Kalau budaya maney politik di tingkat desa bisa dikikis bahkan dihilangkan, calon potensial yang akan menjadi Kepala Desa bisa bermunculan
Salah satu bentuk pesta demokrasi yang paling begitu merakyat adalah Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Pemilu tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang sangat mengena kalau dapat dimanfaatkan dan dijadikan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat utamanya generasi muda.
Pada moment Pilkades ini, masyarakat yang akan menentukan siapa pemimpin desanya selama 5 tahun ke depan, sangat menarik bagi saya untuk mengkaji lebih dalam tentang budaya pemilihan kepala desa ini. Karena adanya kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon. Sehingga, suhu politik di suatu desa sering kali lebih terasa dari pada saat pemilu pemilu yang lain seperti Pilpres, Pilkada Gubernur maupun Bupati dan Walikota serta Legislatif.
Para bakal calon biasanya sudah banyak dikenal oleh setiap anggota masyarakat yang akan memilih. Namun demikian sosialisasi program atau visi misi sering kali tidak dijadikan sebagai media kampanye atau pendidikan politik yang baik.’
Hal inilah yang membuat kinerja para aparat Desa yang ketika sudah terpilih tidak maksimal bahkan terkadang ada yang menjabat sebagai Kepala Desa sebagai formalitas semata dan terkesan kerja datar, tidak punya terobosan terobosan yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
Masyarakat terbiasa memilih dengan mengandalkan Kedekatan pribadi, Di sini terlihat unsur nepotisme masih begitu kental membudaya. Demikian juga dengan kolusi, hubungan baik dalam berbagai posisi juga banyak dijadikan sebagai unsur penentuan hak pilih.
Demikian juga dengan unsur Politik Uang (Money politik) yang sering dijadikan iming-iming dorongan dalam pemilihan.’ Bahkan kalau bagi pemikiran saya, entahlah yang namanya politik uang terlebih dalam pesta demokrasi Pilkades itu kapan bisa hilang dan masyarakat sadar akan betapa berharganya suara hak pilih mereka jika diberikan kepada orang yang tepat berdasarkan kapabilitas untuk menjadi seorang Kepala Desa.
Yang menjadi Kekhawatiran adalah jika proses demokrasinya yang begitu menguras biaya yang begitu besar bagi setiap Calon Kepala Desa , yang terjadi adalah usaha penghapusan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme ) akan sulit diwujudkan dan akhirnya berimbas kepada tidak maksimalnya pembangunan di Desa itu sendiri karena selain SDM nya tidak mumpuni karena terpilih berdasarkan kedekatan, juga besar kemungkinan setiap anggaran tidak maksimal dipergunakan untuk kepentingan masyarakat.
Di sinilah seharusnya pendidikan politik perlu dikembangkan. Harus ada kerelaan berkorban untuk kepentingan desa yang juga merupakan bagian dari bangsa dan negara ini. Bagaimana caranya menyadarkan masyarakat untuk memilih Kepala Desa yang mampu membawa kemajuan dan juga kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Tidak semua pengorbanan harus diukur dengan kontribusi uang.
Kalau budaya maney politik di tingkat desa bisa dikikis bahkan dihilangkan, tentu calon calon potensial yang akan menjadi Kepala Desa bisa bermunculan untuk membawa perubahan dan kemajuan di Desa itu sendiri.
Dalam pemilihan pemimpin desa seharusnya diutamakan ialah tentang kapabilitas dari calon-calon pemimpin tersebut. Suatu desa tidak hanya dapat dipimpin oleh pemimpin yang bermodalkan kefiguritasan namun cacat secara intelektual, moral dan sosial.
Pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat era modern saat ini adalah seseorang memiliki akseptabilitas dan juga yang bisa mengikuti perkembangan jaman, menyesuaikan diri dengan kecanggihan tehnologi sebagai upaya pendukung dalam melakukan terobosan dan inovasi namun juga ditunjang oleh moral yang baik.
Keberpihakan kepada masyarakat serta memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya dan juga memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif dan perpolitikan, serta memiliki wawasan yang luas dan pandangan yang luas terhadap keberanekaragaman dalam masyarakat.
Luber Sitanggang.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews