Istilah ‘Gusti Allah Ora Sare’, yang sering dikutipkan, acap disalahpahami sebagai semua terserah Tuhan, maka kita juga pasrah, atau cuek saja. Toh nanti yang salah akan seleh.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, berkata bahwa banjir analoginya kayak air dalam gelas. Kalau dituangi satu liter tumpah. Mau ngomong apalagi kita, kalau pejabat pemerintah berwacana?
Tugas pemimpin, apalagi di eksekutif pemerintahan, tentu saja mengeksekusi, bukan berwacana. Kalau berwacana, sebenarnya itu tugas para akademisi, para waskita di bidang keilmuan. Tapi kalau mereka para pakar, yang kita harap berwacana justeru hanya sering ngetuit penuh hoax, fitnah, dan nada kebencian, atau keasyikan jadi yotuber (untuk lempar batu pakai mulut orang lain), apa pula yang kita (setidaknya saya sebagai rakyat kecil), bisa harapkan?
Padal, mestinya, yang kita harap dari orang macam Anies, dalam posisinya pula; bagaimana jalan keluarnya, agar air seliter tidak tumpah dalam gelas? Apakah memperbesar atau memperbanyak gelasnya? Melubangi gelas itu? Atau bagaimana agar volume air bisa diatur? Di situ perlunya ilmu dan pengetahuan. Di situ perlu orang yang ngerti secara teoritik, menelitinya, dan kemudian bisa menyimpulkan sumber masalah, dan kemudian mengatasinya.
Tapi, ya, sudahlah. Karena pers, atau media massa juga hanya memposisikan diri sebagai penyampai informasi, atau bagian dari mata rantai (baca: carut-marut) komunikasi, kita kini kehilangan yang bisa kita harap dari media massa. Dan itu terjadi di tengah lautan media sosial yang tak terkendali. Apalagi konon jumlah HP di Indonesia kini mencapai 320 juta. Jauh lebih banyak dari jumlah populasi penduduk Indonesia.
Meski kita juga harus tahu, tak sedikit anak yang kerepotan mengikuti sekolah daring. Karena tak punya HP. Maka, lupakan data 320 juta HP itu, meski Indonesia berada di posisi ‘4 Besar Pengguna HP Dunia’. Dan apa arti Kemendiknas membagi milyaran rupiah untuk pulsa gratis sekolah daring, ketika ada siswa tak punya HP? Itu juga soal bagaimana pemimpin mempersepsi gelas dan air, sebagaimana analogi Anies Baswedan.
Saya tidak tahu bagaimana cara kerja hukum semesta. Para ahli ilmu langit, yang ilmiah dan terukur, bukan yang ndleming, mengatakan bahwa semesta bekerja secara presisi. Tahun 1915, Mbah Kyai Albert Einstein sudah mengajukan teori relativitas umum, mengenai bagaimana alam tata surya ini bekerja secara presisi. Apa yang dikatakan Einstein, seratus tahun kemudian dibenarkan dan diperkuat penelitian Tim Astropnom Internasional, dengan memakai data dari NASA dan The European Southern OVLT. Semesta bekerja secara presisi, dengan hukum sebab akibat.
Bekerja secara presisi, bukan dengan ukuran-ukuran mistik. Yang bernama berkah semesta (boleh saja disebut berkah Tuhan atau Gusti Allah), tetap saja berangkat dari kerja-kerja manusia itu sendiri, dalam mengejawantahkan hukum semesta.
Istilah ‘Gusti Allah Ora Sare’, yang sering dikutipkan, acap disalahpahami sebagai semua terserah Tuhan, maka kita juga pasrah, atau cuek saja. Toh nanti yang salah akan seleh.
Padal, kenyataannya, jika yang salah nekad, dan yang tahu mendiamkan (atau bahkan menyesatkan), orang yang tak bisa bekerja bisa menang jadi gubernur. Dalam teori Einstein juga, gerak beraturan tidak selalu memunculkan keberaturan, tetapi bisa justru bahkan memunculkan gerak asimetris berlawanan, chaos, sebagaimana dalam dalil matematika. Penjelasannya bisa panjang di sini jika dituliskan. Jadi lain kali atau kapan-kapan saja, sambil ngopi.
Bayangkanlah, dari data yang ketangkap sebagai provokator demonstrasi UUCK, adalah anak STM, yang bisa mengutip tagar paling gahar 1998 lalu; “panjang umur perlawanan!” Sebagaimana istilah ‘darah juang’, yang kini juga banyak diadopsi. Padal juga, menyamakan panggilan Gejayan 1998 dengan Gejayan 2019, atau Gejayan 2020, sama bokisnya dengan gelas dan air itu. Meski sama-sama memanggil, beda nada dasar.
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews