16 Tahun Kesumpegan Jogja di Bawah HS

HS menerima karma-nya. Ia merusak Jogja dengan berbagai perilakunya, dengan berbagai legalisasi izin yang sebenarnya tak legal itu.

Senin, 6 Juni 2022 | 06:52 WIB
1
318
16 Tahun Kesumpegan Jogja di Bawah HS
Hayadi Suyuti (Foto: tribunnews.com)

Tulisan ini harus diawali, bahwa sekalipun HS (Hayadi Suyuti) ditangkap KPK saat ia sudah dianggap eks-Walikota. Namun sesungguhnya, ia baru diturunkan secara resmi pada 22 Mei 2022 lalu. Jadi bila, dihitung per tulisan ini dibuat baru 11 hari berlalu. Saya pikir, ia punya "aji halimunan", aji menghilangkan jejak. Jejak buruk dan jahat yang telah ia torehkan di kota Yogyakarta. Sejak ia mulai memiliki jabatan publik. Enam tahun sebagai Wakil-Walikota. Sepuluh tahun berikutnya sebagai Walikota.

Selama 16 tahun itu pula, kota ini hanya tampak maju, tapi sesungguhnya benar-benar mengalami kehilangan jati dirinya. Hanya tampak modern, karena wajah diubah menjadi banyak bangunan bertingkat yang terasing dari lingkungan masyarakat aslinya. Masyarakat yang umumnya berumah limasan dengan tembok gedeg, dengan pintu masuk tak terlalu tinggi. Hingga ketika kita bertamu, kepala kita harus merunduk menunjukkan sikap hormat kita pada tuan rumah. Keramahan tulus yang dilenyapkan.

Dan HS ini adalah seorang yang sudah terindikasi sejak lama punya "tangan kotor" berkontribusi akut terhadap kerusakan kota ini. Tapi dibiarkan selama nyaris (minimal) 10 tahun terakhir, ia menjabat sebagai Walikota...

Kasus pertama yang mencolok mata publik Jogja adalah pengadaan alkes di RS Jogja (milik Pemkot) pada tahun 2014 lalu. Kasus yang sangat mengharu-biru, karena rekanan yang ditetapkan sebagai pemenang adalah "perusahaan kolaborator" sang istri. Sang istri ini pula ah, konon yang menjadi operator untuk menjaring duit. Dari berbagai proyek di bawah Pemkot maupun perizinan ini itu yang membutuhkan tanda tangan dari Pak Walkot.

Kasus ini serta merta mengubah wajah populis, transparan, dan kredibel-nya. Di masa lalu, saya selalu mempromosikan RS yang sangat "recomended". Saya selalu menempati Ruang VIP, bukan karena kaya raya. Tapi justru karena relatif murah, pelayanannya baik, pemeriksaannya akurat, dan tidak pernah mengada-ada. Dan, "bajingan"-nya ketika kasus ini meledak karena sebagaimana biasa proyek yang dijalankan melalui KKN. Yang dikorbankan adalah pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), yang dalam birokrasi justru adalah ASN terendah!

Sial beribu sial, ASN tersebut justru adalah seorang yang sudah sangat sepuh, seseorang yang sangat jujur dan berwatak pengabdi yang loyal. Yang beberapa bulan kemudian akan memasuki masa pensiun. Ia bukan sekedar mendapat tekanan dari "si nyonyah", ia menjadi satu-satunya yang dipersalahkan karena diangga tidak cermat. Hingga kemudian, justru "si mbah sepuh" ini yang dikorbankan masuk penjara.

Sedemikian memalukannya kasus ini, hingga Bu Direktur RS Jogja mengundurkan diri dan memilih pensiun dini! Si Nyonyah dan Si Papah melenggang kangkung, tangannya bersih sekali....

Aktivitas si nyonyah "golek duit" yang terlalu agresif inilah, yang kemudian membuat sang suami seolah tidak tampak. Ia dianggap "ndelik", bersembunyi dari pantauan publik. Padahal, pada masa itu masyarakat kota sedemikian gelisah karena pertumbuhan pertokoan modern dan hotel (baca: mall) sedemikian marak. Nyaris di setiap sudut jalan, media iklan outdoor dalam bentuk besi beton yang angkuh hadir. Sedemikian masifnya sehingga, dianggap menghalangi pemandangan. Yang menutup panorama Gunung Merapi sebagai latar belakang keindahan kota ini.

