang berusaha mengganggunya sebenarnya tidak cerdas-cerdas amat, terlalu bergaya preman yang brangasan, dan yang terutama tidak memiliki momentum sebaik Jokowi yang didukung kehendak alam. Dan jadilah ia memilih peran yang sedikit menyimpang dan antagonis. Lalu dimana letak salahnya?

Sekali lagi saya bukan fans Najwa Shihab dan sejenisnya. Bagi saya mereka terlalu cantik, terlalu pintar, dan terutama sangat crigis! Apa itu crigis? Crigis salah satu kosa kata Jawa yang saya pikir tidak ada padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Kira-kira maknanya di luar banyak omong, nyinyir, suka mendesakkan maunya, suka menjebak lawan bicara, ia bisa bekerja sesuka-suka dirinya.

Ia terlalu hebat untuk laki-laki lemah seperti saya. Hiks! Ia walau Indonesia, tapi bagi saya sangat tidak Timur yang lebih mengedepankan unggah-ungguh dan adab kesopanan. Ketika ia selalu hanya memberi dua pilihan: guns or roses? Borong semua saja...

Sekalipun demikian percayalah ia bukanlah pembenci Jokowi. Ia tetaplah kawan yang sedang membuat sisi berimbang dalam dirinya. Ia juga bosan terus menerus jadi pembela Jokowi. Hal yang sama juga dialami ratusan ribu aktivis, tokoh, atau siapa pun yang kita anggap sedang berpaling.

Apa iya kalau ia sempat berfoto dengan Tommy Suharto, lalu ia kita anggap berubah jadi antek Cendana. Apa kalau ia sekedar menantang berdebat DPR, ia lalu anti pemerintah yang sah. Apa kalau ia penentang Revisi UU KPK, ia kita anggap anti Jokowi.

Sekali lagi Najwa itu tetaplah seorang teman, yang berani bilang emang kerudung wajib ya? Bagi dia tidak! Dalam hal ini saya kagum, secara ia anak seorang penafsir Al Qur'an tanpa tanding di Indonesia. Ia berani membranding dirinya dengan pilihan dirinya yang sangat demonstratif. Ia figur yang menarik yang tak perlu lah coba-coba harus kita dekati. Ambyar jadinya, pinjam istilah Didi Kempot...

Kalau orang seperti dia masih saja dianggap musuh? Lalu siapa teman kalian?

***