Masifnya pembangunan hotel dan iklan outdoor inilah, yang membuat kalangan seniman Jogja yang diinisiasi oleh sahabat saya Agung Kurniawan membuat event budaya bernama "Festival Seni Mencari Haryadi". Mengisyaratkan kegelisahan warga, bahwa kota ini seolah auto-pilot. Punya walikota, tapi tak tampak kehadiran dan manfaatnya. Suasana Jogja makin ruwet, becak motor sebagai "hama jalanan" makin merajai jalanan. Mengalahkan becak tradisional yang tiba-tiba malah dijudge sebagai terbelakang dan tidak manusiawi.

Dan yang paling tak termaafkan adalah pembiaran perilaku pedagang makanan yang sangat "tidak empatif". Para pedagang makanan yang dibiarkan sesuka-sukanya menetapkan tarif. Sebuah penyakit yang tidak pernah sembuh, yang bukan saja merugikan para wisatawan. Tapi terutama mereka yang tinggal dan hidup di kota ini. Karena memberi multiplier effect yang sangat luas. Mahalnya nyaris semua hal yang semula murah di kota ini: tempat kost, sewa ini-itu, dan tenaga kerja. Dan paling tidak bisa diterima harga tanah yang sudah pada titik tidak masuk akal. Shit!

Mungkin hanya pada HS lah, perhatian dan atensi diberikan sedemikian rupa dan tulus. Kredo "Jogja Ora Didol" adalah sebuah peringatan keras! Tapi yaitu tadi dia cuek bebek, sama sekali tidak menunjukkan karakter pemimpin asli Jogja yang mengedepankan kearifan lokal asta brata. Delapan watak mulia kepemimpinan yang harus dimiliki orang Jawa. Sikap tidak pedulinya justru dipelintir sebagai rendah hati. Pilihan mantranya untuk berlindung di balik "asal kondusif", dianggapnya melindungi kepentingan bersama.

Dan "the corruption to be continued". Hingga slogan Jogja sebagai Never Ending Asia" diplesetkan sebagai "Never Ending Corruption...".

Mungkin, hal tersebut dianggap biasa. Karena demikianlah resiko sebuah kemajuan. Tapi banyak hal lain yang elementer yang tidak terungkap kepada publik. Sikap rasis HS kepada ASN di bawahnya yang tidak masuk akal. Jadi bila ada yang bilang bahwa Jogja makin intoleran. Bagi saya itu dimulai dari sikap walikotanya kepada mereka yang tidak sama dengannya, mereka yang tidak mau tunduk dan patuh kepadanya. Dan hal ini sialnya hal seperti ini, selalu dimulai dari karena berbeda agama!

Sahabat saya, sebut saja namanya Mukidi (yen panjenengan maos, rasah nesu loh. mesem wae!). Ia adalah seorang yang sangat sederhana,walau sebenarnya ia adalah seorang jenius yang multi-minat. Kebetulan ia juga sebagaimana saya menganut kepercayaan Kejawen di luar agama resminya secara KTP. Ia adalah orang yang menjadi motor utama program ASN "ngepit tindak kantor". Bersepeda untuk pergi ke kantor. Tapi sikap kerasnya, menentang pembangunan hotel yang masif. Menyebabkan ia disingkirkan dari lingkungan birokrasi.

Tentu saja, Pak Walkot ini tak berani memecatnya. Ia juga tahu, betapa kokohnya kami di belakangnya. Tapi sahabat saya ini diperlakukan sedemikian hina. Ia tidak pernah diberi job, tak pernah diberi tugas pekerjaan sehari-hari. Bahkan ia dipermalukan dengan diberi meja kerja di ruang terbuka, dekat tempat parkir kantor. Tak bisa dipercaya, tapi nyata!

Hebatnya sahabat saya tetap bertahan, dan menolak mengundurkan diri. Sebagai seorang priyayi Jogja asli ia bersikap semeleh. Menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan kedigdayaannya sendiri...

Bagian yang tak termaafkan dari HS itu, timbunan kasusnya segunung. Tapi ia selalu lolos, dan tak terekspos, walau selalu ada nama dia disebut dalam berbagai kasus. Saya berpikir, ketika kasus pemagaran stadion Mandala Krida. Betul pemagaran, artinya bikin pagar keliling. Bukan pemugaran! Ia terangkut, entah kenapa kasus ini tiba-tiba menguap begitu saja, sebagaimana juga puluhan kasus lainnya. Yang kalau saya disuruh mendokumentasikannya, mungkin bisa jadi satu buku sendiri.

Bagi saya ia adalah SBY di tingkat lokal. Kalau buku "Orde Lost Stang"-nya saja nggak penting lagi buat saya. Apa pentingnya mencatat seorang HS...

Ketika tanggal 22 Mei kemarin berlalu, saya ngungun: "Woh sakti tenan wong iki". Saya tiba-tiba membenarkan pendapat para oposan KPK di era kedua Jokowi memang benar-benar pepesan kosong. Hingga semalam, sahabat saya mentelpon justru ketika saya sedang sibuk memperbaiki kursi saya yang rusak. Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba Tuhan berkendak lain. Entah kesambet apa, tiba-tiba KPK tersadar dan tertarik untuk menggaruknya. Kenapa tiba-tiba ceritanya jadi terang benderang, liner, dan betul-betul bersambung.

Sad ending buat dirinya, happy ending buat saya dan teman-teman saya. Barangkali dan seharusnya bagi warga Jogja yang waras.

HS menerima karma-nya. Ia merusak Jogja dengan berbagai perilakunya, dengan berbagai legalisasi izin yang sebenarnya tak legal itu. Bila puluhan hotel berhasil diloloskan izinnya. Tapi perizinan apartemen akhirnya menjadi sandungannya. Sesuatu yang mencolok mata. Buat apa, apa pentingnya? Mungkin apartemen kebutuhan orang Jakarta, tapi bagi warga Jogja untuk apa? Untuk makin membuat kesenjangan antarwarga makin akut? Untuk makin membuat masyarakat kampung Jogya makin kesulitan air.

Guru saya, Eyang Isni Wahyudi, menyebut apa yang terjadi di Yogyakarta kali ini sebagai "Yogyakarma". Saya aminkan, saya setuju....

NB: Satu ilustrasi sederhana kenapa, pasangan walikota ini sedemikian kemaruk tapi tidak tampak makin kaya. Dalam pelaporan kekayaan pada KPK, mereka mengaku hanya memiliki harta sebesar 10,5 M. Sedikit amat! Apakah ia berbohong? Bisa jadi juga tidak! Biaya politik dan ongkos menghidupi "buaya mangap", buaya yang menganga mulutnya di lingkungannya juga sangat besar. Bahkan dari berbagai diskusi dan riset kecil yang saya terima juga sangat bikin miris hati.

Bila ada premis Jogja itu kota miskin, maka korelasinya pada berapa biaya politik untuk menyuap suara rakyat di kota ini. Sependek yang saya tahu di kota lain, rerata cuma di angka 50-100 ribu. Di kota Jogja untuk jadi Walikota itu butuh uang 400-500 ribu untuk satu suara! Dan konon harga sebesar itulah, yang harus diakumulasi oleh pasangan ini. Kenapa ia harus ubet dan kerja keras. Hal ini dijadikan alasan dan dasar untuk bersikap korup.

Belum lagi latar belakangnya, sebagai keluarga besar organisasi M, yang lahir dan besar dari kota ini. Yang saat ini, seolah menjadi penguasa sesungguhnya kota ini. Bagimana "M-Connections"-nya merajalela dan berbau mereka. Bagaimana sekolah-sekolah negeri di kota ini diagamiskan. Hingga kota ini, walau dianggap tetap sebagai kota budaya dan terpelajar tetapi makin miskin toleransi. Ini adalah lingkaran setan yang saya ragu bisa disembuhkan.

Saya hanya bisa menghibur diri: Jogja kuwi mungkin wis ora isa mari, nanging tetep tak tresnani. Jogja mungkin tidak bisa sembuh seperti sediakala, tapi sepenuh hati tetap saya membela dan mencintainya....

***